Cerpen Bussairi D. Nyak Diwa
Samhani merenung sejenak. Matanya menatap lurus ke depan, ke hamparan persawahan yang terbentang luas. Ke arah Selatan berbatasan dengan perkampungan penduduk, desa di mana ia dilahirkan. Ke arah utara, tempat saat ini ia berada, adalah daerah perbukitan dengan lembah-lembah yang landai. Di sinilah sebagian penduduk kampungnya mencari nafkah dengan menanam berbagai macam tanaman palawija atau berladang menanam padi.
Tanah yang subur dengan hutan-hutan kecil yang terlantar lebih mendominasi wilayah ini. Ke timur melintang sebuah sungai yang membelah antara kampungnya dengan kampung tetangga. Dari sungai ini penduduk kedua kampung memperoleh sumber kehidupan; air yang jernih, ikan yang berlimpah, dan tambang pasir yang tak pernah berkurang. Lebih ke hulu, sungai ini hilang di antara lekuk-lekuk gunung dengan jurang-jurang yang curam. Sementara ke Barat adalah hutan rawa yang rawan.
Di wilayah ini, menurut cerita tetua kampung, banyak terdapat binatang buas seperti harimau, buaya, dan beruang. Hutan rawa yang terhampar seperti tak ada batasnya itu bertaut langsung dengan hutan lindung Taman Nasional Gunung Leuser atau lebih dikenal dengan TNGL.
Sejenak Samhani melemparkan pandangan ke sekitar tempat ia duduk saat ini. Di atas batu karang yang terhampar ia berdiri. Diperhatikannya lembah di bawahnya yang dipenuhi hutan-hutan muda. Di antara hutan-hutan muda itu terdapat kebun-kebun orang kampungnya. Ada yang masih dipenuhi oleh tanaman dan ada yang sudah ditinggalkan begitu saja karena sudah memanen hasilnya. Jika dilihat dari arah kampungnya jauh dari sebelah Selatan sana, hutan ini kelihatan persis seperti kepala seseorang yang terdapat parut bekas luka di sana sini, bopeng tak menentu. Ini akibat ulah orang kampungnya yang berkebun berpindah-pindah. Hutan menjadi gundul di sani-sini. Jika musim penghujan dan hujan turun dengan lebatnya, maka sering sekali terjadi longsor.
Akibatnya sungai di sebelah timur sana tak mampu menampung air dan longsoran tanah yang tercurah sehingga luapannya menerjang kampungnya.
Setiap musim hujan bukan hanya banjir yang dirasakan oleh orang-orang kampungnya, tetapi juga lumpur yang kental beserta potongan-potongan kayu besar ikut serta memenuhi kampung. Dalam setahun sampai tiga kali mereka merasakan keadaan seperti itu.
“Ah, seandainya hutan ini terjaga dengan baik atau ditanami dengan pohon-pohon lindung, mungkin kami tak akan merasakan bencana setiap tahun,” Samhani bergumam sendirian.
Dia ingat penjelasan Pak Sabar ketika ia masih berstatus sebagai siswa SMA hampir setahun yang lalu. Pak Sabar adalah guru Geografi di sekolahnya. Setiap mengajar pelajaran Geografi Pak Sabar selalu menyelipkan pesan kepada murid-muridnya untuk menjaga hutan atau menanaminya agar tetap lestari. Samhani sangat terkesan dengan pesan-pesan Pak Sabar karena ia sadar bahwa kampungnya dikelilingi oleh hutan yang mulai rusak. Malah dari hari ke hari kerusakan hutan itu semakin parah. Ini akibat ulah orang-orang kampungnya juga.
“Ada beberapa cara menjaga hutan agar kita terhindar dari bencana banjir dan longsor,” kata Pak Sabar waktu itu. “Pertama jangan menebang hutan sembarangan, karena jika hutan ditebangi, maka ketika hujan turun air langsung tercurah sehingga tanah terkikis dan terjadilah erosi. Kedua, jika hutan sudah terlanjur ditebang, maka usahakanlah untuk ditanam kembali dengan pohon-pohon lindung,” jelas Pak Sabar panjang lebar.
“Memang untuk menunggu hutan normal kembali butuh waktu yang lama, tetapi itu lebih baik demi kelangsungan hidup bagi anak-cucu kita kelak.”
Memang benar apa yang dikatakan Pak Sabar itu, pikir Samhani. Buktinya ia dan orang kampungnya mulai merasakan akibatnya sekarang. Sudah beberapa kali kampungnya dilanda oleh banjir dan terjangan lumpur yang dahnyat. Bahkan belum genap setahun dia sendiri mengalami mesibah yang diakibatkan oleh bencana itu.
Waktu itu Samhani baru saja menyelesaikan SMA-nya. Bapaknya meninggal akibat bencana longsor. Ketika itu Bapaknya sedang berada di kebun di atas bukit tempat ia berada sekarang. Dari pagi hujan turun dengan lebatnya sehingga Bapaknya terpaksa berlindung di pondok kecil di kebunnya itu, tidak bisa pulang. Tanpa diduga tiba-tiba tanah tempat pondok itu berdiri longsor. Dan Bapaknya yang berada di dalam pondok terbawa serta bersama longsoran itu. Tak ayal, esok harinya Bapak Samhani ditemukan sudah menjadi mayat terbawa arus longsor di dekat kebun penduduk. Sejak saat itu Samhani dan dua adiknya menjadi yatim. Memang sudah takdir dari Allah ia harus mengalami nasib seperti itu. Tapi itu semua tak terlepas dari sifat ceroboh dan serakah orang-orang kampungnya. Samhani sulit membayangkan apa yang akan terjadi seandainya hutan-hutan itu habis sama sekali. Tentu bencana yang lebih besar dan dahsyat akan dialami oleh penduduk kampungnya. Cepat atau lambat itu pasti akan terjadi.
“Sedang apa kamu Sam, sendirian di sini?”
Samhani terkejut. Di belakangnya telah berdiri Paman Dolah, adik Bapaknya yang bungsu.
“Sudahlah, Sam. Tak perlu kamu sesali lagi orang tuamu yang telah tiada. Lebih baik sekarang kamu teruskan saja usaha Bapakmu dulu membuka kembali kebun yang sudah terbengkalai ini,” Paman Dolah melanjutkan, menebak jalan pikiran Samhani.
“Ah, tidak Paman, saya tidak menyesali Bapak yang telah tiada. Saya cuma…” Samhani ragu-ragu untuk mengatakan apa yang menjadi pemikirannya.
“Cuma apa, Sam? Dari tadi Paman lihat kamu termenung terus.”
“Bukan termenung, Paman. Tapi merenung.”
“Apa bedanya termenung dengan merenung, Sam? Keduanya sama saja, kan?”
“Tentu saja tidak sama Paman. Kalau termenung menyesali sesuatu, tapi kalau merenung adalah memikirkan sesuatu untuk mencari jalan keluarnya.”
“Lalu, kalau begitu apa yang kamu pikirkan, Sam?” Paman Dolah seperti ingin tahu betul apa yang sedang ada dalam pikiran Samhani.
Samhani diam sejenak. Dia ingat kembali apa yang dikatakan Pak Sabar dulu tentang penanaman hutan dengan pohon tanaman industri. Kata Pak Sabar, banyak tanaman industri yang dapat dimanfaatkan untuk penghijauan sekaligus bernilai ekonomis. Maksudnya, dengan menanam tanaman itu, di samping akan menjaga kelestarian hutan, kelak jika sudah cukup umurnya tanaman itu dapat ditebang lalu dijual sebagai bahan baku industri bubur kertas atau untuk keperluan perabot rumah tangga. Tapi dengan catatan, setahun sebelum ditebang sudah ditanami dengan pohon-pohon baru, kata Pak Sabar waktu itu.
“Kenapa diam, Sam. Apa yang kamu pikirkan?” Suara Paman Dolah menyadarkan Samhani dari ingatannya pada Pak Sabar setahun yang lalu.
“Begini, Paman. Saya sedang memikirkan bagaimana seandainya hutan kita yang sudah tandus ini bisa menjadi lebat dan hijau kembali. Tidak seperti sekarang, gundul di mana-mana. Kita berkebun sesuka hati dengan merambah hutan yang lebat. Padahal itu merusak hutan kita. Akibatnya saban tahun kita menderita karena dilanda banjir. Itu belum lagi akibat penebang liar yang hanya mencari keuntungan pribadinya semata.”
Samhani menjelaskan jalan pikirannya dengan panjang lebar.
“Maksudmu bagaimana, Sam? Paman belum mengerti.”
Samhani menatap adik bungsu Bapaknya itu dengan serius. Matanya tak berkedip. Ia mengatur jalan pikirannya untuk menjelaskan secara gamblang agar Pamannya mengerti.
“Maksud saya hutan kita yang sudah banyak ditebang ini kita tanami dengan pohon tanaman baru agar kembali hijau. Menurut guru saya dulu, di samping tanah akan terjaga dari longsor, tanaman yang kita tanam itu kelak bisa kita ambil dan kita jual kembali untuk dijadikan bahan baku industri kertas atau plywood. Jadi kita dapat memperoleh hasil ganda dari usaha itu.”
“Maksudmu kita nanti harus membuka lahan kembali untuk menanam pohon yang kau maksud itu? Lalu bagaimana caranya dan dari mana kita akan memperoleh bibit tanaman itu?”
Paman Dolah masih belum paham betul jalan pikiran Samhani. Maklumlah Paman Dolah hanya berpendidikan kelas empat SD.
Samhani juga merasa bingung bagaimana menjelaskan agar Pamannya itu mengerti. Tapi dia sendiri sebenarnya masih belum tahu betul bagaimana mengusahakan tanaman itu dan apa pula jenis tanaman yang cocok menjadi tanaman industri itu. Samhani berpikir, lebih baik dia bertanya dulu secara detil kepada Pak Sabar, gurunya itu. Dia yakin, Pak Sabar pasti memiliki informasi yang mendalam tentang hal ini.
“Tentang jenis tanaman dan bagaimana cara mengusahakannya, saya akan bertanya lebih jelas dan detil kepada Pak Sabar guru saya sewaktu SMA dulu. Beliau pasti memiliki informasi dan pengetahuan tentang hal ini. Apalagi beliau adalah guru Geografi yang sangat perhatian terhadap lingkungan terutama hutan.” Samhani menjelaskan kepada Pamannya.
“Yang menjadi masalah adalah bagaimana meyakinkan orang kampung kita agar mau menanam kembali hutan kita yang mulai gundul ini,” jelas Samhani sambil melemparkan pandangan ke sekeliling hutan yang kelihatan bopeng di sana-sini.
“Baiklah kalau begitu, Paman akan mendukung rencanamu. Dan untuk mengajak orang-orang kampung kita, nanti Paman akan meminta kepada Pak Kades untuk mengundang mereka ke Balai Desa,” kata Pamannya sambil berancang-ancang menuruni bukit.
Samhani bangun dari duduknya, berkemas hendak turun juga. Lalu berdua mereka berjalan menuruni bukit yang berliku-liku.
***
Esok harinya Samhani bangun pagi-pagi sekali. Ketika pengajian mulai terdengar dari masjid menjelang subuh, Samhani sudah keluar dari rumahnya menuju masjid. Biasanya Samhani baru ke masjid ketika azan mulai dikumandangkan oleh muazin.
Udara pagi yang menusuk tulang tak dihiraukannya. Ia menerobos remang-remang subuh menuju masjid yang berjarak kurang lebih 500 meter dari rumahnya. Ketika tiba di halaman masjid Samhani berpapasan dengan Ustad Asrawi yang baru saja selesai berwuduk. Ustad Asrawi tersenyum ke arahnya. Samhani juga tersenyum. Ketika hendak melangkah ke teras masjid, tiba-tiba Ustad Asrawi memanggilnya.
“Nanti sehabis salat subuh tolong tunggu saya, ada hal yang ingin saya biacarakan dengan Nak Samhani,” kata Ustad Asrawi.
“Insya Allah, Pak Ustad,” sahut Samhani sambil bergegas ke tempat wuduk di sebelah timur masjid.
Selesai salat subuh berjamaah Samhani tidak langsung pulang seperti niatnya semula, tapi dia duduk-duduk di teras masjid sambil menunggu Untad Asrawi selesai wirid.
Tak berapa lama kemudian Ustad Asrawi pun keluar dari dalam masjid. Ustad Asrawi langsung mendekati dan duduk di samping Samhani.
“Semalam saya bertemu dengan Pamanmu, Pak Dolah. Dia telah menceritakan sepintas kepada saya tentang rencanamu untuk menanami hutan kita dengan tanaman industri. Apa betul Sam?” Ustad Asrawi memulai percakapan.
“Betul, Pak Ustad. Kemarin saya ketemu Paman di hutan sana.”
“Bagus itu. Saya sangat mendukung rencanamu. Tapi sebaiknya kamu temui dulu petugas kehutanan yang ada di kabupaten. Coba kamu tanyakan tentang seluk-beluk tanaman industri itu. Tanaman apa yang cocok dengan tanah di gunung kita, sekaligus bagaimana mengusahakan tanaman itu. Kebetulan beberapa bulan yang lalu ada seorang teman saya yang pernah menawarkan bantuan untuk reboisasi. Dia pernah datang dan melihat langsung keadaan hutan kita yang mulai tandus dan rusak. Dia bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang komit terhadap lingkungan hidup. Siapa tahu nanti kita bisa bekerjasama dengan mereka dalam rangka penanaman kembali hutan kita.”
“Terima kasih, Pak Ustad. Sehubungan dengan rencana itu, pagi ini saya bermaksud menjumpai Pak Sabar guru saya sewaktu di SMA dulu. Beliau banyak tahu tentang seluk-beluk tanaman industri dan tatacara penanaman serta perawatannya. Sewaktu SMA dulu beliau pernah menyarankan kepada kami untuk menjaga dan merawat hutan.”
“Bagus kalau begitu. Kalau kamu sudah memperoleh informasinya cepat beritahukan kepada saya, nanti akan kita bicarakan dengan Pak Kades sebelum kita bawa dalam rapat desa,”
Ustad Asrawi menyarankan. Di desa, di samping sebagai imam masjid Ustad Asrawi juga merangkap sebagai anggota Tuha Peut. Ia sangat berperan terhadap setiap kegiatan pembangunan desa.
“Baik, Pak Ustad.”
“Kalau begitu mari kita pulang,” ajak Ustad Asrawi sambil beranjak dari tempat duduknya. Samhani mengikuti Ustad Asrawi yang melangkah ke luar mesjid.
Pukul tujuh tiga puluh Samhani berangkat dari rumahnya menuju rumah Pak Sabar di ibukota kecamatan. Samhani mendayung sepeda unta peninggalan almarhum Bapaknya. Dulu ketika masih hidup, Bapaknya sering menggunakan sepeda itu membawa hasil kebun ke pasar. Hanya itu satu-satunya alat transportasi peninggalan almarhum Bapaknya. Samhani tak pernah merasa minder menggunakan sepeda itu, meskipun rata-rata teman sebaya di desanya saat ini telah memiliki sepeda motor.
Ketika sampai di rumah Pak Sabar, Samhani melihat mantan gurunya itu berada di pekarangan rumah sedang membersihkan tanaman. Halaman rumah Pak Sabar luas dan rindang dipenuhi oleh tanaman seperti mangga, sauh, jeruk bali, jambu air, pepaya, dan lain-lain. Halaman itu bersih dan tertata rapi. Dari suasana halaman rumahnya kelihatan sekali bahwa Pak Sabar adalah orang yang mencintai lingkungan hijau.
Samhani menyandarkan sepedanya di batang pohon jambu air yang rindang. Hati-hati sekali ia melangkah di antara tanaman kacang tanah yang baru tumbuh.
“Assalamualaikum…,” sapa Samhani ketika sudah dekat dengan Pak Sabar yang sedang jongkok membersihkan tanaman kacang tanah.
Pak Sabar terkejut, ia berpaling.
“Walaikumsalam. Ou kamu rupanya, Sam. Sudah lama tidak ketemu. Bagaimana kabarmu sekarang?” kata-kata Pak Sabar beruntun seperti air mengalir.
“Kabar baik, Pak,” Samhani menyalami Pak Sabar dengan takzim.
Sudah hampir setahun ia tidak bertemu dengan gurunya itu. Sejak lulus dari SMA dulu dia tidak pernah lagi berjumpa dengan gurunya itu. Tapi tak ada perubahan apa-apa pada diri Pak Sabar. Beliau masih tetap ramah seperti dulu, bisik hati Samhani.
“Ayo, Sam kita ke dalam,” ajak Pak Sabar.
“Nggak usah ke dalam, Pak. Di sini saja, lebih nyaman.” Samhani duduk di bangku di bawah pokok mangga yang rindang. Di depannya ada meja yang melingkari pokok mangga itu.
”Baiklah kalau begitu, tapi kamu tunggu sebentar Bapak membersihkan tangan dulu,” Pak Sabar bergegas ke dalam.
Agak lama juga Pak Sabar di dalam. Karena jenuh ia duduk saja, Samhani berjalan
mendekati setumpuk bibit tanaman yang baru tumbuh di sudut pagar. Samhani memperhatikan bibit tanaman yang baru tumbuh itu. Bibit itu tak ubahnya seperti kecambah kacang kuning, warnanya kuning kecoklat-coklatan. Disemai dalam polybak kecil-kecil, tersusun sangat rapi.
“Bibit kacang kuning kok disemai dalam polybak?” Samhani membatin.
“Mungkin ini bibit kacang kuning unggul, maka disemai seperti ini,” Samhani menebak jawaban pertanyaannya sendiri dalam hati.
Beberapa saat kemudian Pak Sabar sudah ke luar lagi dengan penampilan yang rapi. Baju kaos oblong warna hijau tua membungkus tubuhnya. Di bagian dada sebelah kanan kaos itu terdapat gambar persis kecambah yang diperhatikan Samhani tadi. Tapi bedanya kecambah yang ada di baju kaos Pak Sabar sudah memiliki empat lembar daun dengan selembar pucuk yang tegak lurus. Sedangkan kecambah di dalam polybak baru berdaun dua kecil-kecil. Di bawah gambar itu terdapat tulisan kecil tapi jelas dengan warna putih, ‘Mahoni Pohon Masa Depan’.
Samhani kembali duduk di bangku yang ditempati tadi. Pak Sabar juga duduk di sampingnya. Sambil melepas senyum khasnya, Pak Sabar mengeluarkan sebatang rokok dari dalam bungkus di atas bangku. Dari dulu Pak Sabar tidak berubah, masih menghisap rokok GP kesukaannya.
“Kamu sudah mulai merokok, Sam?” tanya Pak Sabar.
”Ah tidak, Pak. Dari dulu saya memang tidak merokok.”
“Bagus itu, sebaiknya kamu memang tak perlu mencoba merokok sampai kapan pun. Sebab kalau sudah mencoba dan ketagihan sulit sekali untuk menghentikannya. Contohnya Bapak sendiri. Sudah beberapa kali Bapak mencoba berhenti merokok, tapi tetap saja datang hasrat untuk merokok lagi. Apalagi kalau pikiran sedang suntuk dan tidak ada kegiatan, rokok akan menjadi tempat pelampiasaan. Ha… ha… ha….” Pak Sabar tertawa seperti menertawakan tingkahnya sendiri.
”Apa kegiatanmu sekarang, Sam? Bagaimana lanjutan sekolahmu, apa kamu jadi kuliah di Perguruan Tinggi Kehutanan seperti cita-citamu dulu?” Pertanyaan Pak Sabar bagaikan sebuah damtrukmenumpahkan satu box kerikil dirasakan oleh Samhani.
”Itu cita-cita dulu, Pak. Tapi sejak Bapak saya meninggal cita-cita saya berubah.”
“Maksudmu, Sam?”
“Saya tidak mungkin kuliah karena tidak ada yang membiayai. Lagi pula saya harus membantu ibu untuk mencari nafkah sehari-hari dan membiayai sekolah kedua adik saya, Pak.”
“Ya, Bapak paham Sam. Tapi Bapak berharap kamu jangan berputus asa. Semangat untuk kuliah jangan kamu padamkan dari hatimu. Siapa tahu kelak ada jalan bagimu untuk meraih cita-cita itu. Yang penting engkau tetap berusaha, berdoa, sabar, dan tawakkal terhadap takdir apapun yang kamu terima.” Suara Pak sabar bernada rendah hampir tak terdengar. Sepertinya ia merasa menyesal menanyakan perihal pendidikan Samhani.
”Tapi banyak jalan untuk memperbaiki nasib, Sam,” lanjut Pak Sabar. ”Yang penting kita mau berusaha. Jangan berpangku tangan.”
”Oh, ya ngomong-ngomong tentu ada hal yang ingin kau sampaikan kepada Bapak?” Pak Sabar berusaha mengalihkan pembicaraannya. Apalagi dari tadi Pak Sabar seperti dapat membaca bahwa ada hal yang ingin disampaikan Samhani kepadanya.
”Iya, Pak. Maksud kedatangan saya ke mari ingin mengetahui berbagai informasi tentang….”
”Oo, Samhani rupanya. Lama tak kelihatan, ke mana saja?” tiba-tiba istri Pak Sabar, Bu Rahma muncul dari dalam rumah dengan menenteng baki minuman. Dua gelas kopi dan sepiring singkong rebus yang masih berasap diletakkan Bu Rahma di hadapan Samhani dan Pak Sabar. Kopi yang masih hangat mengepulkan aroma sedap membangkitkan selera dan semangat Samhani.
”Tidak ke mana-mana, Bu. Sibuk dengan pekerjaan sehari-hari di kampung.” Samhani merasa malu untuk mengatakan yang sebenarnya. Bu Rahma adalah orang yang baik dan ramah. Dulu ketika dia masih sekolah dan Bapaknya masih ada, Samhani sering mengantarkan buah-buahan dan sayur-sayuran hasil kebun yang dititipkan ibunya untuk Bu Rahma. Makanya Bu Rahma kenal baik dengannya. Kadang-kadang Samhani sering juga membantu Pak Sabar membersihkan pekarangan rumah Pak Sabar yang luas. Dan setelah bekerja ia sering dihidangkan makanan dan minuman oleh Bu Rahma.
”Sambil duduk-duduk silakan diminum dan dicicipi, Nak Sam. Singkong ini hasil kebun sendiri,” kata Bu Rahma.
”Ibu ke dalam dulu, masih banyak pekerjaan.” Bu Rahma beranjak ke dalam. Pak Sabar mengangkat gelas kopi ke hadapan Samhani.
”Silakan, Sam. Mumpung masih hangat. Jadi informasi tentang apa yang ingin kau tanyakan kepada Bapak tadi?” Pak Sabar mengambil sepotong singkong dari piring, lalu piring itu disorongnya ke hadapan Samhani. Ia mereguk kopinya beberapa kali.
“Begini, Pak,” Samhani melanjutkankan kata-katanya yang terpotong tadi.
”Semenjak Bapak saya meninggal, saya bersama ibu sering ke kebun peninggalan Bapak di kaki gunung untuk menggarapnya. Tapi akhir-akhir ini saya merasa prihatin Pak, karena hutan di gunung kampung saya itu sudah banyak yang gundul. Orang kampung saya sangat gandrung berladang dan berkebun berpindah-pindah. Apalagi sebagian orang kampung saya juga sangat sering menebang hutan dengan tujuan menjual gelondongan kepada juragan kayu. Jika hujan, terjadi longsor di mana-mana. Bahkan dalam tahun ini sudah lima kali kampung kami dilanda banjir,” Samhani berhenti sejenak, meraih gelas kopi di hadapannya lalu mereguknya.
”Beberapa hari yang lalu ketika berada di kebun, saya teringat pesan Bapak ketika saya masih di SMA dulu tentang perlunya menjaga dan merawat hutan. Jadi saya berkeinginan agar hutan-hutan di gunung kampung saya hijau kembali.” Samhani menjelaskan panjang lebar maksudnya itu seperti yang telah dikatakannya pada Pamannya. Termasuk pasan Ustad Asrawi untuk disampaikan kepada Pak Sabar.
”Jadi maksud kedatangan saya ini adalah mengharapkan informasi dari Bapak, apa yang harus saya lakukan agar saya dapat melaksanakan keinginan saya itu. Sekaligus petunjuk dan bantuan Bapak tentang hal-hal yang harus saya tempuh.”
“Ya, ya. Bapak mengerti. Memang sudah menjadi tugas setiap warga negara untuk menjaga hutan agar tetap lestari, bukan malah merusaknya. Tetapi zaman sekarang sulit sekali mencari orang-orang yang punya kesadaran dan kepedulian seperti kamu. Bapak sangat mendukung keinginanmu itu. Tentang tanaman yang cocok ditanami di daerah kita Bapak kira banyak. Tapi kita harus mempertimbangkan nilai ekonomisnya, di samping menjadi tanaman penghijau, secara ekonomis hendaknya juga dapat menghasilkan uang.” Pak Sabar berhenti sejenak. Ia mematikan api rokoknya dengan menekan puntung rokok itu di ujung bangku. Kemudian melempar puntung rokok itu ke dalam tong sampah yang tidak jauh dari tempat mereka duduk.
”Kamu lihat kecambah dalam polybak yang kecil-kecil itu?” Pak Sabar menunjuk ke arah bibit tanaman yang tadi diamati oleh Samhani. Samhani mengangguk.
”Itu adalah jenis tanaman yang sangat baik untuk penghijauan. Di samping itu, tanaman itu merupakan tanaman industri yang sedang digalakkan oleh pemerintah saat ini, namanya pohon mahoni. Dua bulan yang lalu teman Bapak yang bekerja pada sebuah perusahaan tanaman industri datang ke mari. Dia membawa biji pohon mahoni itu. Lalu diberikannya kepada Bapak dan meminta Bapak untuk menyemai bibit itu. Kebetulan Bapak punya tanah setengah hektar yang masih kosong. Jadi rencana Bapak akan menanam pohon itu di sana.”
”Jadi Bapak berminat untuk menanam pohon itu?”
”Iya, teman Bapak itu juga meminta Bapak untuk dapat mengajak siapa saja ikut menanam pohon mahoni. Katanya di masa yang akan datang mahoni merupakan tanaman yang sangat dibutuhkan dan tentu akan menghasilkan nilai tambah yang sangat menjanjikan. Di samping untuk menjadi bahan baku di dalam negeri, juga akan menjadi bahan ekspor yang sangat menjanjikan,” Pak Sabar berhenti sejenak. Lalu melanjutkan.
”Nah, kebetulan kamu berkeinginan untuk menanam pohon di kampungmu. Bapak menyarankan untuk menanam pohon mahoni saja. Apalagi teman Bapak itu menjanjikan siapa saja yang mau akan diberikan bibit mahoni itu berapa saja yang dibutuhkan tanpa harus membayar alias gratis. Katanya perusahaan tempat ia bekerja saat ini sedang bekerjasama dengan pemerintah dalam program penanaman semilyar pohon.”
”Wah kalau begitu tidak perlu biaya, to Pak?”
“Ya tidak, malah pemerintah menyediakan dana untuk itu.”
”Lalu bagaimana cara untuk dapat ikut serta dalam program itu, Pak?”
”Tentu ada prosedurnya yang harus ditempuh. Yang pasti peserta program itu harus membuat kelompok, perkelompok paling sedikit sepuluh orang. Tapi untuk jelasnya nanti bisa Bapak hubungi teman Bapak yang bekerja di Kantor Kehutanan Kabupaten.”
”Kapan kira-kira Bapak bisa menghubungi teman Bapak itu?” Samhani seakan tak sabar lagi ingin cepat-cepat menyalurkan keinginannya.
”Yang penting kamu harus bersabar. Dalam dua hari ini Bapak akan menjumpai
teman Bapak itu. Tapi kamu harus mengajak orang-orang kampungmu untuk mau ikut serta dalam program ini. Kalau ada yang tidak mau, apalagi menghambat, ya tentu pemerintah tidak akan bersedia memberikan bantuan.”
”Baik, Pak. Sepulang dari sini saya akan kemukakan kepada Bapak Kades tentang program ini. Saya yakin, Pak Kades pasti mendukungnya,” wajah Samhani berseri-seri seperti anak kecil baru mendapat hadiah. Dia tidak menduga kalau Pak Sabar menyambut rencananya dengan baik bahkan sangat mendukungnya. Harapannya mulai kembang merekah.
”Insya Allah, kalau sudah Bapak temui teman Bapak itu, Bapak akan segera memberitahukan kepadamu, Sam. Jangan lupa, ajak semua orang kampungmu yang memiliki lahan untuk berpartisipasi menanam mahoni. Upayakan semua mendukung program ini, sebab kalau ada yang menolak bisa-bisa rencana program ini tidak akan berjalan kelak. Bapak berdoa semoga upayamu ini berhasil.”
”Terima kasih atas dorongan dari Bapak. Semoga saja orang-orang kampung saya dapat menyadari akan manfaat program ini,” sambil berkata Samhani melirik jam yang melingkar di lengan kirinya. ”Wah, sudah pukul sepuluh lewat. Saya pulang dulu, Pak. Sekali lagi terima kasih atas informasi yang Bapak berikan.” Samhani berdiri dari duduknya, berancang-ancang untuk pulang.
”Sama-sama, Sam. Semoga rencanamu berhasil.” Pak Sabar juga berdiri mengikuti Samhani yang mulai melangkah pulang.
***
Meunasah sudah dipenuhi orang-orang kampung. Beberapa orang ibu sibuk mengurus anaknya yang masih kecil-kecil. Suasana sedikit gaduh dengan suara rengekan, tangis, dan ketawa anak-anak yang bercampur menjadi satu.
Di dalam meunasah Samhani berbaur di antara orang-orang itu. Dia duduk di sudut meunasah bersama beberapa orang pemuda. Di samping kanannya agak ke tengah Pak Kades duduk didampingi beberapa aparat desa. Paman Dolah dan Ustad Asrawi juga kelihatan.
Rapat akan segera dimulai. Rapat yang membicarakan tentang pembentukan kelompok penanam mahoni ini dipimpin langsung oleh Pak Kades. Beberapa hari yang lalu Samhani melaporkan hasil pertemuannya dengan Pak Sabar kepada Pak Kades, Paman Dolah, dan Ustad Asrawi. Ternyata mereka sangat mendukung rencana itu. Atas inisiatif Pak Kades, Samhani membuat proposal rencana program sebagaimana yang disarankan oleh Pak Sabar, lalu Pak Kades mengajukan proposal itu ke Kantor Kehutanan Kabupaten. Pada dasarnya proposal tersebut dapat direalisasikan, tetapi satu syarat lagi yang belum lengkap harus dipenuhi. Yaitu berita acara pembentukan kelompok, nama kelompok, nama-nama anggota kelompok, dan tanda tangan seluruh anggota kelompok yang ikut serta dalam kegiatan tersebut. Untuk hal yang terakhir itulah maka diadakan rapat ini.
Setelah menyampaikan salam, Pak Kades mulai memimpin rapat itu. Tetapi baru saja beberapa menit Pak Kades memasuki pada materi pokok yaitu pembentukan kelompok, terdengar suara gaduh dari tengah-tengah hadirin. Sejenak Pak Kades terdiam, lalu menanyakan apa yang terjadi. Tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya dengan kumis dan jenggot yang lebat, berdiri dari tengah-tengah hadirin. Dari raut wajahnya kelihatan bahwa dia adalah orang yang bertemperamen tinggi alias mudah naik darah. Orang-orang kampung mengenalnya dengan panggilan Wak Datu. Selain orang kaya di kapung itu, dia juga mempunyai pengaruh karena memiliki tanah sawah dan kebun yang luas. Hampir sepertiga dari areal perkebunan dan ladang yang tak terurus di hutan kampung Samhani adalah miliknya. Itu tak lain karena dia memiliki banyak duit. Orang-orang kampung yang kepepet dan membutuhkan uang untuk biaya anaknya sekolah atau kuliah sering berutang padanya.
Apabila jatuh tempo piutangnya tidak terbayar, maka dengan lihai dia tawarkan kepada orang yang berutang untuk menjual saja tanah yang dimiliki kepadanya. Tak peduli apakah tanah sawah, tanah kebun, atau tanah kosong yang terbengkalai, sehingga di mana-mana dia punya tanah di kampung itu.
“Saya tidak setuju gunung warisan nenek monyang kita ditanami mahoni,” suara Wak Datu berat dan datar.
“Sebab jika semua tanah itu ditanami mahoni ke mana lagi kita berkebun dan berladang? Lagi pula sejak nenek monyang kita dulu belum pernah ada usul untuk menanam pohon mahoni, kan?” Wak Datu memandang ke sekelilingnya seakan-akan meminta persetujuan hadirin atas pernyataannya.
”Saya setuju dengan Wak Datu,” tiba-tiba satu suara muncul dari belakang Wak Datu. Dia adalah seorang pemuda yang kelihatan elegan dan berpenampilan necis, tetapi tidak jelas apa pekerjaan tetapnya. Yang pasti dia adalah salah seorang pembantu dekat Wak Datu.
“Apa faedahnya kita menanam pohon mahoni? Yang kita butuhkan sekarang adalah uang buat belanja sehari-hari, buat biaya ini dan itu.”
“Memang tidak menghasilkan uang dalam waktu yang singkat, tetapi lima tahun ke depan mahoni sangat menjanjikan, Man,” Ustad Asrawi menimpali perkataan pemuda yang bernama Burman itu dengan nada rendah.
“Alah, Pak Ustad. Yang sangat kita butuhkan sekarang, bukan lima tahun ke depan,” Burman cepat-cepat memotong pembicaraan Ustad Asrawi.
“Begini Wak Datu dan Saudara Burman,” Pak Kades menimpali.
“Menanam mahoni bukanlah semata-mata untuk menghasilkan uang, tetapi yang lebih penting adalah untuk menjaga hutan kita hijau kembali. Tidak seperti sekarang, tandus dan longsor di mana-mana. Saban tahun kita didera musibah banjir. Malah dalam tahun ini saja sudah lima kali kita menderita akibat musibah banjir. Tahun kemarin orang tua Samhani menjadi korban akibat longsor, memang itu sudah takdir. Tapi dengan menanam mahoni, Insya Allah kelak musibah banjir dapat kita atasi. Meskipun kita menunggu dalam waktu yang agak lama, daripada tidak ada usaha dari kita sama sekali?” Pak Kades memberikan sedikit wejangan.
”Apapun alasannya, saya tidak setuju hutan itu ditanami mahoni. Jika dilakukan juga, maka jalan yang melewati tanah saya akan saya tutup, tidak boleh dilewati. Yang tidak sependapat dengan saya silakan buat jalan lain. Titik.”
Wak Datu berdiri, diiringi Burman. Dia dan Burman keluar dari meunasah tanpa menghiraukan saran Pak Kades agar dia tetap tenang dan berada di tempat.
Melihat Wak Datu keluar, beberapa orang dalam kerumunan itu pun ikut bangkit dan keluar. Entah karena merasa setuju dengan pendapat Wak Datu, entah karena merasa takut kalau tak ikut Wak Datu, atau entah karena alasan lain. Alhasil beberapa menit kemudian di dalam meunasah yang tinggal hanya Pak Kades, Ustad Asrawi, Paman Dolah, Samhani, dan beberapa orang yang bersimpati pada Pak Kades. Akhirnya, atas inisitif Pak Kades, rapat itu terpaksa dibatalkan atau diundurkan sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
Besoknya, pagi-pagi Samhani kembali menjumpai Pak Sabar. Dia bukan melaporkan hasil usahanya yang telah dicapai dalam upaya mengajak orang kampungnya menanam mahoni. Tetapi dia hanya menyampaikan rasa kecewanya terhadap hasil rapat yang telah digagasnya kepada Pak Sabar. Dengan perasaan kuyu dan kecewa Samhani menumpahkan kesedihannya kepada Pak Sabar.
”Kamu tidak perlu kecewa apalagi putus asa, Sam. Setiap hambatan pasti ada jalan keluarnya, di balik kegagalan pasti ada keberhasilan. Kuncinya, seperti yang Bapak katakan dulu, adalah sabar, berusaha, berdoa, dan tawakkal.” Pak Sabar mewanti-wanti Samhani agar tidak mudah menyerah.
”Kalaupun tidak berhasil membentuk kelompok, kamu dapat mengusahakannya
secara mandiri. Apalagi kalau ada beberapa orang kampung yang sependapat denganmu. Coba diupayakan dulu secara mandiri, artinya secara sendiri-sendiri. Nanti akan Bapak usahakan bantuan bibit dari teman Bapak di perusahaan tanaman industri itu. Jadi kamu dapat menyemai pohon mahoni sendiri. Bila perlu teman Bapak itu akan Bapak ajak ke kampungmu nanti untuk memberikan penyuluhan tatacara penyemaian, penanaman, sampai kepada perawatannya. Bagaimana, Sam setuju?” Pak Sabar menepuk-nepuk bahu Samhani memberi semangat.
”Insya Allah, Pak. Saya akan mengusahakan sendiri,” Samhani mengangguk.
”Bapak yakin, kalau kamu berhasil nanti akan banyak orang kampung mengikutimu.”
”Mudah-mudahan saja, Pak.” Samhani mengiyakan sambil mohon diri kepada Pak Sabar.
***
Sudah lebih setahun Samhani mengusahakan tanaman mahoni yang ditanamnya di kebun bekas peninggalan orang tuanya. Ternyata pohon-pohon mahoni itu cepat sekali pertumbuhannya. Dalam setahun saja sudah empat meter ketinggiannya. Betul kata teman Pak Sabar pada waktu memberikan petunjuk cara penanaman dan perawatan pohon mahoni dulu, bahwa jika dirawat secara intensif pohon mahani sangat cepat pertumbuhannya. Jarak tanamnya yang hanya tiga kali tiga meter menyebabkan rumput tidak dapat tumbuh dengan bebas karena daunnya yang rindang bersentuhan sehingga menutupi sinar matahari jatuh ke tanah. Tanahnya yang seluas satu hektar lebih itu telah ditanaminya mahoni kurang lebih dua ribu lima ratus batang.
Semula hanya beberapa orang saja yang mau diajak Samhani menanam mahoni. Selain Paman Dolah, Ustad Asrawi, dan beberapa orang saudara dekatnya, Pak Kades juga termasuk orang yang tertarik dengan program penghijauan itu. Tetapi setelah melihat hasil kerja Samhani dengan tanamannya itu, orang-orang yang punya lahan di situ pun sudah ikut tertarik menanam mahoni. Lembah itu pun kini sudah mulai kelihatan hijau jika di pandang dari kampungnya. Samhani merasa sangat senang saban kali memandang lembah itu dari arah kampung.
Tapi bukan hanya itu saja yang membuat Samhani merasa sangat senang. Ada hal lain lagi yang menambah hatinya kian bergairah merawat tanaman itu. Wak Datu yang selama ini sangat menantang gagasan Samhani itu, kini sudah ikut juga menanam mahoni. Perubahan itu diawali dengan suatu peristiwa yang hampir merenggut nyawa Wak Datu. Peristiwa itu terjadi lima bulan yang lalu.
Waktu itu hari sudah sore. Samhani baru saja selesai membersihkan kebunnya, ia mulai melangkah untuk pulang. Tiba-tiba mendung yang sudah bergayut di langit sejak siang pecah menjadi butiran-butiran hujan yang lebat. Dalam keadaan basah kuyub Samhani menuruni bukit yang agak licin. Pada saat dia menuruni bukit yang licin dan terjal itu, sayub-sayub di antara deru hujan ia mendengar suara orang minta tolong. Dengan perasaan risau Samhani mencari asal muasal suara minta tolong itu. Setelah agak lama dia mencari-cari di tengah hujan yang lebat itu akhirnya ia menemukan sumber suara itu. Ia sangat terkejut ketika melihat tubuh Wak Datu tergeletak di tepi jurang dalam keadaan tak berdaya. Dengan sigap dan hati-hati serta dengan segenap kekuatannya Samhani menarik dan mengangkat tubuh Wak Datu yang hampir jatuh ke jurang lalu didukungnya menuruni bukit. Hampir habis tenaga Samhani ketika Wak Datu tiba di rumahnya. Sore itu juga Wak Datu di bawa ke Puskesmas di kota kecamatan. Untung Wak Datu cepat mendapat pertolongan, kalau tidak sulit diramalkan nasibnya, kata dokter yang merawatnya.
Sebulan setelah kejadian itu, Wak Datu bersama istri dan anak-anaknya datang ke rumah Samhani menyampaikan rasa terima kasih atas pertolongannya. Wak Datu dan Samhani ditepungtawari saat itu. Disaksikan para tetangga dan Paman Dolah, Wak Datu mengikrarkan bahwa sejak saat itu Samhani diambil sebagai anak angkatnya.
Tentang peristiwa itu Wak Datu bertutur; ”untung Pendekar Lembah Mahoni ini cepat-cepat menolongku, kalau tidak mungkin tubuhku akan terguling-guling ke dalam jurang yang terjal dan dalam itu,” telunjuk dan mata Wak Datu mengarah ke wajah Samhani yang menunduk.
Menurut pengakuan Wak Datu, saat sedang pulang dari kebunnya dalam hujan lebat itu dia tergelincir dan jatuh terguling-guling seperti kayu. Pada saat dia sudah tak berdaya dan hampir jatuh ke jurang, Samhani datang menolong.
”Saat itu batu yang menahan tubuhku belum lepas, kalau sempat lepas sebelum Samhani menolongku… aih sulit kubayangkan bagaimana nasibku.”
Sejak saat itu Wak Datu pun mengupah orang untuk menanam mahoni di lahan kebunnya yang banyak dan luas itu. Dan sejak saat itu pula Wak Datu sering menyebut Samhani sebagai Pendekar Lembah Mahoni. Mengingat kejadian itu Samhani tersenyum sendiri.
”Hai sedang apa kamu, Sam? Kok, melamun sendiri?” Tiba-tiba Paman Dolah muncul dari sampingnya, dari arah kampung.
”Oh, Paman rupanya. Tidak melamun Paman, hanya merenung.”
“Berpikir maksudmu? Apa lagi yang kau pikirkan, Sam? Bukankah gagasanmu dulu sudah berjalan sebagaimana yang kau rencanakan? Dan tadi Paman seperti melihatmu tersenyum sendiri?” Paman menatap Samhani serius.
”Engkau masih muda, tak perlu buru-buru memikirkan…” Paman Dolah sengaja tak melanjutkan kata-katanya.
”Ah, Paman ada-ada saja,” sambil berkata Samhani bangkit dari duduknya.
”Paman belum pulang? Saya duluan, ya.” Samhani melangkah pulang.
Tanpa dilihat Samhani, Paman Dolah mengangguk. Lalu melangkah ke arah yang
berlawanan. Samhani langsung pulang ke rumahnya.
Sampai di rumah dia sangat terkejut karena di depan rumahnya terparkir sebuah sepeda motor. Bukan terkejut karena selama ini tak pernah ada sepeda motor terparkir di depan rumahnya. Tetapi karena dia tahu persis siapa pemilik sepeda motor itu.
”Pak Sabar ada di rumah? Ada apa gerangan?” bisik hati kecil Samhani.
Samhani bergegas masuk ke rumah. Baru saja dia di ambang pintu ibunya sudah nyeletuk, “Panjang umurmu, Sam. Baru saja Pak Guru menanyakanmu, engkau sudah pulang.”
Samhani menyalami Pak Sabar.
“Apa kabar, Sam? Bagaimana hutan mahoni, sudah hijau?” Pak Sabar langsung menyerbunya dengan beberapa pertanyaan sambil bersalaman.
“Baik, Pak. Alhamdulillah semua orang kampung yang punya lahan kosong di lembah sana sudah menanamnya dengan pohon mahoni. Termasuk Wak Datu yang dulu menghambat, sekarang sudah menanam mahoni juga.”
“Syukurlah, Sam. Paling cepat lima tahun pohon mahoni sudah bisa dijual. Menurut informasi dari Pak Budiarto, teman Bapak itu, pohon mahoni yang sudah berumur lima tahun dapat dijual dengan harga sejuta rupiah perbatang atau 1,4 juta per kubik,” Pak Sabar menjelaskan dengan antusias.
”Jadi hitung saja berapa uangnya jika kamu telah menanam dua ribu batang?” mata Pak Sabar mengerdip menggoda Samhani.
”Ah, Pak Guru ada-ada saja. Kok uang dulu yang dipikirkan?” ibu Samhani ikut nimbrung.
”Betul, Bu. Yang saya katakan ini benar. Bahkan di pulau Jawa sana ada seorang bupati yang menjanjikan warganya untuk naik haji dengan menanam masing-masing seratus batang mahoni saja. Saya lihat sendiri beritanya di televisi. Cuma nama daerahnya saya sudah lupa.”
”Oh, iya. Ini ada berita penting. Berita gembira buatmu, Sam.”
“Berita apa, Pak?” Samhani penasaran.
“Kemarin teman Bapak, Pimpinan Lembaga Conservation International Indonesia yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan pelestarian hutan itu datang ke rumah Bapak. Katanya setiap tahun lembaga yang dipimpinnya menyediakan beasiswa bagi pemuda-pemuda yang punya dedikasi di bidang lingkungan hidup untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Untuk tahun ini salah seorang diantara pemuda yang akan diberi beasiswa penuh itu adalah kamu, Sam.”
“Saya, Pak? Betul, Pak?” Samhani seakan tak percaya dengan ucapan Pak Sabar.
“Betul, Sam. Bapak Budiarto yang pernah mengunjungi lembah mahoni di kampungmu ini merasa sangat terkesan dengan keberhasilanmu mengajak dan menggalang orang-orang kampungmu menanam mahoni sebagai salah satu upaya penghijauan hutan. Sewaktu dia berkunjung dua bulan yang lalu itu, dia meminta data-datamu dari Bapak. Masih ingatkan, ketika Bapak meminta biodata dan fotokopi ijazahmu dua bulan yang lalu?”
Samhani menggangguk. Dia masih ingat, tapi dia tak pernah menanyakan kepada Pak Sabar untuk apa biodata dan fotokopi ijazahnya itu.
”Ini surat undangan beasiswa itu. Kamu dapat melihat sendiri nama perguruan tinggi, jadwal, dan apa saja syarat-syarat pendaftarannya. Yang pasti kepadamu tak akan dikutip biaya apa pun. Dan kepadamu akan diberikan beasiswa penuh hingga meraih sarjana,” Pak Sabar menyodorkan surat di tangannya kepada Samhani.
Disaksikan ibunya, Samhani menerima surat undangan beasiswa S-1 dari Pak Sabar dengan tangan gemetar.
”Terima kasih, Tuhan. Engkau telah mengabulkan doaku,” bisik hatinya.****