Cerpen Bussairi D. Nyak Diwa
Segerombolan camar laut terbang melintasi langit sore dari arah timur menuju ke muara. Berbeda dengan kelelawar yang terbang teratur membentuk barisan yang panjang berkelompok-kelompok, justru camar laut terbang secara serampangan seperti berlomba cepat saling mendahului. Jika kelelawar terbang di pagi hari menuju ke timur untuk beristirahat di pohon-pohon yang tinggi sepanjang hari, maka camar laut terbang di sore hari menuju muara dan menginap di sana sepanjang malam. Dan bila kelelawar terbang dengan sayapnya yang bergerak teratur dengan mengeluarkan suara yang berirama, maka camar-camar laut itu akan terbang dengan sayap datar ibarat jet dengan mengeluarkan suara pius yang fantastis. Tingkah kedua jenis binatang ini memberi isyarat kehidupan yang dapat dijadikan pedoman datangnya musim.
Seekor camar berwarna abu-abu menyambar buih yang berhamburan di pantai, secepat kilat melesat di hadapanku. Aku sempat menyaksikan seekor ikan kecil di paruhnya. Camar itu terus terbang ke arah Selatan hingga hilang di balik rimbunnya pohon cemara yang berbaris di bibir pantai. Lalu berbelok ke timur.
Aku membalikkan wajahku 180 derajat dari arah camar yang hilang itu. Suara yang riuh dan sangat berisik mengganggu gendang telingaku dari sebelah timur sana. Kutatap pohon rambong yang besar dan tinggi menjulang di tepi hutan lindung dan seram. Cabang-cabangnya yang gundul tanpa daun dipenuhi oleh makhluk begandal dan aneh itu. Kukatakan aneh, karena makhluk itu selalu bergelantungan memenuhi pohon yang seraksasa apapun besarnya. Selain mengeluarkan suara yang gaduh luar biasa, pohon-pohon yang dihinggapinya dibuat tak berdaya. Ibarat kepala yang plontos, sebesar apapun pohon yang dihinggapi oleh makhluk yang aneh itu pasti akan tinggal cabang dan ranting-rantingnya saja. Selembar daun pun tak akan tersisa karena disantap oleh makhluk yang tak berbulu itu. Sungguh miris nasib pohon rambong itu.
Aku jadi berpikir, seandainya manusia mempunyai sifat seperti burung aneh itu, apa jadinya negeri ini. Sifat rakus dan tamak yang menghinggapi makhluk itu sungguh sangat mengerikan. Bayangkan saja, dalam waktu yang singkat binatang itu dapat meluluhlantakkan pohon yang dihinggapinya. Burung-burung itu bukan sekadar bertengger di pohon, tetapi sekaligus melahap apa yang ada, sehingga tak menyisakan apapun kecuali ranting-ranting tempat burung-burung itu bergelantungan.
Aku mengarahkan pandanganku semakin ke timur, menembus jalan setapak dan semak belukar. Terus ke timur. Akhirnya pandanganku terbentur pada deretan bukit-bukit yang membentang membatasi langit berwarna kemerahan. Bukit-bukit itu, hutan belantara yang masih perawan, di dalamnya mengandung kekayaan yang tiada tara. Rotan kualitas nomor satu dunia, madu yang tak tertandingi khasiatnya, flora dan fauna langka yang dilindungi undang-undang juga banyak di sana. Menurut cerita semua hasil alam itu masih alami, belum terjamah tangan-tangan rakus manusia.
Sejenak kutinggalkan jalan setapak di belakangku. Aku kembali menghadap ke laut, ke arah matahari yang akan tenggelam. Warna langit menjelang senja semakin memerah menerima pantulan matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Warna merah yang menyapu kaki langit itu menjadi pertanda mulai datangnya musim penyu bertelur. Beberapa saat setelah matahari tenggelam ratusan penyu akan merayap pelan-pelan dari arah ombak menuju pantai yang agak tinggi, lalu menggali lobang untuk betelur di sana. Dalam waktu tak lebih dari dua jam ratusan telur menumpuk dalam lubang itu, lalu ditutupnya kembali dengan pasir dengan rapi sekali sehingga tak mudah ditemukan oleh binatang pemangsa atau manusia.
Tetapi secerdik-cerdik binatang melata yang berwarna hijau lumut itu menyembunyikan telur-telurnya, lebih cerdik lagi akal bulus manusia. Kalau berang-berang datang untuk memangsa telur-telur itu setengah jam setelah penyu mengeluarkan telur-telur dari rahimnya, maka manusia datang setengah jam sebelum penyu-penyu itu menggali lubang. Dari semak-semak berpasang-pasang mata mengintip dengan teliti fokus sasarannya. Kemudian tak lebih dari dua menit setelah penyu itu meninggalkan lubangnya, maka tamatlah riwayat telur-telur itu berpindah tempat ke dalam karung-karung putih bekas tempat tepung terigu. Ternyata di tangan manusia nasib telur-telur itu lebih tragis ketimbang di mulut berang-berang. Berang-berang hanya mampu melumatkan paling banyak sekitar sepuluh telur. Sisanya, jika benasib baik maka akan menjadi generasi penerus keturunan binatang langka yang dilindungi itu. Tapi jika ditemukan oleh tangan-tangan manusia, maka jangan harap sebijipun tersisa. Hanya berbilang hari, maka telur-telur ini akan hijrah dari kampung pesisir dan terpencil ini ke pasar-pasar ikan atau warung-warung di kota kecamatan, bahkan di kota kabupaten. Telur-telur yang lembek itu akan menjadi menu yang sangat diminati oleh orang-orang kota.
”Sedang apa, Pak Guru?”
Aku terkejut. Tiba-tiba dari belakangku kudengar suara berat seorang lelaki. Aku berpaling, laki-laki setengah baya yang bertubuh kekar itu menatapku lurus-lurus. Kulitnya yang hitam legam dan rambutnya yang juga lurus-lurus hampir sebahu menegaskan bahwa ia orang tulen wilayah pesisir yang terpencil ini. Celana bongkol yang panjangnya hanya dua jari di bawah lutut dan baju kaus putih yang sudah berubah warna lebih menguatkan identitasnya bahwa dia tak pernah menyelesaikan bangku sekolah dasar. Aku tersenyum menatapnya tak berkedip. Dia bukan orang asing bagiku.
“Ya, Bang. Bang Laidin mau ke mana?”
Kuperhatikan lelaki empat puluhan itu dengan saksama. Di tangan kanannya tergenggam sebilah parang panjang yang sudah mengecil ujungnya. Sementara tangan kirinya menggenggam sebuah senter yang sudah berkarat pinggir-pinggirnya. Di bahu kirinya itu tersangkut selembar karung bekas tempat tepung terigu yang sudah kusam. Pertanyaanku hanya sekadar basa-basi, sebab dari gelagat dan perlengkapan yang ada di tangannya aku sudah tahu dia mau ke mana.
”Biasa, Pak Guru,” jawabnya enteng.
”Sekarang kan musim penyu bertelur, lumayan buat tambahan penghasilan.”
Ya, apa yang kukhawatirkan selama ini memang akan terjadi setiap saat. Bukan hanya Bang Laidin, tetapi beberapa lelaki setengah baya sebentar lagi akan bermunculan di tepi pantai ini. Mereka akan dengan sabar mengintip dari balik semak-semak sejak sebelum senja turun. Dari balik semak-semak itu mereka merelakan tubuh-tubuh mereka dikerubungi nyamuk untuk mengetahui di mana telur-telur penyu itu disembunyikan.
”Pak Guru mau ikut mengintip juga?”
”Ah, tidak Bang. Saya hanya ingin menikmati matahari tenggelam.”
”Wah, Pak Guru. Sebaiknya Pak Guru jangan berada di sekitar sini pada saat senja hari. Sebab itu akan berbahaya bagi Pak Guru.”
”Maksud Bang Laidin?”
”Begini, Pak Guru. Sejak dulu, bahkan sejak saya masih kanak-kanak, orang-orang tua di sini selalu melarang warga untuk berada di sekitar sini saat senja hari. Sebab di sini ada penghuninya. Biasanya penghuni yang berkuasa di wilayah ini akan turun saat senja tiba. Jika ia berpapasan dengan anak-anak atau orang asing ia akan menyapa. Jika seseorang terkena sapaannya, maka orang itu akan terkena penyakit yang sulit disembuhkan hingga sampai ajalnya,” Bang Laidin menjelaskan.
”Lho, bukankah Bang Laidin dan orang-orang kampung sering berada di sekitar sini saat senja hari? Tapi, tidak apa-apa?” Aku mencoba berargumen, walaupun sebenarnya aku tahu argumenku tak berguna bagi orang kampung semacam Bang Laidin ini.
”Kalau kami, ya tentu saja tak apa-apa, Pak Guru. Kami sudah terbiasa di sini, dan tentu saja karena kami penduduk asli di sini. Jadi penghuni wilayah sini sudah kenal baik dengan kami.”
O, jadi begitu rupanya. Penguasa di rimba ini tidak berkenan menerima orang asing atau anak-anak saat senja hari di sini. Sambil mengangguk-angguk aku berbicara sendiri di dalam hati. Jadi karena aku pendatang di desa ini, maka aku tidak boleh berada di sini saat senja hari. Nanti penguasa di sini akan marah dan menyapaku. Dan aku….
”Baiklah, Bang Laidin. Sebelum senja tiba, saya pulang sekarang.”
”Ya, Pak Guru. Hati-hati di jalan.”
”Iya, Bang,” aku menyahut sambil melangkah pulang.
Aneh. Selama hampir setahun aku di desa terpencil ini ada-ada saja hal-hal aneh yang kutemukan. Hal-hal aneh itu terkadang teramat sulit diterima oleh akal sehat. Masak ada penghuni rimba yang tidak senang dengan pendatang atau anak-anak. Penghuni sekaligus penguasa yang tidak terlihat itu akan menyapa orang-orang yang dianggap mengganggu wilayahnya di saat-saat tertentu. Jika hal itu dilanggar dan penguasa marah lalu menyapanya, maka orang itu akan jatuh sakit hingga meninggal dunia. Akh, tahyul dan tak masuk akal, pikirku.
Ada lagi hal aneh yang sangat-sangat tak masuk akal bagiku. Tapi hal ini hanya dihembuskan oleh beberapa orang saja, orang-orang yang dianggap terpandang di desa terpencil ini. Hal aneh ini aku ketahui dalam suatu rapat desa dua bulan yang lalu. Waktu itu aku diajak oleh kepala desa untuk ikut serta menghadiri rapat di Balai Desa.
Kepala Desa menjelaskan padaku bahwa pemerintah merencanakan akan membangun jalan tembus ke desa ini. Jalan yang akan menghubungkan desa ini dengan dunia luar. Untuk itu pemerintah memerlukan dukungan penuh penduduk desa, karena jika tidak, kemungkinan rencana pembangunan jalan itu akan mengalami kegagalan. Hal itu disebabkan ada beberapa lembaga swadaya masyarakat yang menantang pembangunan jalan yang membelah hutan rimba yang dilindungi itu. Kepala Desa mengajakku untuk ikut meyakinkan masyarakat akan pentingnya pembangunan jalan itu.
Dalam rapat yang berlangsung di Balai Desa itu Kepala Desa mengemukakan bahwa pemerintah merencanakan akan membangun jalan tembus di desa terpencil ini. Jalan tembus sepanjang enam puluh lima kilometer itu akan dibangun oleh pemerintah pusat dengan menggunakan dana APBN. Tentu saja masyarakat harus proaktif dalam pembangunan yang jelas-jelas akan membuka akses dengan dunia luar. Kepala Desa meminta seluruh masyarakat untuk mendukungnya.
”Dukungan seluruh masyarakat sangat menentukan pembangunan jalan ini,” kata Kepala Desa.
”Untuk itu melalui rapat ini saya meminta semua kita menandatangani surat pernyataan mendukung pembangunan jalan yang membelah desa kita ini.”
Kepala Desa lalu mengambil sebuah map berwarna biru tua dari sampingnya. Dia mengeluarkan beberapa lembar kertas yang sudah dijilid dengan rapi. Kepala Desa kembali menatap para hadirin. Sambil memegang lembaran kertas tadi, ia meminta satu persatu warga desa maju untuk menandatangani surat pernyataan itu. Belum sempat Kepala Desa memulai memanggil nama-nama yang tertera di kertas itu, tiba-tiba dari depan sebelah kanan seseorang angkat bicara.
”Saudara-saudara para hadirin, sebelum kita menandatangani surat pernyataan itu saya minta waktu sejenak untuk bicara,” laki-laki setengah baya dengan pakaian necis itu mulai angkat bicara.
”Seingat saya sejak tahun delapan puluhan jalan di desa kita ini sudah direncanakan untuk dibangun oleh pemerintah. Mulai dari sejak pemerintahan Presiden Suharto hingga Megawati sudah berulangkali rencana itu dikumandangkan. Tetapi apa yang terjadi? Sampai hari ini rencana pembangunan jalan itu tidak pernah terlaksana. Saudara-saudara tahu apa penyebabnya? Sebagai orang asli dan sudah hidup lama di desa ini saya tahu persis apa penyebabnya. Tak lain dan tak bukan karena untuk membangun jalan dan dua jembatan yang menghubungkan desa kita dengan dunia luar itu mebutuhkan korban. Bukan hanya sekadar uang miliyar rupiah yang harus disiapkan oleh pemerintah, tetapi juga dalam bentuk pengorbanan jiwa dari masyarakat desa kita sendiri. Maukah kita mengorbankan jiwa anak kita, saudara kita, atau siapa saja di antara kita demi pembangunan jalan dan jembatan itu? Saya kira siapapun kita tidak akan mau mengorbankan jiwa sanak keluarganya hanya untuk membangun jalan dan jembatan. Dari pada mengorbankan mereka lebih baik kita tak perlu membangun jalan dan jebatan itu. Bukankah begitu saudara-saudara?” Orang berbaju necis yang dikenal bernama Pak Rakib itu menjelaskan panjang lebar.
Aku menggeleng-geleng tanpa sengaja. Aku tak mengerti arah pembicaraannya. Penjelasan Pak Rakib itu tidak diterima oleh akal sehatku. Masak untuk membangun jalan dan jembatan membutuhkan pengorbanan jiwa segala? Ah, takhyul, bisikku dalam hati.
Beberapa saat rapat itu menjadi hening. Tapi tiba-tiba dari sudut ruangan sebelah kanan seorang anak muda angkat bicara.
”Butuh pengorbanan jiwa bagaimana, Pak Rakib. Apa hubungannya pembangunan jalan dan jembatan dengan pengorbanan jiwa manusia? Saya tak mengerti.”
Pemuda yang bernama Ridwan itu berbicara lantang dan polos. Dia adalah satu-satunya pemuda di desa ini yang menamatkan SMP di kota kecamatan. Umurnya kira-kira dua puluh tahun.
”Rasanya penjelasan Pak Rakib itu tidak masuk akal,” tambahnya hampir tak terdengar.
”O, kamu memang tidak mengerti Ridwan. Itu karena kamu anak kemarin. Kamu tidak tahu. Di tahun delapan puluh enam ketika pertama kali pembangunan jalan ini digembar-gemborkan, berapa banyak warga kita yang sakit mendadak lalu meninggal. Kemudian ketika Ibu Megawati menjadi presiden, pembangunan jalan itu kembali dimunculkan. Saya masih ingat, tiba-tiba saja saat itu datang wabah penyakit aneh. Banyak warga yang tiba-tiba seumapa lalu meninggal. Kamu memang tidak tahu Ridwan, karena kamu waktu itu masih kecil. Tapi orang-orang tua di kampung ini tentu masih ingat, termasuk Kepala Desa tahu persis hal itu.”
Kulihat Pak Kepala Desa melirik kiri kanan, ragu-ragu. Nampaknya beliau ingin bicara. Tapi tiba-tiba seorang tua yang memakai peci yang sudah lusuh dimakan usia mendehem seperti ingin bicara. Orang tua itu adalah Nektu Mahmud, penghuni tertua desa ini. Umurnya hampir sembilan puluh tahun. Tapi ingatannya masih kuat dan tubuhnya masih kelihatan kekar. Nektu Mahmud dikenal sebagai orang pintar alias dukun di desa ini. Ilmu pedukunan adalah warisan dari orang tuanya yang semasa hidupnya dukun juga. Malah sangat terkenal dalam mengobati orang sakit. Demikian juga Nektu Mahmud, jika ada orang sakit di desa ini pasti akan datang ke rumahnya untuk berobat. Apalagi di desa ini tidak ada dokter. Jangankan dokter, perawat pun tidak ada. Itulah yang kuketahui selama hampir setahun aku di desa ini.
”Apa yang dikatakan oleh Si Rakib itu benar. Sebagai orang tua di kampung ini saya tahu persis hal itu. Jika kita bertekat juga membangun jalan tembus itu dengan membelah desa kita ini, maka bencana besar akan menimpa kita semua. Karena apa? Karena dengan membangun jalan itu berarti sebagian dari hutan yang mengelilingi desa kita ini akan ditebang dan tanahnya akan diratakan. Jadi penghuni rimba di sekeliling desa kita yang selama ini aman-aman saja menjadi terusik dan terganggu. Dia pasti akan marah. Akibatnya tentu kita semua dapat membayangkannya.”
Nektu Mahmud menjelaskan panjang lebar. Sebagian warga mengangguk-angguk dan ada yang mendehem. Sekolompok ibu-ibu yang duduk di sudut sebelah kanan paling belakang berbisik-bisik. Tetapi tidak jelas apa yang dibisikkan mereka. Aku sendiri membisu di samping Kepala Desa. Wibawa orang tua itu ketika bicara membuatku seperti sedang berkelana ke negeri asing. Ke negeri antah berantah yang seakan tak kukenal.
”Ya, saya sependapat dengan Nektu,” tiba-tiba ada suara lain dari sudut ruangan sebelah kiri. Seorang anak muda yang berbadan kekar dan tinggi besar ikut bicara.
”Lebih baik kita hidup seperti sekarang ini dari pada nanti akan datang mala petaka yang justru akan mencelakakan kita semua. Untuk apa jalan kalau hidup kita nanti malah menjadi terusik,” anak muda yang bernama Dirman itu bicara meyakinkan sambil melempar pandang ke seluruh ruangan.
Kepala Desa yang semula kulihat ingin bicara, mengurungkan niatnya. Dia malah menatapku lamat-lamat. Matanya mengisyaratkan kepadaku agar aku ikut bicara. Aku ragu-ragu beberapa saat. Tapi kemudian kuberanikan diri untuk bicara.
”Bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara yang saya muliakan,” aku mulai bicara dengan suara rendah tapi jelas.
”Izinkanlah saya memberikan sedikit pendapat tentang pembangunan jalan di desa kita ini. Sepengetahuan saya jalan yang akan dibangun ini merupakan jalan negara yang sejak dulu memang sudah ada,” aku berhenti sejenak terbatuk-batuk beberapa kali.
”Jalan itu adalah jalan setapak yang melewati hutan rimba dan membelah sungai dan rawa yang dibuka semasa penjajahan Belanda dulu. Tapi berhubung beberapa sebab, setelah negara kita merdeka rencana pembangunan jalan itu terpaksa dibatalkan. Penyebab yang utama adalah karena badan jalan itu kelak akan membelah desa kita dan hutan lindung di sekitarnya. Para aktivis lingkungan dan pencinta hutan dan binatang langka menantang keras pembangunan jalan itu. Karena menurut mereka apabila jalan itu dibuka, maka akan mengganggu ekosistem lingkungan dan merusak Taman Nasional Gunung Leuser atau TNGL. Tetapi jika kita membuat pernyataan kepada pemerintah untuk menyetujui pembangunan jalan itu, maka pemerintah akan melaksanakannya.
Namun pernyataan setuju itu harus dibuktikan secara tertulis dan setiap warga harus menandatanganinya. Oleh karena itulah Kepala Desa mengajak kita untuk menandatangani surat pernyataan tersebut dalam rapat ini. Jika kita ingin desa kita ini maju dan hidup kita makmur kelak, maka marilah kita dukung pembangunan jalan itu dengan menandatangani surat pernyataan setuju yang telah disiapkan oleh Kepala Desa. Tapi jika tidak, maka selamanya kita akan hidup dalam keadaan terkurung di daerah terpencil dan terisolir ini. Karena sarana transportasi darat yang menghubungkan desa kita dengan daerah lain tidak ada. Apalagi listrik sebagai penerangan di desa kita ini, tidak akan pernah ada apabila jalan tidak dibangun terlebih dahulu. Jadi akibatnya, jika malam hari desa kita akan gelap selamanya.”
Aku menjelaskan panjang lebar sesuai dengan pengetahuan yang kuperoleh selama ini dan dari berita-berita koran yang sempat kubaca ketika aku pulang ke kota beberapa waktu yang lalu. Bapak Kepala Desa mengangguk-angguk membenarkan di sampingku. Aku ingin melanjutkan penjelasanku, tapi tiba-tiba Pak Rakib kembali bicara dengan lantang membuat aku mengurungkan niatku.
”Apa yang kau tahu tentang kampung kami ini hai anak muda pendatang. Engkau baru setahun berada di sini. Sedangkan kami sudah beranak-pinak di sini. Kami sudah merasakan pahit getir kehidupan di sini sejak dulu. Jadi tidak perlu kamu mempengaruhi kami. Biarkan kami hidup dengan cara kami sendiri. Tanpa jalan itu pun kami bisa hidup makmur, bukankah begitu saudara-saudara…?”
Pak Rakib melihat kiri-kanan seakan meminta persetujuan hadirin. Kulihat beberapa orang mengangguk-angguk sambil bergumam mengiyakan. Lalu yang lain-lain pun ikut mengiyakan.
”Jadi, rapat ini kita batalkan saja. Lebih baik kita pulang.”
Pak Rakib berteriak lantang sambil berdiri berancang-ancang untuk pergi. Beberapa orang anak muda dan ibu-ibu juga ikut berdiri dan mengikuti Pak Rakib yang mulai melangkah ke luar. Perasaanku menjadi tidak enak. Aku diam terpekur.
Melihat situasi yang mulai tidak nyaman, Kepala Desa memutuskan untuk menutup rapat itu. Rapat ditunda hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
***
Azan baru saja bergema saat aku tiba di mess sekolah tempat tinggalku. Suara Teungku Mukhlis yang khas itu lantang tanpa pengeras suara. Suara aslinya membelah suasana senja dari mihrab meunasah ukuran 8 x 10 meter itu yang seakan tergeletak begitu saja tak jauh dari mess sekolah. Sebenarnya itu bukan mess, karena hanya sebuah ruangan yang disekat dari ruang kelas yang kosong karena kekurangan murid. Tapi aku lebih senang disebut mess karena istilah itu dapat sedikit memberi motivasi bagiku sebagai seorang guru. Entah kenapa, aku tidak tahu. Yang jelas apapun istilahnya orang-orang kampung ini tak pernah ambil peduli, karena pengetahuan mereka hanya sebatas laut, pantai, ladang, sawah, hutan, atau aliran sungai tempat mereka beraktivitas untuk menyambung hidup sehari-hari. Di ruang pengap itulah aku tinggal mengayuh hidup sambil merajut ilmu buat bekal bocah-bocah kumal desa tertinggal ini.
Menurutku malam begitu cepat memburu waktu di desa terpencil ini. Jika malam telah tiba, maka kegelapan terasa begitu mencekam. Tak ada setitik pun cahaya penerang di jalan-jalan ataupun di pekarangan rumah penduduk. Gelap gulita. Orang-orang yang berjalan di malam hari biasanya menggunakan senter berkekuatan dua biji baterai bermerek everiday atau ABC. Tapi penduduk lebih banyak menggunakan suar yang dibuat dari daun kelapa kering yang sudah disatukan, lalu dibakar ujungnya. Dan api pun akan menyala sebagai alat penerang jalan.
Pengguna suar harus cepat-cepat berjalan agar cepat sampai ke tujuan sebelum mati.
Beruntung jika langit malam sedang cerah tanpa awan. Maka cahaya bulan atau bintang-bintang yang berkelip-kelip sangat membantu sebagai penerang jalan. Orang-orang lebih memilih istirahat dan tidur lebih cepat di malam hari. Menurut pendapat temanku sewaktu kuliah dulu, salah satu penyebab orang-orang desa mempunyai banyak keturunan karena PLN belum terjangkau ke desa-desa. Bila malam tiba, para penduduk akan cepat-cepat tidur. Ah, ada-ada saja.
Aku tidak langsung ke mess, tapi singgah dulu di meunasah untuk salat magrib berjamaah. Setelah berwudhuk di sumur samping meunasah dengan menggunakan timba yang terbuat dari pelepah pinang, aku melangkah ke dalam meunasah. Melihat aku datang Teungku Mukhlis cepat-cepat berdiri untuk qamat. Sudah biasa bahwa aku adalah satu-satunya jamaah yang menjadi makmum dan Teungku Mukhlis adalah satu-satunya orang yang sekaligus merangkap jabatan bilal dan imam. Sesekali makmum dilengkapi oleh kepala desa jika tak berhalangan. Gambaran kehidupan yang amat ironis akibat keterbatasan pembangunan jalan di tengah-tengah zaman global? Entahlah.
Usai salat magrib aku langsung pulang ke mess. Sampai di halaman sekolah, beberapa meter mendekati kamar mess tempat aku tinggal aku berpapasan dengan Daud anak Pak Kades yang mengantarkan rantang makan malamku. Selama aku tinggal di desa terpencil ini, aku bayar makan pada keluarga Pak Kades. Bu Azizah, istri Pak Kades itu sungguh baik denganku, membuatku senantiasa senang dan betah memesan rantang padanya. Jika malam hari biasanya Daud mengantar rantang ke tempat kostku. Tapi kalau pagi dan siang aku makan di rumah Pak Kades. Sambil mengantar rantang, Daud tak pulang lagi ke rumahnya. Remaja yang masih duduk di kelas enam sekolah dasar itu amat setia menemaniku tidur di mess hampir setiap malam. Kadang-kadang ia juga ditemani oleh beberapa teman sekelasnya seperti Hamid, Yuliddin, dan Amran. Sebelum tidur biasanya aku mengajar mereka mengaji atau mengulang pelajaran.
Malam ini Daud tidak tidur bersamaku. Katanya malam ini dia membantu ibunya membuat juadah pesanan tetangga yang berhajat mengadakan kenduri besok pagi. Setelah menyerahkan rantang kepadaku dia langsung pulang. Beberapa saat aku berdiri di teras mess yang remang-remang karena gelap sudah turun. Sinar dua belas hari bulan sedikit membantuku menembus remang malam. Ada awan yang menutupi wajah ratu malam itu sehingga sinarnya agak muram. Dari kejauhan suara burung pungguk mulai kedengaran sayup-sayup bersahut-sahutan. Burung yang aneh, suaranya baru akan kedengaran apabila sinar bulan mulai muncul. Tapi kalau awal dan penghujung bulan jangan harap dia akan bersuara senja-senja seperti ini, karena bulan akan muncul menjelang subuh tiba. Dan jika bulan tak pernah muncul jangan harap pula suaranya akan terdengar. Patutlah ada pepatah, seperti pungguk merindukan bulan.
Beberapa saat aku berharap teman-teman Daud akan datang. Tapi setelah beberapa lama aku menanti di luar, mereka tak muncul-muncul juga, akhirnya aku melangkah ke dalam. Dengan meraba-raba di atas meja, aku meraih mancis dan menyalakannya. Lalu kuhidupkan panyot di atas meja. Kamar ukuran empat kali tiga meter itu menjadi temaram disinari cahaya panyot yang muram.
Kuambil rantang dari atas meja, lalu kubuka perlahan. Aroma nasi yang masih panas dan sambal sunti yang dicampur dengan petai menyerbu hidungku membangkitkan selera makanku. Kuah gulai rebung yang lemak kental kutuang dalam piring nasiku. Kemudian kuambil sepotong ikan asin.
Ketika akumulai makan aku teringat Hayati, kakak Daud yang cantik itu. Aku yakin, dialah yang masak lauk-pauk yang sedap ini. Ibunya pernah bilang padaku bahwa gadis satu-satunya ini pintar memasak gulai. Tapi sayang, meskipun cantik Hayati hanya tamat sekolah dasar.
Aku makan dengan lahap sekali. Konsentrasiku hanya tertuju pada piring nasi dan rasa nikmat yang kurasakan. Sudah dua kali aku menambah nasi ke dalam piring dan nasi di dalam rantang hanya tinggal secuil lagi ketika tiba-tiba aku mendengar pintu depan diketuk-ketuk dengan keras.
Aku terkejut. Tak biasanya seperti ini. Kalau pun ada yang datang dan mengetuk pintu, ketukannya tidak sekeras seperti yang kudengar. Kupasang pendengaranku dengan saksama. Tak salah, ketukan yang keras kembali terdengar dari pintu depan. Aku bangkit. Dengan beringsut pelan-pelan aku menuju pintu.
”Siapa di luar?”
Aku bertanya ketika sudah berada di depan pintu. Tidak ada jawaban. Hening beberapa saat. Suara jengkerik yang nyaring dari sudut ruangan yang sejak tadi menemani makanmalamku hilang lenyap. Aku menguping di depan pintu. Suasana semakin senyap. Aku kembali ke tempat semula ingin melanjutkan kembali makan malam yang belum tuntas. Di benakku muncul bermacam-macam pikiran. Namun aku tak peduli dengan pikiran-pikiran itu.
Tetapi belum sempat aku duduk di depan piring nasi untuk melanjutkan makan, tiba-tiba pintu berderak keras sekali. Daun pintu yang tidak terkunci yang terbuat dari papan pohon merantiitu terhempas keras ke dinding ruangan. Angin hempasan pintu hampir saja mematikan nyala panyot di atas meja. Cahayanya meliuk-liuk menyambut dua sosok manusia yang melesat ke dalam.
Aku terkejut. Dua sosok manusia berpakaian serba hitam itu tiba-tiba sudah berdiri di hadapanku. Yang satu berbadan tinggi besar dengan postur yang kekar, tangan kanannya memegang senter yang menyala membuat mataku nanar. Di pinggangnya tergantung sebilah golok yang bersarung. Yang satunya lagi agak kecil dan jangkung, di tangannya sebilah golok siap untuk ditebaskan. Kedua-duanya memakai kain penutup wajah dan kepala berwarna hitam. Hanya dua pasang mata kelihatan menatapku dengan tajam. Tampang mereka persis tokoh-tokoh antagonis dalam film-film laga.
Secara reflek aku berdiri tegak. Pikiranku cepat berputar. Pirasatku mengabarkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi apa? Seingatku, aku tidak pernah membuat masalah selama berada di desa terpencil ini. Apa lagi berurusan dengan orang-orang semacam ini. Sebagai seorang guru yang masih lajang kerjaku sehari-hari di sini cuma mengajar. Kalau pun ada kerja lain paling-paling hanya sekadar membantu orang-orang di kebun atau di rumah-rumah orang yang sedang ada hajatan. Aku tidak pernah berhubungan dengan anak gadis orang, apalagi mengganggu atau berpacaran.
Mungkin mereka benci padaku karena aku sering berkomunikasi dengan Hayati, gadis yang cantik itu? Tapi bukankah aku tidak pernah melanggar adat dengan anak Pak Keucik itu? Atau mungkinkah mereka hendak merampokku? Lalu apa yang hendak mereka rampok? Aku tidak punya apa-apa selain beberapa pasang pakaian dan sejumlah buku yang berserakan di atas meja. Tapi kenapa orang-orang ini menemuiku dengan cara tak bersahabat? Dengan penuh selisik aku mundur beberapa langkah.
”Maaf, ada apa ini?,” tiba-tiba ucapan yang kurasa konyol keluar dari bibirku. Aku sadar pertanyaan itu tak ada artinya dalam situasi seperti ini. Toh, kalaupun mereka bermaksud baik, datang dalam keadaan seperti ini pasti bukan orang baik-baik.
”Kami datang ke mari untuk mengingatkan Pak Guru….”
Si tinggi besar mulai bicara dengan suara berat. Si ramping menatapku liar dan tajam.
Hanya mengingatkan? Datang dengan mendobrak pintu dan membawa golok hanya untuk mengingatkan? Mengingatkan apa? Apa kesalahan yang telah kulakukan sehingga aku harus diingatkan? Berbagai pertanyaan berkecamuk di otakku?
”Mulai sekarang, Pak Guru jangan coba-coba lagi membicarakan tentang pembangunan jalan tembus itu! Jika ingin selamat Pak Guru di sini cukup mengajar saja, jangan mencampuri urusan desa kami. Pak Guru jangan macam-macam di desa kami,” suara yang berat itu menusuk langsung ke jantungku. Cahaya senter tiga watt langsung diarahkan ke wajahku. Mataku nanar beberapa saat.
Oh, aku tahu sekarang apa masalahnya. Ini pasti urusan rapat di balai desa beberapa waktu lalu. Tapi mengapa orang-orang ini melarangku ikut campur dalam urusan pembangunan desa? Bukankah dengan membangun jalan tembus itu akan membuka akses kemajuan bagi masyarakat? Bagi anak dan cucu mereka juga? Ah, di zaman yang sudah maju ini kok masih ada orang-orang yang berpikiran picik seperti itu? Bermacam-macam pertanyaan berkecamuk di benakku.
Mulutku hampir tak dapat kutahan untuk bicara membela diri. Tapi si ramping menggerak-gerakkan goloknya yang mengkilat diterpa sinar panyot ke wajahku. Aku terpaksa urung dan memilih diam seperti patung. Hatiku merasa kecut. Jika si ramping ini melakukan sesuatu terhadapku, aku yakin tak dapat berbuat apa-apa kecuali ada keajaiban dari Yang Maha Kuasa.
”Ingat Pak Guru. Kami tak segan-segan menghabisimu jika tidak mematuhi peringatan ini,” ancam si kekar dengan suara meninggi.
Kulihat si tinggi besar memberi kode kepada si ramping dengan senternya untuk pergi meninggalkanku. Mereka bergegas keluar menerobos gelap. Aku masih terpaku berdiri ketika kedua orang itu hilang ditelan gelap malam. Dalam hati kecil aku bersyukur karena telah terlepas dari ancaman orang-orang yang tak kukenal ini.
Cepat-cepat kututup dan kukunci pintu. Sisa makanan yang belum sempat kuhabiskan kuletakkan di atas meja. Aku sudah tidak punya selera untuk melanjutkan makan malam. Aku ke kamar mandi mengambil wuduk. Aku salat isya. Selesai salat aku berdoa memohon perlindungan kepada-Nya sekalian mohon ampun atas segala dosa.
Selesai salat aku ke tempat tidur lalu merebahkan diri di atas ranjang. Aku berusaha memicingkan mata. Tetapi aku tidak bisa terlelap. Peristiwa demi peristiwa berputar-putar di benakku seperti alur cerita yang tak pernah usai. Tiba-tiba aku jadi ingat keluarga di kota. Wajah Ayah, ibu, dan kedua adikku silih berganti menjelma di benakku.
Ayahku seorang pedagang yang memiliki toko pakaian di kota, sedangkan ibuku seorang guru SMP. Aku anak sulung dari tiga besaudara. Saudaraku yang nomor dua perempuan, saat ini sedang menempuh pendidikan semester terakhir di sebuah universitas di kota Medan Sumatera Utara. Adikku yang bungsu laki-laki, masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Rumah kami di ibukota kabupaten, kurang lebih dua ratus lima puluh kilometer dari desa terpencil ini.
Aku berada di desa terpencil ini bukan atas kemauanku. Ini semata-mata karena pengabdianku sebagai seorang guru sekolah dasar. Dua tahun aku menganggur sebagai seorang sarjana PGSD. Memasuki tahun ketiga aku ikut tes CPNS dan alhamdulillah aku lulus. Tak lama aku menunggu, empat bulan kemudian SK CPNS keluar dan aku diangkat sebagai guru SD di Desa Bulohseuma ini. Semula orang tuaku keberatan aku diangkat di SD terpencil ini. Menurut ayahku, daripada diangkat sebagai guru di daerah terisolir lebih baik aku membantunya di kota menjaga toko berjualan pakaian. Penghasilannya malah lebih menjanjikan, kata Ayah. Tapi aku lebih memilih hijrah ke desa terpencil dan terbelakang ini sebagai guru dari pada menjaga toko. Bertahun-tahun aku kuliah karena menghargai profesi guru, apalagi menjadi guru adalah cita-citaku sejak kecil. Jadi kukesampingkan saja saran ayah, dengan penuh semangat aku berangkat ke mari. Meskipun untuk sampai ke desa ini aku harus memiliki semangat baja dan bernyali tinggi.
Bayangkan, untuk sampai ke desa ini aku harus menempuh perjalanan yang sungguh melelahkan. Setelah sehari penuh aku berangkat dari rumah dengan mengendarai L-300 aku sampai di kota kecamatan. Di kota kecamatan aku mesti bermalam, paginya baru bisa melanjutkan perjalanan dengan menumpang perahu motor melewati muara dan sungai yang berliku-liku.
Sungguh perjalanan yang mendebarkan melewati sungai di tengah rimba tak bertuan. Menjelang sore hari aku tiba di desa yang asri dan alami ini, disambut oleh Kepala Sekolah, satu orang guru muda seusiaku, dan sekelompok anak sekolah yang bersorak sorai. Kepala Desa yang menjemputku di ibukota kecamatan memperkenalkanku dengan Kepala Sekolah dan guru muda itu. Sejak saat itu jadilah aku warga Desa Bulohseuma, desa yang terpencil dan terisolir ini.
***
Aku menatap anak-anak yang satu persatu mulai berdatangan ke sekolah. Aku baru saja membuka pintu-pintu ruang kelas yang berjumlah enam buah itu. Pagi ini aku terbangun agak kesiangan. Hampir saja salat subuhku terlambat. Semalam aku baru tertidur menjelang subuh. Kejadian yang tak kusangka-sangka itu telah membuat aku tak dapat memicingkan mata sepanjang malam. Tapi syukurlah, akhirnya aku tertidur juga walau hanya sekitar satu jam. Kejadian semalam masih saja menghantui pikiranku sehingga membuatku tidak bersemangat pagi ini.
”Bagaimana, Pak Taufik dapat tidur nyenyak semalam?” Tiba-tiba Pak Ansar, sang Kepala Sekolah muncul dari belakangku dengan pertanyaan yang mengagetkanku. Di belakangnya, Pak Zainal, guru muda itu juga sudah tiba.
”Alhamdulillah Pak, seperti biasa,” jawabku asal menjawab saja.
Pertanyaan serupa sudah sering diajukan Pak Ansar sebagai pertanyaan pertama setiap bertemu denganku di pagi hari. Dan aku yakin pertanyaan Pak Ansar pagi ini tidak ada hubungannya dengan kejadian semalam karena dia tidak tahu apa yang aku alami.
Aku minta izin kepada kepala sekolah untuk sarapan pagi ke rumah kepala desa. Biasanya sebelum anak-anak datang ke sekolah aku sudah siap sarapan. Tapi pagi ini aku tak sempat, keburu waktu karena aku terlambat bangun tadi pagi. Kepada Pak Zainal, guru muda temanku satu-satunya di sekolah ini kutitip pesan, jika aku terlambat kembali agar memberi tugas bahasa Indonesia kepada murid-murid kelas lima dan enam.
Aku meninggalkan pekarangan sekolah dengan stamina yang agak loyo. Rasa mengantuk masih bergayut di pelupuk mataku. Perasaan was-was akibat kejadian semalam juga masih menghantui hatiku. Aku menjadi serba salah. Sebenarnya ingin rasanya kejadian semalam kuceritakan kepada kepala desa nanti. Sebab dengan begitu kepala desa tak akan melibatkanku lagi dalam masalah pembangunan jalan itu. Tapi sebaliknya aku juga merasa khawatir, jika aku ceritakan kepada Pak Kepala Desa jangan-jangan nanti malah menimbulkan masalah yang lebih besar, terutama terhadap keselamatan jiwaku. Ah, sungguh aku merasa pusing dibuatnya. Misteri apa sesungguhnya dibalik jalan tembus ini.
Bagiku rasanya tak masuk akal ada orang-orang yang tak suka dibangun jalan untuk membuka keterbelakangan desanya. Manusia normal pasti menginginkan kemajuan. Mana ada hubungannya antara pembangunan jalan dengan wabah penyakit yang akan menimpa warga. Lalu siapakah orang-orang yang mengancamku semalam? Seberapa pentingkah aku bagi mereka sehingga membuat mereka harus mengancamku segala? Atau mungkin ada pihak-pihak yang tidak menginginkan aku berusaha memperjuangkan kemajuan desa yang tertinggal ini? Entahlah, aku sungguh tidak mengerti.
Baru saja aku memasuki pekarangan rumah kepala desa, tiba-tiba aku melihat Pak Kepala Desa bersama dua orang pemuda keluar dari pintu depan dengan terburu-buru. Sepertinya ada sesuatu masalah yang sedang dihadapi. Melihat aku datang Pak Kepala Desa langsung menyambutku.
”Oh, kebetulan Pak Guru datang. Ini barusan Ridwan melaporkan kepada saya bahwa di Balai Desa ada sesuatu terjadi. Katanya di sana sekarang banyak polisi dan tentara sedang istirahat melepaskan lelah. Mungkin ada sesuatu masalah di desa kita sehingga mengundang polisi dan tentara datang,”
Pak Kepala Desa menjelaskan sambil mengajakku ikut ke sana. Polisi dan tentara? Ada apa gerangan? Aku membatin. Dengan perasaan penuh tanda tanya aku mengikuti langkah Pak Kepala Desa menuju Balai Desa. Seleraku untuk sarapan pagi mendadak hilang. Di belakangku Ridwan dan temannya membuntuti kami.
”Sudah lebih sepuluh tahun desa ini tidak pernah didatangi polisi dan tentara, Pak Guru. Terakhir saya melihat tentara beberapa bulan sebelum konflik berakhir di negeri kita. Selama konflik mereka sering ’operasi’ di desa ini, katanya untuk mencari pemberontak. Tapi setelah mencapai perjanjian damai tak ada lagi tentara dan polisi datang. Lalu pagi ini tiba-tiba mereka muncul. Ada apa ya?” Pak Kepala Desa bergumam seperti bertanya pada dirinya sendiri.
”Kira-kira berapa banyak mereka di Balai Desa, Ridwan?” Pak Kepala Desa bertanya pada Ridwan.
”Kurang lebih sekitar dua puluh orang, Pak. Tapi di antara mereka ada juga yang tidak berpakaian seragam,” Ridwan menjelaskan.
Tidak berpakaian seragam? O, itu pasti intelijen atau mata-matanya polisi. Pasti ada sesuatu yang terjadi di desa ini. Aku membatin.
Beberapa saat kemudian kami sudah berada di Balai Desa. Betul saja, di pekarangan Balai Desa banyak polisi dan tentara sedang istirahat melepaskan lelah. Dari pakaian dan penampilan mereka kelihatan bahwa mereka baru turun dari hutan. Kami mengangguk-angguk dan tersenyum ke arah polisi dan tentara yang sedang istirahat itu. Beberapa orang dari mereka membalas anggukan dan senyuman kami. Tapi sebagian besar diam saja tanpa ekspresi. Kelihatannya mereka sungguh sangat lelah.
Kami bergegas memasuki Balai Desa. Di pintu masuk, Pak Kepala Desa memperkenalkan diri kami pada salah seorang polisi yang berdiri di sana. Polisi itu mengangguk dan mempersilakan kami masuk.
Baru saja beberapa langkah kami berada di ruang balai desa, aku sangat terkejut. Di sudut ruangan kulihat tiga sosok manusia terpekur dengan wajah lusuh berdiri kaku. Tangan-tangan mereka diborgor dan saling terikat satu sama lain, persis tahanan perang akan dieksekusi. Aku berhenti mendadak ketika kuketahui siapa sesungguhnya mereka. Mataku berkedip-kedip beberapa kali seakan tak percaya dengan penglihatanku. Bukankah yang berbaju necis itu Pak Rakib? Orang yang menantang pembangunan jalan tembus saat rapat di Balai Desa ini beberapa waktu lalu. Ada apa dengannya? Dan dua orang yang berpakian hitam-hitam itu; yang satu tinggi besar dan kekar serta satunya lagi agak kecil dan jangkung, bukankah mereka orang yang mengancamku semalam? Oh, tak salah lagi, bukankah yang tinggi besar itu Dirman?
Mereka memang orang-orang yang tidak setuju dengan rencana pembangunan jalan tembus itu. Lalu apa yang terjadi dengan mereka sehingga ditangkap polisi? Belum sempat pertanyaan-pertanyaanku terjawab, kulihat salah seorang polisi memanggil Pak Kepala Desa untuk mendekatinya. Bapak Kepala Desa mendekat lalu bersalaman dan memperkenalkan diri pada Pak Polisi itu.
”Begini, Pak Kades. Sudah lama kami dari tim gabungan Kepolisian Resort Aceh Selatan memantau keberadaan desa yang Bapak pimpin ini. Sejak lama juga kami mencurigai tingkah laku beberapa warga desa ini. Tapi karena belum memperoleh bukti-bukti yang cukup selama ini kami belum dapat bertindak. Nah, secara diam-diam semalam kami melancarkan operasi gabungan. Hasilnya, kami menangkap tiga orang warga desa Bapak ini. Mereka tertangkap basah sedang memuat daun ganja kering ke dalam perahu motor di pinggir sungai sebelah timur sana. Dari hasil operasi kami ternyata mereka memiliki kurang lebih lima hektar kebun ganja yang siap panen di daerah hutan TNGL sana. Dan menurut pengakuan mereka, yang menjadi otak perbuatan melanggar hukum ini adalah orang yang berbaju necis itu.” Pak polisi menunjuk wajah Pak Rakib yang menunduk lesu.
Oh Tuhan, aku lega sekarang. Kini terbongkar sudah misteri jalan tembus itu. Rasa syukurku bertambah-tambah karena hidupku telah terbebas dari ancaman. ****
Tentang Cerpenis
Bussairi D. Nyak Diwa anak bungsu dari lima bersaudara dilahirkan di Bakongan Aceh Selatan pada 10 Juli 1965 dari ayah H. Datok Nyak Diwa dan Ibu Hj. Siti Ardat. Tahun 1992 melepas masa lajang dengan mempersunting seorang gadis santri; Sri Helma Rizki. Memiliki enam orang anak; tiga laki-laki dan tiga perempuan, dan menetap di Kompleks Pesantren Darurrahmah, Kotafajar, Kecamatan Kluet Utara, Aceh Selatan.
Hingga saat ini baru menerbitkan dua kumpulan puisi dan dua kumpulan cerpen. Salah satu naskah kumpulan puisi dengan judul Ziarah Hati mendapat juara tiga tingkat nasional pada Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan yang diselenggarakan Pusat Perbukuan tahun 2010. Sementara itu cerpen dengan judul Bulohseuma memperoleh predikat terbaik tingkat nasional pada Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2009 dan memperoleh tropi dari Depdiknas.
Menggeluti dunia kepenulisan puisi dan cerpen sejak 1985. Karya-karya terutama puisi dimuat di Harian Waspada, Serambi Indonesia, Mingguan Atjeh Pos, Peristiwa, Swadesi, Majalah Keluarga, Dunia Wanita, dan lain-lain. Sesekali juga menulis Kritik Sastra. Kritik Sastra dengan judul Wanita Berkalung Sorban; Sebuah Atraksi Kesewenang-wenangan Kaum Lelaki mendapat penghargaan dari Depdiknas dalam Lomba Menulis Kritik Sastra (LMKS) tahun 2011.
Sejak 1992 menjadi guru dan telah mengajar di delapan sekolah, di samping menjadi Tutor Universitas Terbuka (UT) selama kurang lebih empat tahun (2004 – 2008) dan menjadi Kepala Sekolah selama kurang lebih dua tahun (2020 – 2022). Selama menjalani profesi guru pernah memperoleh penghargaan Guru Pelopor IPTEK Tingkat Nasional tahun 2007, guru Berprestasi Kabupaten Aceh Selatan tahun 2011, dan Guru Bidang Studi Berprestasi Provinsi Aceh tahun 2016.