Oleh Tabrani Yunis
“Nak, mana HPnya. Kamu asyik main HP saja. Dari tadi kamu tidak lepas-lepas dari dari HP di tangan. Sudah ya, jangan asyik nonton dan main game melulu. Belajar yang disuruh, malah kamu tidak lakukan. Kamu maunya nonton dan nonton, main Game, chatting terus. Ayo ambil buku! Baca!
Begitu repet dan celoteh sang ibu dengan wajah marah memerah pada anaknya yang asyik bermain HP atau gadgets. Sang ibu sudah berkali-kali mengingatkan, tapi sang anak tetap saja asyik dengan HP. Sang anak semakin kekeh dengan HPnya, tidak melepaskan HP dari dari genggaman yang semakin menarik dan memanjakan anak.
Sajian permaianan atau game makin dinikmatinya, habis satu, dilanjutkan lagi dengan game lain. Bukan hanya main game, tapi juga asyik dengan media sosial, seperti Facebook, Instagram, TIkTok, dan lain-lain. Pokoknya, semua ini membuat HP tidak bisa jauh dari tangan.
Begitulah realiatas kehidupan Anak-Anak era digital saat ini. Bermain dan menikmati hiburan atau entertainment di gadgets sudah menjadi kebutuhan utama dan sangat menyita waktu belajar anak. Kesehatan anak-anak sudah diisi penuh dengan kegiatan menggunakan gadgets untuk bermain dan menonton berbagai sajian di gadgets. Terbukti hubungan Anak dengan gadgets semakin mesra, hingga tidak peduli akan hal-hal yang selama ini diklaim baik dan produktif.
Jadi bukan hal yang aneh atau asing lagi bila setiap hari kita mendengar celoteh- celoteh dan repetan, orang tua terhadap perilaku anak. Bahkan tidak jarang pula kita mendengar bentakan terhadap anak seperti apa yang dilakukan sang ibu di atas. Tentu bukan pula hal ini dalam bentuk kasuistik, tetapi sudah menjadi kasus dan celoteh umum di kalangan masyarakat kita sejak merebaknya penggunaan gadgets di era digital ini. Dikatakan demikian, karena sudah bukan hanya menjadi celoteh sang ibu,tetapi juga ayah, guru dan bahkan masyarakat umum yang merasa galau melihat perilaku anak-anak mereka yang semakin sulit mengendalikan penggunaan gadget selama ini. Bukan pula sekadar celoteh, tetapi sudah pada level marah-marah.
Semua itu menjadi bukti atau indikator betapa orang tua semakin sulit berhadapan dengan kebiasaan baru anak-anak zaman ini. Wajar saja kalau ini menjadi keresahan orang tua yang tengah menyiapkan masa depan anak-anak mereka dengan kewajiban belajar yang harusnya dilakukan dengan aktivitas -aktivitas membaca atau menulis dan belajar kelompok dan sebagainya.
Nah, kondisi seperti ini bukan saja terjadi di rumah, tetapi juga di lembaga-lembaga pendidikan, baik sekolah formal maupun nonformal. Para guru banyak yang kewalahan mengurus masalah hubungan anak dengan gadgets. Bahkan di lembaga pendidikan umumnya melarang peserta didik membawa gadgets ke sekolah. Walau pun dilarang, tetap saja banyak Anak yang membawa gadgets dengan sembunyi-sembunyi dan bahkan terang-terangan. Buktinya, ada sekolah-sekolah yang harus mengadakan razia terhadap penggunaan smartphone di sekolah. Ada siswa yang harus dengan sadar menyerahkan HP android atau smartphone mereka kepada guru atau pihak sekolah yang kemudian akan disampaikan kepada orang tua, dengan tujuan agar Orangtua tidak memfasilitasi
Lalu, ketika orang tua mendapat kabar atau informasi tentang anak mereka kena Raziah HP, banyak yang serba salah. Dikarang bawa HP ke sekolah, Anak dengan sembunyi-sembunyi bawa HP ke sekolah. Ketika anak dilatantesi bawa HP ke sekolah, banyak pula orang tua yang kesulitan menghubungi anak saat jemput anak pulang sekolah atau ketika ada kebutuhan mendesak. Di pihak lain, kala Anak membutuhkan HP Android untuk belajar, yang boleh dibawa HP yet tot ( HP tanpa kamera). Jadi, orang tua menjadi serba salah. Ibarat memakan buah simalakama.
Nah, apa sebenarnya yang terjadi pada anak- anak milenial, generasi Z maupun A kini dan esok? Apa pula yang terjadi pada orang tua-orang tua ketika melihat perkembangan anak dalam kaitannya dengan gadgets dan minat atau kebiasaan membaca anak-anak? Benarkah anak-anak generasi milenial semakin malas membaca? Lalu, kalau mereka malas membaca, bagaimana proses belajar mengajar di sekolah berlangsung? Bagaimana pula kemampuan literasi mereka? Bukankah selama ini anak-anak milenial memiliki angka rapor yang sangat baik?
Pasti masih sangat banyak pertanyaan yang perlu kita pertanyakan terkait soal ini, namun sebagai orang tua tentu kita punya pengalaman masing-masing yang sesungguhnya sangat menarik untuk diungkapan dalam tulisan-tulisan yang berguna. Oleh sebab itu, sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, orang tua memang harus mau melakukan refleksi dan kajian mandiri terhadap perkembangan anak di rumah dan di sekolah. Apalagi kalangan orang tua yang mungkin tergolong ke dalam generasi baby boomers, generasi Y harus benar-benar memahami perkembangan zaman dan perubahan perilaku atau paradigma kehidupan generasi di era digital ini.
Kiranya, masih sangat banyak pertanyaan yang kita lontarkan untuk menggali berbagai informasi mengenai minat membaca anak-anak zaman atau era digital ini. Banyak Ya pertanyaan yang muncul berbanding lurus dengan banyaknya persoalan yang lahir di era digital ini.
Oleh sebab itu, orang tua harus tahu dan faham bahwa Anak-anak sekarang adalah anak-anak pemilik zaman ini, zaman digital. Jadi keseharian mereka tidak kepada dari gadgets. Jadi, apa yang ada di depan mata kita saat ini adalah adanya jurang atau gap dua generasi. Orang tua di satu sisi merupakan produk era baby boomers, dan generasi milenial atau generasi Z dan A, di sisi lain. Gap atau jurang yang memisahkan life style kedua generasi yang sangat berbeda. Para generasi tua, yang kita sebut generasi baby boomers itu, punya cara hidup dan peradaban yang mulai jauh berbeda dengan generasi pemilik era digital ini. Sehingga, pola-pola atau paradigma gaya hidup baby boomers dirasakan sudah tidak aplikatif dan sesuai dengan gaya hidup kaum milenial. Teknologi telah dengan sangat pesat mengubah paradigma dan gaya hidup, yang menyebabkan kehidupan pun mengalami pergeseran atau shiftinh secara masif dalam berbagai macam flatforms.
Dalam prolog buku “ Mendidik Generasi A & Z, karya J.Sumardianta dan Wahyu Kris AW memaparkan bahwa “ Pergeseran besar-besaran ( the great shifting) dapat diterima dengan mudah oleh mereka yang berpandangan terbuka dan terbiasa beradaptasi dengan perubahan. Mereka yang terbelenggu dengan kejayaan masa lalu, pasti menentang. Keberhasilan tak pernah bersifat final. Kehidupan tak berhenti setelah mencapai kesuksesan. Ada satu tuntutan agar tidak ditelan pergeseran zaman, to keep yourself relevant. Menjaga agar pekerjaan, termasuk guru, tetap relevan dengan spirit zaman digital”
Nah, spirit era atau zaman digital, kiranya menjadi kunci bagi setiap orang tua maupun pendidik yang mendidik anak-anak pemilik era digital ini. Setiap orang tua, guru atau pendidik lainnya memang harus memahami dan mampu beradaptasi dengan segala perubahan atau pergeseran masif yang terjadi di era ini. Bila tidak, orang tua, guru dan para pendidik lainnya, akan frustrasi menghadapi perubahan perilaku dan gaya hidup generasi milenial atau generasi Z dan A kini dan di masa depan.
Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini, orang tua dan pendidik yang merupakan produk masa atau era yang lalu, banyak yang merasa galau, gelisah dan bahkan susah berhadapan dengan anak-anak generasi milenial ini. Hanya orang tua yang memiliki kemampuan literasi tinggi yang mampu beradaptasi dengan perilaku dan gaya hidup serta paradigma belajar generasi milenial, Z dan A saat ini. Sementara yang kapasitas literasi rendah akan lebih membiarkan anak-anak sibuk dalam pengaruh gadgets yang bersifat menyenangkan hati, sebagai entertainment dan permainan atau game, tanpa ada upaya untuk memotivasi anak-anak membaca, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan analisis dari bacaan. Sehingga, lambat laun, kebiasaan membaca akan hilang dan digantikan 100 persen dengan gadget.
Apalagi persoalan anak dan gadgets menjadi salah satu di antara sekian banyak masalah yang dikeluhkan orang tua. Ya, semakin banyak kita dengar keluhan orangtua dalam mendidik anak-Anak mereka seperti kasus di atas. Pokoknya, realitas kekinian menunjukkan semakin banyak orang tua, guru dan masyarakat yang resah, galau,bahkan takut melihat segala perubahan yang terjadi pada diri anak- anak saat ini. Ketakutan orangtua terhadap perkembangan anak-anak mereka yang semakin dekat dan lekat dengan penggunaan gadgets secara tak terkendali dalam aktivitas penggunaan gadgets. Ibarat kata orang dahulu, sudah menjadi darah daging. Jadi semakin sulit untuk dipisahkan, apalagi dihilangkan.
Ya, begitulah kondisi kekinian anak-anak zaman ini yang hidup di tengah gegap gempitanya penggunaan gadgets di tengah masyarakat kita, tergolong anak-anak sekolah. Gadgets adalah segalanya. Sehingga dalam Kondisi demikian pula orang tua dituntut harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Bagi penulis sendiri sebagai orang tua, ikut merasakan hal itu. Penulis harus bekerja ekstra kuat untuk mengatur, memotivasi anak untuk belajar dan mengelola diri dalam belajar dan menggunakan gadgets. Penulis berharap bisa bersikap lebih bijak, bisa mengajak dan mengarahkan anak-anak agar sadar akan pentingnya membangun kemampuan literasi yang salah satunya adalah upaya membangun motivasi anak -anak di rumah untuk bisa membagi waktu membaca, bercerita dan menulis dan menggunakan gadgets. Dalam proses memotivasi itu, terkadang penulis kalah strategi dibandingkan daya tarik gadgets di kalangan anak sendiri. Sehingga sering kali harus keluar nada suara marah, bila anak-anak tidak menuruti atau mematuhi wejangan ayah dan bunda. Bisa jadi ini sebagai sebuah indikator dari kesulitan orang tua dalam menghadapi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang kini berada dalam genggaman. Gadgets menjadi sahabat paling dekat bagi anak dan bahkan orang tua.
Para pembaca, sebagai orang tua yang sedang berhadapan dengan kondisi yang begitu kompleks, mungkin punya pengalaman yang menarik untuk dibagikan kepada pembaca lain. Jadi Tulislah dan kirimkan ke Redaksi Potretonline lewat email : potret.ccde@gmail.com