Oleh Riza Saputra
Warga Sipil dan Owner Seduh Alam
Jabatan itu amanah. Jabatan itu titipan. Jabatan itu sementara. Ucapan seperti itu sudah sering kita dengar dan tidak ada yang salah dengan ucapan tersebut, karena memang jabatan itu diamanahkan, dititipkan dan tidak selamanya menjadi milik kita.
Jika kita sadari bahwa jabatan itu merupakan amanah yang sangat berat dan akan dimintakan pertanggung jawabannya oleh sang pencipta. Sehingga para sahabat Nabi pun sangat takut terhadap jabatan yang dibebankan kepada mereka, sebagaimana yang terjadi pada Abu Bakar yang kala itu diangkat menjadi Khalifah sepeninggalnya Rasulullah SAW.
Dalam pidatonya di hadapan umat muslimin dia berkata “Demi Allah, saya tidak pernah berambisi untuk menjadi pemimpin, saya pun tidak punya keinginan untuk itu, saya juga tidak pernah meminta kepada Allah untuk dijadikan pemimpin, baik saat sendirian maupun di keramaian, akan tetapi saya tidak ingin terjadi fitnah. Dengan demikian saya bukannya senang dengan jabatan ini, saya justru merasa diberi beban yang amat berat yang mungkin tidak sanggup dipikul kecuali dengan adanya pertolongan Allah.” Sebagaimana yang dinukil dari buku 10 Sahabat yang Dijamin Masuk Surga, karya Abdus Sattar Asy-Syaikh.
Hal serupa juga dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz yang diangkat menjadi Khalifah pada dinasti Bani Umayyah. Beliau menangis terisak-isak sambil memasukan kepalanya ke dalam dua lututnya seraya berkata “Inna lillahi wa innaa ilaihi raji’uun.” Ketika beliau diberikan jabatan tersebut.
Hal seperti itu mungkin dianggap aneh bagi kebanyakan orang di zaman sekarang, namun itulah fakta sejarah dan tentu saja didasari oleh sebuah alasan yang jelas, bahwa mereka menyadari jabatan itu merupakan amanah yang sangat berat dan mereka khawatir akan keadaan diri mereka kelak di hari akhir.
Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah ada seseorang hamba yang Allah beri kepercayaan untuk memimpin, kemudian pada saat matinya dia berada dalam (keadaan) melakukan penipuan terhadap rakyatnya kecuali akan diharamkan atasnya untuk masuk surge.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak bisa di pungkiri bahwa saat ini banyak orang menginginkan jabatan karena jabatan dianggap sesuatu yang prestisius. Dengan jabatan yang dimiliki, kasta manusia itu menjadi naik dan memiliki kekuasaan, statusnya menjadi dihormati, dipandang dan mendapat prioritas lebih baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan tempat tinggalnya.
Jadi wajar saja jika banyak orang berlomba-lomba mengejar untuk mendapatkan jabatan dan mengesampingkan beratnya amanah yang akan dipertanggung jawabkan atas jabatan yang dikerjarnya. Sangat berbeda dengan apa yang di sikapi oleh para sahabat Nabi yang disebutkan tadi.
Sepertinya ucapan “Jabatan itu Amanah” telah berubah menjadi “Jabatan itu Aman… Nah”, karena realitanya saat ini, di satu sisi ada orang-orang yang berani menjual jabatan dan disisi lainya ada orang-orang yang mau membeli jabatan tersebut. Asalkan kedua belah pihak Aman, maka “Nah, ini Jabatan untuk Anda.”
Maka, wajar jika Jabatan atau Amanah tersebut disalah gunakan karena orang yang memegang Jabatan tersebut telah mengeluarkan banyak rupiah untuk mendapatkannya. Integritas dan Kompetensi tidak lagi menjadi penilaian yang utama bagi si pemberi jabatan untuk menentukan orang tersebut layak atau tidak untuk mengisi satu posisi/jabatan, namun kini lebih bersifat “Transaksional”. Siapapun orang yang mampu memenuhi “mahar” yang telah ditetapkan untuk memuaskan nafsu si pemberi jabatan, maka sudah dapat dipastikan ia akan meperoleh jabatan yang diincarnya.
Jabatan itu titipan, sepertinya juga hanya ucapan di bibir saja, karena kebanyakan para pejabat tidak rela jabatan yang telah dimilikinya itu hilang. Hal ini disebabkan oleh indahnya kenikmatan fasilitas yang didapat dari Jabatannya. Sehingga mereka pun akan menempuh berbagai macam cara agar jabatan itu terus melekat kepada dirinya, walaupun kinerjanya buruk.
Bagi orang-orang yang memiliki integritas dan kompetensi dianggap sebagai orang yang kaku dalam menjalankan tugas jabatannya alias tidak lues, tidak bisa bernegosiasi, dan tidak bisa bekerjasama. Karena orang-orang seperti ini berani berbicara apa yang benar dan tidak untuk dilakukan, sedangkan kebanyakan para pemberi jabatan sangat anti ditentang apa yang sudah menjadi kemauannya, meskipun kemauannya itu menyalahi aturan yang telah ditetapkan, karena mereka lebih senang dininabobokan dengan sanjungan dan pujian.
Jika Aceh dikatakan salah satu Provinsi termiskin, mungkin wajar karena menurut saya yang paling miskin di Aceh itu bukan masyarakatnya, namun para pejabat di Aceh itu sendiri. Karena mereka Miskin Akhlak, Miskin Integritas dan Miskin Materi. Sehingga mereka menggadaikan Amanah dengan Materi. Masikah Jabatan itu Amanah atau Jabatan adalah Aman… Nah. Silahkan anda menilai sendiri sesuai dengan kondisi saat ini. Semoga menjadi bahan renungan kita bersama dan terus berusaha menjadi lebih baik walaupun tanpa jabatan. Wallahu ‘alam bishawab.