Mahmudi Hanafiah
Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga
Guru Dayah Jamiah Al-Aziziyah Batee Iliek
Tanggal 27 Rajab merupakan salah satu hari yang bersejarah bagi umat Islam. Bagaimana tidak, sekitar 14,5 abad yang silam, tepat pada tanggal tersebut, sebuah peristiwa besar yang tidak sanggup dinalar oleh akal manusia terjadi dengan izin Allah. Itulah peristiwa isra’ mi’raj yang kehadirannya membuktikan bahwa tidak semua kejadian mesti dapat dipahami oleh akal, melainkan ada beberapa peristiwa yang hanya bisa dipercayai dengan iman.
Isra’ dan mi’raj pada dasarnya merupakan dua suku kata yang mempunyai pengertian masing-masing. Dua kosa kata tersebut sering disebut secara bersamaan karena kedua peristiwa tersebut terjadi secara bersambungan. Isra’ adalah perjalanan Nabi Muhammad Saw dari Mesjidil Haram di Mekah menuju ke Mesjid al-Aqsa di Palestina. Mi’raj adalah perjalanan Nabi dari Mesjid al-Aqsa di Palestina sampai ke Sidratul Muntaha di langit yang ke tujuh.
Peristiwa isra’ dan mi’raj terjadi tepatnya sepuluh tahun tiga bulan setelah nubuwwah (permulaan Nabi menerima risalah), atau sekitar satu tahun sebelum Nabi berpindah dari Mekah ke Madinah (hijrah).
Perjalanan isra’ dan mi’raj merupakan perjalanan dengan menempuh rute yang sangat sempurna. Perjalanan tersebut diberlakukan oleh Zat Yang Maha Mulia, terhadap sosok hamba-Nya yang paling mulia, dengan bertolak dari tempat yang mulia, transit di tempat yang mulia, di dalamnya diperlihatkan pemandangan-pemandangan yang penuh makna, dipertemukan dengan hamba-hamba yang diridhai-Nya, ditujukan ke tempat yang mulia, disambut oleh Zat Yang Maha Mulia serta diberikan kado yang sangat istimewa.
Siapakah Zat Yang Maha Mulia yang memperjalankan hambanya dalam menempuh perjalanan tersebut?
Tiada lain melainkan Allah Swt, sebagaima ditegaskan dalam Surat al-Isra’ ayat 1 dengan ungkapan yang artinya “Maha Suci Zat yang memperjalankan hamba-Nya…”.
Ungkapan tersebut mengisyaratkan makna kesempurnaan bagi Allah. Maksud dari ungkapan tersebut adalah meyakini bahwa Zat yang memperjalankan hamba-Nya itu Maha Bersih dari segala sifat kekurangan.
Siapakah sosok hamba Allah paling mulia yang menempuh perjalanan tersebut?
Dia adalah seorang Rasul yang merupakan pemimpin dari para rasul. Semua makhluk diciptakan bermula dari penciptaan nur (cahaya) nya. Diutus sebagai Rasul terakhir yang menutup risalah Tuhannya. Dialah Rasulullah Muhammad Saw. Hal itu adalah sebagaimana ijma’ para ulama tentang maksud dari kata ‘abd (hamba) dalam ayat yang sama. Sesuai dengan pemahaman dari kata ‘abd yang termaktub dalam ayat tersebut, pendapat kuat menyatakan bahwa Rasulullah melakukan isra’ dan mi’raj dengan jasad dan ruhnya, bukan dengan ruhnya saja.
Dari mana Rasulullah berangkat dan di mana beliau transit dalam melakukan perjalanan tersebut?
Rasulullah berangkat dari tempat yang sangat mulia di dunia ini, yaitu Mesjidil Haram Mekah. Di tempat tersebut terdapat satu bangunan yang pada salah satu sisinya ditempelkan batu mulia berasal dari surga, yaitu ka’bah dengan hijir aswadnya yang merupakan kiblat orang Muslim dalam melakukan shalat. Rasulullah transit di Baitul Maqdis (Mesjid al-Aqsa) di Palestina yang merupakan kiblat orang Muslim dalam shalat sebelum diperintahkan untuk menghadap ke ka’bah. Dari Mesjid al-Aqsa, Rasulullah melanjutkan perjalanan dan menyaksikan berbagai pemandangan yang amat menakjubkan di dalamnya.
Banyak sekali kejadian aneh yang diperlihatkan oleh Allah dalam perjalanan tersebut. Setiap kejadian yang dilihat oleh Rasulullah, semuanya mengandung makna yang menjadi iktibar bagi dia dan umatnya. Di antaranya, beliau melihat seseorang yang sedang mengumpulkan barang bawaan untuk dipikul. Setelah barang tersebut diikat, dia mengangkat barang tersebut dan ternyata dia tidak sanggup mengangkatnya. Bukannya dikurangi, tetapi malah ditambah. Itulah perumpamaan orang yang mengerjakan dosa. Semakin banyak dosa yang dikerjakan, sehingga tidak mampu lagi dipikul, semakin ia menambah beban dosanya. Rasulullah juga melihat orang yang sedang memanen tanaman. Saat dia sedang memotong tanaman yang ada di depannya, tanaman di belakangnya yang tadinya sudah dipotong terus tumbuh sehingga hasil panennya tidak pernah habis. Itulah perumpamaan orang yang bersedekah. Semakin ia bersedekah, semakin berlipat ganda balasan yang diberikan oleh Allah.
Tidak hanya melihat beragam kejadian aneh, dalam perjalanan mi’raj, Rasulullah juga dipertemukan dengan beberapa Nabi yang telah mendahuluinya di setiap langit yang dilewatinya. Pada langit pertama Rasulullah bertemu dengan Nabi Adam As. Pada langit kedua bertemu dengan Nabi Isa As dan Nabi Yahya As. Pada langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf As. Pada langit keempat bertemu dengan Nabi Idris As. Pada langit kelima bertemu dengan Nabi Harun As. Pada langit keenam bertemu dengan Nabi Musa As. Pada langit ketujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim As.
Nabi melanjutkan perjalanan sampai kepada suatu tempat yang bernama sidratul muntaha. Saat berada di tempat itulah Nabi berjumpa dengan Zat Yang Maha Mulia, yaitu Allah Swt, melihat langsung Zat Allah dengan mata kepalanya. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan istimewa yang hanya terjadi pada satu orang saja di dunia. Melihat zat Allah dengan mata kepala merupakan hal yang jaiz (boleh) terjadi pada setiap Muslim saat berada di surga, dan hal itu merupakan nikmat yang paling besar bagi penghuni surga.
Adapun melihat Zat Allah selama masih hidup di dunia hanya terjadi pada Rasulullah Saw, tidak pada manusia, bahkan para rasul yang lainnya. Sebagaimana Syeikh Ibrahim al-Laqani menegaskan dalam dua bait syair yang artinya:
“Dan sebagian dari perkara jaiz adalah melihat Allah oleh orang Mukmin dengan mata kepala,
Karena hal tersebut dikaitkan dengan sesuatu yang jaiz (pula).
Akan tetapi, (melihat-Nya) tidak dengan suatu cara dan Batasan (jarak pandang).
Pahamilah ini. Dan bagi Sang Pilihan (Nabi Muhammad), melihat Allah sudah terjadi semenjak di dunia.”
Perlu dipahami bahwa, Rasulullah bertemu dengan Allah saat beliau berada di suatu tempat yang bernama sidratul muntaha, bukan berarti Allah berada di tempat tersebut dan bertempat (butuh kepada tempat) sebagaimana makhluk-Nya. Dalam hal ini, analoginya bagaikan seseorang yang melihat lautan saat berada di suatu tempat, seperti saat berada di atas pohon yang tinggi. Tentu saja tidak bermakna bahwa lautan yang dilihatnya berada di atas pohon tersebut, bukan?
Terakhir, apa kado istimewa yang diterima oleh Rasulullah Saw sebagai buah dari perjumpaannya dengan Allah Swt pada peristiwa agung tersebut?
Itulah satu ibadah yang merupakan pondasi bagi agama Islam, yaitu shalat fardhu sehari semalam lima waktu, yang pada permulaannya Allah wajibkan sebanyak 50 waktu. Shalat merupakan pondasi bagi agama Islam, karena dalam satu hadis Nabi bersabda yang artinya: “Shalat adalah tiang agama. Maka barang siapa yang mengerjakannya, berarti ia telah mendirikan agama, dan barang siapa yang meninggalkannya, berarti ia telah meruntuhkan agama”.
Begitulah rute perjalanan mulia bernama Isra’ dan Mi’raj yang ditempuh oleh Rasulullah Saw dengan segenap perkara-perkara indah dan penuh makna yang dilihat dan diterima dalam perjalanan tersebut. Dengan demikian, maka sangat pantas kalau peristiwa Isra’ Mi’raj dinobatkan sebagai ‘Perjalanan Terindah Sepanjang Sejarah’. Wallahu a’lam.