Oleh: Zakiul Fahmi Jailani
Waktu yang kutunggu-tunggu akhirnya sampai juga: 1 Agustus 2018 adalah hari pertama studi master ku di Belanda, dan aku akan berangkat menggunakan sepeda yang baru kubeli. Bersepeda di negara dengan infrastruktur sepeda terbaik di dunia adalah satu pengalaman baru yang sangat ku syukuri, namun tidak jarang juga menghasilkan cerita lucu yang patut ditertawakan.
Salah satu nya adalah satu fakta baru yang ku pelajari adalah pengendara sepeda sepertiku ternyata harus menggunakan jalur khusus berupa aspal berwarna merah. Maka itulah yang kulakukan sepanjang perjalanan dari apartemen mahasiswa ke kampus baruku. Namun setelah kuperhatikan, jalur aspal merah ini beberapa kali melintang jalanan utama yang dilalui oleh kendaraan-kendaraan besar seperti bus, truk dan mobil-mobil kendaraan pribadi. Saat harus menyebrang jalanan utama tersebut, aku berhenti karena takut akan dilindas oleh bus. Tapi beberapa sepeda yang berada di belakangku melayangkan protes terhadap keputusan berhenti ku itu dengan membunyikan bel sepeda. kring kring. Aku panik antara maju tapi takut dilindas oleh bus, atau berhenti dan ditabrak oleh sepeda dibelakangku. Baru kemudian aku mengerti bahwa ternyata bus ada didepanku telah berhenti seakan mempersilahkan kami untuk melanjutkan perjalanan. Dengan cepat akupun memacu sepedaku melewati bus itu dan melaju ke kampus sambil menertawakan kebodohan diriku sendiri dan akhirnya berkesimpulan: di Belanda, sepeda adalah raja, moda transportasi lain hanyalah remahan rempeyek yang harus menghormati pengendara sepeda.
Setelah beberapa tahun di Belanda, aku akhirnya sadar betapa gilanya masyarakat negeri kincir angin ini dalam menghormati pesepeda. Sejujurnya, ‘gila’ bukan lah kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan orang Belanda dengan sepeda. Menurut PBB, Belanda masuk 10 negara di dunia yang paling ‘bahagia’. Lawan kata dari ‘gila’. Mengapa begitu? Bersepeda adalah salah satu jawabannya. Menurut penelitian Ida, M dan kawan-kawan pada tahun 2013, hanya bersepeda selama 15 menit saja bisa menurunkan kinerja hormon kortisol (hormon penyebab stress pada manusia), menurun drastis. Apatah lagi jika bersepeda adalah pilihan satu-satunya moda transportasi sehari-hari yang dilakukan dari pagi sampai malam, dari senin ke minggu, dari rumah ke pasar. Pastilah mereka yang bersepeda selalu akan sangat bahagia sekali.
Mungkin karena efek positif itulah maka tak heran jika jumlah sepeda di Belanda lebih banyak daripada populasi masyarakatnya sendiri, bahkan jumlahnya empat kali lipat lebih banyak dari jumlah mobil di negeri kompeni itu. Belanda juga adalah satu dari sedikit negara di dunia yang memiliki jalan tol khusus sepeda, parkir sepeda terbesar di dunia, dan kemacetan sepeda tidak bermotor adalah pemandangan yang lazim untuk disaksikan.
Walaupun saat ini bersepeda sudah menjadi sebuah budaya yang dibanggakan oleh orang Belanda, tapi penyebab utamanya bukanlah itu. Biaya membeli kendaraan pribadi di Belanda terbilang mahal, tak terkecuali juga biaya transportasi publik yang tak murah. Pada akhirnya, bersepeda pun menjadi satu-satunya cara orang Belanda untuk bepergian dengan nyaman dan murah.
Pun begitu, perjalanan Belanda menjadi negara dengan infrastruktur sepeda paling lengkap dan paling ramah bagi pesepeda sama sekali tidak mudah. Walaupun sepeda masuk ke Belanda sejak tahun 1820-an, tapi baru pada tahun 1970-an, masyarakat Belanda bersatu-padu menuntut pemerintahnya untuk menjadikan sepeda sebagai alat transportasi utama. Protes besar-besaran terjadi pada tahun 1971 saat sebuah publikasi menunjukkan bahwa hanya pada tahun itu saja, ada 3.300 korban meninggal kecelakaan lalu lintas. Dimana 400 diantaranya adalah anak kecil dan remaja. Saat membaca tentang fakta tersebut yang dipampangkan di Velorama National Bicycle Museum di kota Nijmegen pada musim panas terakhir ku di Belanda sebelum aku pulang tanah air di awal November 2021, aku teringat pula tentang satu negeri yang juga memiliki korban kecelakaan lalu lintas yang kebanyakan adalah anak-anak dan remaja.
Lihat saja data dari Kementerian Perhubungan yang melaporkan bahwa pelajar SMA adalah korban kecelakaan lalu lintas terbanyak pada 2020, dengan jumlah lebih dari 80 ribu korban, lalu SMP sebanyak 17.699 korban, SD sebanyak 12.557 korban, tingkat pendidikan D3 sebanyak 770 korban, S1 sebanyak 3.751 korban, dan S2 sebanyak 136 korban. Jika di total, maka jumlah korban kecelakaan usia produktif mendekati angka 115.000, dimana lebih dari 20 % meninggal dunia. Artinya setiap jamnya rata-rata sekitar 2 orang remaja meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia pada tahun 2020. Ini menjadikan jalanan Indonesia sebagai penyebab kematian terbesar pada usia sekolah dan remaja di Indonesia. Sebuah tempat jagal yang mengerikan yang sering tidak disadari oleh orang tua dan pemangku kebijakan.
Keadaan Indonesia saat ini sama seperti keadaan Belanda tahun 1970-an yang mana banyak kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa anak-anak dan remaja. Pada tahun itu pula Belanda sedang merasakan pahitnya krisis energi buntut akibat perang Arab-Israel sehingga harga bahan bakar naik yang membuat perjalanan menggunakan kendaraan bermotor pun cukup menguras kantong.
Hal yang sama pun sedang berlangsung di Indonesia saat ini, tapi dengan konteks yang lebih rumit dan konsekuensi yang lebih mendalam. Harga bahan bakar terus meroket akibat dampak dari perang Rusia-Ukraina yang dimulai awal tahun 2022. Tapi di waktu yang bersamaan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia juga terus bertambah dimana hingga 2023 jumlahnya telah melebihi setengah populasi rakyat Indonesia. Ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia telah sangat bergantung pada kendaraan pribadi dan rela menguras dompetnya untuk membeli kendaraan pribadi dan bahan bakar yang terus meroket harganya. Padahal kendaraan bermotor jelas-jelas telah terbukti menjadi mesin pembunuh paling efektif untuk anak-anak dan remaja Indonesia. Belum lagi kita berbicara polusi dan kemacetan yang merenggut kesehatan serta waktu produktif masyarakat kita, tentu kendaraan bermotor adalah pilihan kendaraan yang buruk untuk sebuah bangsa yang sedang membangun peradabannya.
Maka momentum ini selayaknya menjadi waktu yang tepat untuk mengkampanyekan sepeda sebagai alternatif moda transportasi rakyat Indonesia yang murah, bebas polusi, dan aman untuk digunakan oleh siapa saja. Oleh karena itu, mestinya kampanye ini harus digalakkan mulai dari level akar rumput hingga pemerintahan. Kita patut mengapresiasi berbagai upaya seperti program 1000 Sepeda dan Kursi Roda yang digagas oleh Center for Community Development and Education (CCDE) yang bertujuan untuk menyediakan sepeda dan kursi roda bagi anak-anak miskin di Aceh. Mungkin dari gagasan yang dimulai dari level akar rumput ini pada akhirnya akan menjadi domino efek untuk bangkitnya budaya bersepeda nasional dan pada akhirnya dapat menyelamatkan ribuan nyawa anak-anak dan remaja Indonesia kedepannya. Semoga.
Biodata Penulis
Zakiul Fahmi Jailani biasa dipanggil Zaki, adalah putra Aceh asli yang pernah tinggal di Belanda dari 2018-2021. Sekarang profesinya adalah sebagai Dosen Sistem Informasi di Universitas Bakrie, kota Jakarta Selatan. Selain memiliki ketertarikan riset di bidang Spatial Data Science dan Machine Learning, Zaki juga tertarik melihat isu sosial kemasyarakatan yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Tentu saja bersepeda dan efeknya bagi kesehatan dan secara lebih luas terhadap peradaban suatu masyarakat. Zaki dapat dihubungi melalui Zakiul_fahmi_jailani@100tahun.i