Oleh Don Zakiyamani
Alumni HMI Komisariat FKIP USK/ Ketua Umum JIMI (Jaringan Intelektual Muda Islam)
Entah mengapa saya ingin menulis Polemik kinerja Pj Gubernur. Mengharuskan saya menelaah. Dengan keluguan saya coba dalami, apa yang sebenarnya mereka inginkan. Apakah benar ingin mengkritisi Pj Gubernur atau target utamanya adalah Dirut BAS.
Sebelum ribut soal kinerja Pj Gubernur saya melihat ada gerakan mahasiswa menyoal kandidat Dirut eksternal. Mereka mendesak Pj Achmad Marzuki agar menolak kandidat yang bukan asli Aceh. Moral force yang salah, kecium dalangnya namun tak perlu diperpanjang.
Setelah isu itu mental, lanjut isu kinerja Pj dan diakhiri nasab Pj Gubenur yang bukan dari Aceh. Polemik terjadi. Bahkan seorang kader parpol merangkap organisasi mahasiswa ikut arus polemik tersebut. Blunder yang memalukan bagi organisasi yang independen secara etis dan organisatoris.
Ramai-ramai kritisi Pj Gubernur, sayangnya lebih kelihatan emosional ketimbang rasional. Beberapa organisasi malah cenderung menjadi underbow parpol, narasinya copy-paste milik parpol dan pengkritik Pj. Saya tidak tahu, apakah narasi saya mirip dengan pembela Pj Gubernur. Wallahualam.
Pastinya, dialektika, pro-kontra di alam demokrasi wajar. Namun, kritik tanpa dibarengi data akurat, rasional, akal sehat, pada akhirnya menunjuk hidung sendiri. Badut politik yang hanya butuh pengakuan tuannya, badut politik yang hanya ingin tuannya senang, adalah humor yang tak lucu.
Misalnya ada kritik soal kemiskinan di Aceh, isu ini sudah sejak Nova. Lah Pj ini belum setahun, memangnya dia bisa buat apa. Dengan kewenangan yang lebih sedikit namun para kritikus ingin hasil mewah. Mereka bicara kemiskinan namun membuat acara di tempat mewah, mana rasa empati mereka.
Mereka bicara pengangguran, namun kegiatan mengandalkan proposal. Mengemis pada elit, demi popularitas. Dan masih banyak lagi disonansi kognitif yang dilakukan para elit maupun mahasiswa. Secara politik, gerakan menurunkan Pj Gubernur sudah nyaris berhasil. Pergantian Pj Gubernur dianggap solusi, segera dilakukan atas nama rakyat.
*Dirut BAS*
Skenario pergantian Pj Gubernur akan diikuti dengan penolakan kandidat eksternal Dirut BAS. Mereka tidak bicara prestasi kandidat, mereka bicara nasab yang jelas bukan kriteria majunya sebuah Badan Usaha. Dan bukan Aceh banget. Siapa pun provokatornya, sejauh ini sudah sukses.
Mengapa harus kandidat internal, apakah karena lebih baik. Tidak. Karena kandidat internal akan lebih mudah dijadikan boneka politik. Mudah ditekan apalagi tahun politik sudah di depan mata. Kandidat eksternal akan butuh waktu lebih lama untuk ditundukkan. Ketakutan itu yang mengganjal elit, sehingga isu eksternal dan internal dikembangkan.
Tujuannya apa, pastinya membangkitkan ke-Aku-an, ke-Aceh-an. Jadi ingat pesan Nabi Muhammad, bahwa perbedaan jahiliyah dan bukan jahiliyah soal jabatan ialah memilih pemimpin berdasarkan prestasi, kapasitas, kapabilitas, dan integritas atau berdasarkan kesukuan. Dan Nabi tidak ingin umatnya terjebak pada kasta dan kesukuan dalam urusan itu.
Dalam literatur Islam jelas dikatakan bahwa mereka yang berilmu akan ditinggikan derajatnya. Lalu mengapa eksternal dan internal yang dipersoalkan, mengapa pula menghalalkan segala cara demi kelompok dan pribadi.
Kalau kita jeli, proyek pembangunan kantor pusat BAS yang terbakar juga belum jelas siapa pelaksananya. Pastinya proyek 200 Milyar itu sangat menggiurkan. Ada banyak pihak yang menginginkan proyek tersebut dan salah satu caranya dengan menjadikan Dirut BAS sebagai bonekanya.
Itulah mengapa pertarungan posisi dirut BAS melibatkan banyak pihak. Politisi, eksekutif, bahkan ada dugaan komisaris BAS ikut campur tangan dalam proses tersebut. Jika dugaan itu benar, sangat disayangkan. Komisaris harusnya jangan berpolitik, harusnya menjadi stabilitator keberlangsungan BAS bukan menjadi provokator. Meski saya yakin dugaan itu salah, saya yakin komisaris BAS profesional.
Lebih memilukan lagi, kabarnya hasil fit and proper test sudah ada. Pertanyaannya, mengapa RUPS tidak segera dilaksanakan. Apakah penentuan Dirut masih menunggu deal politik di belakang layar. Apakah mereka mengira BAS itu milik mereka. BAS butuh kepastian siapa dirutnya sehingga BAS tidak bernasib seperti kapal van der wijck, titanic, ataupun turun levelnya karena kerakusan para elit dan pendukungnya.
Rakyat Aceh menonton, tapi sayangnya, tontonan yang dipersembahkan para elit dan pendukungnya ulangan yang sudah-sudah. Tidak ada tuntunan dalam tontonan yang menyangkut hajat hidup orang banyak (rakyat Aceh). Sudahi sandiwara kalian, buka topeng kalian, beuna marwah bacut.