Disalin Kembali Oleh T.A. Sakti
Tatkala masyarakat di Langsa, Sigli, Lhokseumawe dan beberapa kota lain yang pernah dilalui kereta api ditanya pendapatnya tentang masa depan kereta api di Aceh, dengan spontan mereka mengutarakan kekecewaannya. Sebuah kekecewaan kepada semua yang berkompeten dalam masalah ini.
Dimulai sejak dihapuskannya KA, lalu munculnya issue normalisasi yang tidak jelas kapan kepastiannya. Pelampiasan dari itu semua, masyarakat mulai menjarah rel-rel kereta api di sepanjang jalan.
Kemudian, satu sama lain saling bertanya, mengapa KA di Aceh yang oleh Abdul Wahab Hasyim, Koordinator Bengkel dan Gudang di Sigli yang masih aktif dikatakan bukan asset pemerintah, tapi milik rakyat Aceh hasil rampasan perang, dihapus?
Ada dua jawaban senada yang muncul bersamaan, yaitu menurut Usmanuddin, anggota DPRD Tk I Daerah lstimewa Aceh dari Fraksi PPP dan Usman Nyakpang, pensiunan pegawai kantor Camat Sigli yang juga aktif di Majelis Ulama. Bahwa alasan yang membuat KA di Aceh dihapus karena kerugian yang diderita PJKA dan ada kecurangan-kecurangan yang dilakukan pegawai-pegawai PJKA sebagai akibat gaji yang tidak memadai.
Pertanyaan lain yang senantiasa muncul, apakah pemerintah, tidak melihat akibat dihapuskannya KA di Aceh? Misal, 215 orang pegawai PJKA di seluruh Aceh terpaksa menganggur dan akhirnya diperbantukan di Pemda-Pemda setempat.
Sedangkan sisanya dimanfaatkan sebagai penjaga malam di gudang-gudang stasiun.
Masyarakat di Sigli, Langsa, pun kota-kota lainnya yang biasa menggunakan jasa KA karena ongkosnya murah, mengeluh. Angkutan jalan raya sebagai pengganti tidak memadai karena ongkos terlalu mahal, sementara kondisi jalan semakin buruk sebagai akibat ramainya lalu lintas.
Alasan-alasan pemerintah dan kekecewaan masyarakat senantiasa manyiratkan dua hal yang saling bertentangan. Di satu sisi PJKA tidak ingin rugi, di sisi lain rakyat Aceh menganggap KA memiliki nilai historis dan ekonomis.
Lalu, bagaimana masyarakat Aceh dalam hal ini DPRD dan DPR meyakinkan pemerintah pusat akan pentingnya normalisasi KA di Aceh segera mungkin seperti ketika Van Heutsz, Gubernur Militer Aceh di tahun 1898 meyakinkan pemerintah Belanda di Batavia (kini Jakarta), betapa perkeretaapian penting untuk mengangkut Pasukan.
Memang, lain dulu lain sekarang. Van Heutsz melihat pentingnya sarana kereta api di Aceh untuk menunjang ekspedisi-ekspedisi militer Belanda yang dijalankan ke berbagai daerah-daerah Uleebalang, baik ke Pidie, pantai utara dan pantai timur Aceh. Pemerintah Belanda pun menganggarkan biaya sebesar f540.000 untuk pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Uleelheu ke Banda Aceh sepanjang 4 kilometer.
Lalu tahap kedua, Banda Aceh – Lam Baro, sepanjang 7 kilometer. Namun lebar jalan yang dipergunakan waku itu 1,067 meter, sama seperti jalan kereta yang ada di Jawa. Sedangkan pembangunan selanjutnya yang oleh Van Heutsz setengah dipaksakan lebar rel kereta api diperkecil menjadi 0,75 meter.
Maka, untuk tahap selanjutnya, Ir. Aw Wijss, perencanaan proyek, menganggarkan f 3 juta untuk membiayai pembuatan jalan kereta api yang menyusuri pantai timur dan utara Aceh.
Berikutnya, tahun 1890, jalan kereta api dari Sigli-Lhokseumawe dibangun, tahun-tahun berikutnya dibangun lagi jalan kereta yang menghubungkan Idi, Kuala Langsa, Seulimeun serta yang tertinggal antara Keude Breuh-Seulimeum. Tahun 1917 semuanya selesai dan tahun 1919 pemerintah Belanda menggabungkan jalan kereta api Aceh dengan Deli, Sumatera Utara.
Sejak awal KA di Aceh menjadi sasaran utama aksi pengrusakan pejuang- pejuang. Dan setelah kemerdekaan, KA di Aceh mengalami puncak kejayaan seperti digambarkan AR Rachim, di tahun-tahun itu KA di Aceh menjadi sarana angkutan paling penting.
Selain biayanya murah, masyarakat pun lebih suka mengangkut ternaknya ke kota-kota yang dituju dengan kereta api. Dan, yang menarik, menurut Usman Nyakpang, masyarakat bisa menghemat ongkos dengan cara menyuap petugas dengan sejumlah uang yang jauh dari harga karcis resmi.
Tahun 1953 adalah tahun merana KA di Aceh karena kurangnya alokasi dana perawatan dan pemeliharaan. Tahun 1970, pemerintah pusat menutup kran subsidi untuk KA di Aceh, sehingga KA yang menghubungi beberapa kota di Aceh terhenti.
Tahun 1980 adalah anti klimaks dari sejarah perkereta-apian rel 0,75 meter di Aceh yang dibuktikan dengan diputusnya hubungan KA antara Langsa-Kuala Langsa sepanjang 9 kilometer.
Nah, bercermin pada konfigurasi sejarah perkeretaapian Aceh, banyak alasan masyarakat Aceh untuk terus kecewa dengan tidak adanya KA. Pertama, perjuangan rakyat Aceh untuk membebaskan diri dari penjajah semakin menjadi-jadi sejak adanya kereta api. Rel-rel kereta menjadi sasaran empuk pengrusakan yang mengakibatkan kerugian besar di pihak Belanda.
Kedua, seusai kemerdekaan, dengan dukungan KA, pertumbuhan ekonomi masyarakat dipacu sedemikian rupa. Karena, biaya transportasi yang tidak terlalu besar dibanding biaya transportasi angkutan jalan raya. Nilai historis perkereta-apian juga lebih menonjol dari kedua hal yang di kemukakan di atas.
Itulah sebabnya kekecewaan masyarakat kemudian diwujudkan dalam berbagai bentuk usulan ke pemerintah pusat. Di mulai tahun 1980 ketika jabatan masih dipegang Muzakir Walad. Lalu, berlanjut dengan munculnya issue normalisasi. Namun menurut Abdul Wahab Hasyim ketika pegawai-pegawai PJKA mempertanyakan hal ini kepada Muzakir Walad, sang Gubernur menjawab bahwa KA di Aceh tidak terlalu penting lagi karena angkutan jalan raya sudah dianggap memadai.
Usulan demi usulan ke pemerintah pusat terus dilakukan, Almarhum Prof. Madjid Ibrahim pada waktu menjadi Gubernur DI Aceh turut mengusahakan agar KA Aceh dinomalisasikan.Lalu dilanjutkan oleh Gubernur Ibrahim Hasan
Sementara itu, masyarakat di sekitar semakin menjadi-jadi menjarahi rel kereta api dan besi-besi tua untuk dipergunakan sebagai jembatan dan pagar meunasah. Pihak PJKA menuduh masyarakat mencuri, Usman Nyakpang membenarkannya. Menurutnya, ada seorang juragan besi tua yang bertindak sebagai penadah besi-besi tua itu dibawa ke Medan untuk dilebur.
Alasan yang dikemukakan, masyarakat khilaf, juga kecewa karena issue normalisasi tidak pernah ada realisasinya. Namun AR Rachim justru menyanggah tuduhan itu. Lelaki berusia 60 tahun ini mengatakan bahwa masyarakat justru memanfaatkan rel-rel itu untuk kepentingan lain, bukan diperjual belikan ke juragan-juragan besi tua.
Sementara issue normalisasi terus berlangsung dan masyarakat menunggu realisasi, ada usulan dari masyarakat agar rel-rel kereta api yang sudah tidak terpakai lagi sebaiknya dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Misal, dijadikan besi tua, dilebur di pabrik-pabrik baja. Sebab, menurut Usman Nyakpang dan AR Rachim, membiarkan rel-rel itu terlantar begitu saja, mubazir, sedangkan jika dimanfaatkan oleh masyarakat tentu ada untungnya. PJKA menuduh masyarakat mencuri, sementara stasiun berubah fungsi menjadi warung kopi, dimanfaatkan petugas-petugas PJKA untuk hal-hal lain. Disewakan, sementara tanah-tanah milik PJKA tempat tertanamnya rel-rel sudah berdiri rumah-rumah penduduk.
Normalisasi atau Pembangunan Kembali?
Usulan yang lebih kongkrit justru baru dilakukan pada tahun 1988. Melalui surat bernomor 018/1988 yang ditujukan ke Menteri Perhubungan, Komisi V DPR/RI menguraikan secara rinci perlunya normalisasi KA di Aceh.
Tentang issue-issue yang beredar sebelumnya, di dalam surat itu disebutkan bahwa itu ditimbulkan oleh Surat Menteri Perhubungan di tahun 1978 yang menyebutkan perlunya normalisasi. Dilanjutkan lagi dengan surat Kepala PJKA Pusat pada tahun 1982 dan Surat Kepala PJKA Eksploitasi Sumatera Utara tahun 1987.
Rincinya usulan itu, pemerintah dapat mencicil pembangunan KA dengan tiga prioritas. Pertama, Besitang-Langsa sepanjang 82 kilometer, kedua, Lhokseumawe-Sigl,i dan ketiga dapat dipertimbangkan pembangunan rel yang menghubungkan Sigli-Banda Aceh, Krueng Raya (pelabuhan Malahayati).
Hal ini berarti, sejak Pelita IV normalisasi kereta api di Aceh telah dituangkan dalam pola dasar pembangunan. Namun diharapkan oleh Usmanuddin, pada Pelita V ini pembangunan tahap demi tahap seperti yang diusulkan DPRD dan DPR bisa dilaksanakan.
Kemudian muncul pertanyaan, normalisasi atau pembangunan kembali? Normalisasi berarti mengganti semua rel-rel kereta api yang lebar 0,75 meter dengan 1,067 meter sambil membebaskan tanah PJKA yang di atasnya sudah berdiri rumah-rumah penduduk.
Menurut Hasan Makamu (50) Pejabat Sementara Kepala Inspeksi PJKA Langsa, justru yang sulit adalah membebaskan tanah PJKA itu. Meskipun ada kesepakatan dari masyarakat yang menggunakan tanah PJKA untuk angkat kaki jika kereta api beroperasi lagi.
Normalisasi juga berarti merenovasi stasiun kereta api yang ada sekarang ini dan membongkar beberapa jalan raya utama yang menghubungkan kota-kota di Aceh. Karena, sebagian jalan-jalan itu dibangun di atas tanah milik PJKA dan rel-rel kereta api lama tertimbun di bawahnya. Maka, adalah yang paling tepat jika normalisasi diganti dengan pembangunan kembali dengan konsekwensi pemerintah harus mengeluarkan biaya yang memadai.
Menurut Hasan Makamu, mulai Pelita ini pembangunan sudah akan dilaksanakan, namun, ia pun mengaku sulit meramalkan, apakah dengan secepat itu pembangunan kereta api di Aceh akan terealisir.
Sementara 63 karyawan PJKA Langsa – boleh dibilang makan gaji buta. Salah satu bangunan stasiun di Sigli pernah diminta masyarakat setempat untuk digunakan sebagai balai pendidikan, PJKA tidak memberi.
Usaha-usaha pembangunan kembali perkereta-apian di Aceh terus dilaksanakan. Masyarakat larut dalam kekecewaan, pegawai PJKA larut dalam harapan, sedang Ikatan Sarjana Ekonomi Cabang Banda Aceh mengangkat masalah ini ke seminar.
Rencananya akan berlangsung pada akhir September ini. Namun, tujuannya bukan merayu pemerintah pusat untuk segera membangun kembali perkeretaapian di Aceh, tapi mengambil masalah kereta api sebagai sarana transportasi untuk meningkatkan ekspor non migas di daerahAceh Timur.
Mochamad Syam, Ketua Panitia Pelaksana Seminar yang dilangsungkan di Langsa itu mengatakan, bahwa memang pada akhirnya seminar ini bertujuan meyakinkan pemerintah tentang pentingnya sarana transportasi kereta api untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Sarana angkutan jalan raya dianggap sudah tidak memadai lagi, sementara pemerintah harus terus menerus mengeluarkan dana memperbaiki jalan yang setiap saat pasti mengalami kerusakan akibat muatan yang dibawa mobil terlampau berat.
Agaknya ketimpangan telah terjadi. Di satu sisi, pemerintah memacu pertumbuhan industri, memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal untuk memperbaiki ekonomi.
Di sisi lain, sarana transportasi kurang terperhatikan. Kereta api Aceh yang memiliki banyak nilai karena takut rugi, sementara transportasi biaya tinggi menghadang di depan. Angkutan jalan raya memberikan banyak dampak negatif berkepanjangan bagi masyarakat dan bagi industri itu sendiri.
Adalah lebih bijak jika secepatnya memulai pembangunan itu pada Pelita V ini, meski harus mencicil. Realisasi dari banyaknya issue normalisasi perkeretaapian di Aceh terasa amat mendesak. Kini rakyat Aceh minta kereta api, sesuatu yang pernah menjadi kebanggaannya.
(Sumber: Atjeh Post, Minggu Kedua September 1989 halaman V ).
Penyalin koran: T.A. Sakti