Oleh Zulkifli Abdy
Kita kerap melihat tahun baru dengan perspektif atau kacamata yang berbeda.
Mungkin satu hal yang patut kita pertimbangkan adalah bagaimana kita dapat melihat tahun baru itu sebagai sesuatu yang memiliki daya transformatif. Sehingga ada nilai yang terus akan kita pelihara dan arahkan pada prasangka baik dan berpikir positif. Apakah itu ketika kita melihat ke masa depan atau tatkala kita mesti berpaling dan menoleh ke masa silam.Bagaimana kita sedapatnya memandang bahwa setiap pengalaman hidup selalu memiliki dua sisi, yaitu sisi positif dan negatif.
Tinggal lagi bagaimana kita dapat membuang jauh-jauh setiap pandangan yang mungkin dapat mengalirkan energi negatif, sebagai akibat dari kegagalan kita dalam menafsirkan sesuatu yang sesungguhnya memiliki kegayutan satu dengan yang lainnya.
Demikian pula ketika kita melihat toleransi beragama. Toleransi beragama pada hakikatnya suatu ikhtiar mencari titik bertemu yang paling mungkin, tanpa masing-masing merasa kehilangan sesuatu yang diyakini. Dinamika ini pada titik tertentu akan menghadirkan kesadaran bersama dalam melihat perbedaan itu sendiri, dan menjadikannya hikmat dalam menjalani kehidupan yang lebih harmonis.Sehingga ketika umat beragama hendak merayakan hari-hari besar keagamaan, masing-masing penganut agama telah memiliki “standing point” dalam menyikapinya, dengan demikian tidak akan ada lagi penganut agama yang merasa “dikecilkan”.
Dengan demikian pula kita bagaikan sedang melihat sebuah potret “hitam-putih” tanpa adanya warna lain sebagai khasanah yang dapat memberi isyarat serta memperkaya cakrawala berpikir kita. Hal mana pada akhirnya akan memberi pengaruh yang tidak semestinya terhadap hikmat dari transformasi yang hendak kita capai. Bukankah hal-hal yang negatif sekali pun terkadang juga berguna manakala kita senantiasa dapat melihat kemungkinan adanya hikmah yang menyertainya?
(Z.A)