Oleh TA Sakti
(Kisah si bodoh dan si bingung ini merupakan saduran dari bagian 24 dari Hikayat Kisason Hiyawan (Kisah Dunia Binatang), yang mulai saya posting mulai sore ini. Kisah ini berasal dari India, ditulis oleh Odaiba pada abad ke 3 Masehi.
Nusyirwan Adil, raja Persia mengirim utusannya ke Hindustan (India) untuk menyalin kitab ini ke dalam bahasa Persia. Lewat Persia kisah dunia binatang ini menyebar ke suluruh dunia termasuk ke Aceh.
Tahun 1931 Ayahanda saya menyalin hikayat ini( dalam huruf Arab Melayu), lalu pada tahun 1993 saya salin ke huruf Latin. Pernah dimuat secara bersambung dalam Harian Serambi Indonesia, Banda Aceh. Sudah dua kali saya terbitkan dalam format buku saku. Perlu saya tambahkan, bahwa hampir semua posting hikayat ini masih dalam bahasa Aceh. Insya Allah, dalam masa dekat ini juga akan saya tulis komentar lainnya…….!.
Inilah ceritanya
“O!, itu baru nampak’, kata salah seorang dari tukang kayu yang bekerja membelah kayu di hutan rimba. Rupanya sejak tadi kedua mereka sedang menantikan matahari keluar dari persembunyiannya di balik awan. Mereka berlindung di bawah pohon kayu besar, karena hujan lebat barusan turun.
Kehidupan mereka telah sejak bertahun-tahun ditunjangi dengan hasil peluh mereka sendiri yang bekerja sebagai tukang kayu. Keduanya telah berusia lanjut, tua bangka dan berjenggot tebal beserta jambangnya. Yang paling tua bernama Apa Gam(Paman Gam), sedang yang masih agak muda namanya Lem Gam (Abang Gam).
“Hujanpun sudah berhenti, bagaimana kita pulang ajalah!” kata Apa Gam pada temannya. “Aku setuju!, ayo! Marilah kita pulang!”, ajak Lem Gam serius. Karena matahari sudah masuk ke peraduannya, maka keadaan sudah agak gelap.
Akibat sangat tergopoh-gopoh, menyebabkan mereka lupa mencabut baji (bajau) dari kayu yang belum lepas dibelah. Kedua mereka berjalan setengah berlari, karena takut pada binatang buas yang bergentayangan bila waktu malam. Tinggalah dua buah bajau terpancang di atas kayu besar yang sedang dibelah.
****
Sejak tadi seluruh gerak gerik kedua sang tukang diperhatikan dengan seksama oleh dua ekor kera. Keduanya sedang berpose di antara dua cabang kayu yang rindang. “Kenapa mereka sangat tergesa-gesa pulang”, tanya Si Bangai pada temannya si Bingong. Bangai dan Bingong adalah nama dari kedua ekor kera tersebut.
“Mereka, kan takut juga pada Raja kita yang buas itu. Yang takut pada Raja Singa, bukan kita saja, manusia juga gentar sama dia, itulah sebabnya mereka bergegas pulang”, jelas si Bingong dengan lancarnya.
“Jeh!. Itu coba lihat, karena rasa takut, mereka sampai lupa pada pekerjaannya”. Kata Si Bingong, sambil tangannya menunjuk pada baji yang lupa dicabut oleh sang tukang. “Mari”, Ayo, kita bermain-main atas kayu itu!”. Kedua ekor kera turun ke bawah segera dengan penuh gembira, mereka melompat-lompat keriangan.
Mereka kadang-kadang melompat ke ujung baji yang tegak di atas kayu dan bertengger di situ. “Ngong, yok kita cabut baji in!i”, ajak si Bangai pada temannya. “Buat apa?, kan marah si empunya nanti!, jawab si Bingong tak setuju. “Nggak mungkin marah mereka, malah akan berterimakasih pada kita. Karena tergesa-gesa tadi mereka lupa cabut baji ini”.
Si Bangai terus saja beri alasan mengajak cabut kedua baji itu. Si Bangai memulai goyang-goyang baji itu sambil diringi lagu kesenangannya :
“Hit la unyat, top pade lumat-lumat,
Beuthat beuhek bek padoli, sabab nanti nabu mangat”.
Karena lagu tersebut dinyanyikan dalam nada- irama yang khas dimiliki jenis binatang kera, maka kitapun tak mengerti maksud dan makna dari lagu yang dinyanyikan Si Bangai.
Si Bingong juga terasa tertarik pada lagu “hit la unyat” itu, dia mulai turut bersama-sama si Bangai menyanyi dan tangannya terus menggoyang-goyang bajau yang macula (tegak itu). “Bangai!, Bangai!, Bangai!, panggil Si Bingong tiga kali berturut-turut, karena Si Bangai tak mau open lagi, si Bangai sudah hanyut dalam alunan irama merdu lagu “hit la unyat” tadi, apalagi karena kebetulan pula si Bangai ini punya suara yang sangat merdu.
Karena merasa dipermainkan, maka Si Bingong meninju si Bangai, karena itu barulah si Bangai sadar dari keasyikannya. “Yok, kita nyanyikan lagu yang lebih hangat lagi dari lagu ini, karena kalau lagu kita hanya melagukan lagu yang sejenis keroncong ini, kita pasti tak sanggup mencabut baji ini”.
“yah!, lagu apa yang mesti kita nyanyikan supaya tenaga kita bertambah, hingga sanggup mencabut ini”, tanya si Bangai pada kawannya.
“Lam batenlah!, mana lagi yang lebih hot dari itu” jawab si Bingong,
“Lam baten samarata hayoeh!!!”
“Lam baten samarata Hayoeh!!!”
“Lam baten samarata hayoeh!!!”
Karena lagu tersebut memang nyanyian khas yang dimiliki makhluk kera, maka penulispun kurang mengerti maknanya.
“Lam beten sama rata hayoeh!!!”, secara ligat dan kencang dengan tak putus-putusnya dinyanyikan. Nada-rama dari paduan suara mereka mengingatkan kita pada lagu-lagu perjuangan yang dinyanyikan angkatan perang semasa bertempur, karena sungguh bersemangat.
Kedua ekor kera itu tak pernah putus asa mau cabut baji. “pada kata-kata “hayoeh” dari bait nyanyian tadi, mereka menggoyang baji itu sekuat tenaga yang mereka miliki. “Hayoeh, hayoeh, hayoeh!!!”.
“Aku hampir lepas, kau bagaimana Ngong?. “Akupun begitu!!, Jawab si Bingong”. Kita berada di sini dan mancabut perkakas orang pul!/, bukankah perbuatan ini yang dinamakan mengganggu hak azasi?”
,Bingong mulai gusar hatinya. Dia mulai ragu dan bingung akan akibat dari perbuatannya. Tidak demikian dengan si Bangai, dia semakin bekerja keras untuk mengsukseskan angkara murkanya. “Kog, ngelamun Ngong?’. Aku ragulah!, perbuatan kita ini kan mengganggu kerja manusia saja esok hari?” si Bingong menjawab pertanyaan Bangai dengan rasa dongkol.
“Nggak, ah!, kita ini ‘kan pekerja sukarela, kita menolong mereka tanpa diminta alias pekerja sukarela; gratis!, Si Bangai memberi keteranggannya. “Kau memang bodoh sesuai dengan arti dari namamu si Bangai, yang maknanya bodoh dan batat tho (keras kepala) itu”.
Bingong mengejek si Bangai. “Kau pula apa?, kau kan lebih tolol dari aku, kau tak punya pendirian, senantiasa ragu dengan setiap pekerjaanmu, hingga sesuai namamu juga yang berarti bingung itu!. Sungguh setimpal serangan balasan yang keluar dari mulut si Bangai.
“Kalau kau tak mau cabut baji itu lagi, tak apa!, biarlah aku sendiri yang kerjakannya, tapi aku minta kau janganlah pergi dari sini, temanilah aku buat yang sedang bekerja dengan gratis tanpa orang meminta”. “Kalau itu permintaanmu aku tak keberatan!”, jawab Si Bingong.
Si Bangai terus saja bekerja mencabut bajau tanpa henti-hentinya, sehingga karena kesungguhannya, sebuah baji sudah lepas tercabut. Tinggal lagi baji besar yang sejak tadi mau dicabut oleh si Bingong, yang dia tak mau cabut lagi.
“Kau rupanya tak ingat lagi nasehat-nasehat nenek moyang kita?”, tanya si Bingong pada temannya.
“Ingat apa ?, aku nggak ngerti!, “Nenek moyang kita dulu pernah mengingatkan semua cucunya seperti kita ini, agar kita jangan cari gara-gara dalam hidup di dunia ini. Kita dilarang mencampuri persoalan orang lain!. Kecuali kalau ada pihak yang minta bantuan kita, itu kita perlu juga melihat keadaannya. Kalau-kalau ajakan itu kadang-kadang sebagai perangkap buat menghancurkan kita!.
Macam kerja kita malam ini, mungkin-mungkin akan mengundang bahaya bagi kita sendiri!. Bagaimana tanggapanmu?”. “Oh itu hanya dongeng dulu, tak berlaku sekarang, sekarang kita hidup sudah modern, buat apa lagi kita terpengaruh dengan dongeng itu ?”. Si Bangai menjawab setengah mengejek.
Baji yang masih terjepit di antara celah kayu besar semakin kencang digoyang-goyang oleh si Bangai dan kelihatannya mau lepas.
“kriiiiipp, kriiiiiiip, iiiiiiiib, iiiiiiiiiib” sambil badannya meronta-ronta kesakitan. Rupanya dengan tak disengaja, ketika baji lepas dari jepitan kayu yang tidak putus dibelah, ekor kedua sang kera masuk dalam celah kayu yang telah dimakan mata gergaji itu.
Setelah baji lepas, kayu yang renggang tadi merapat kembali yang pada akhirnya ekor kedua kera pun tersepit, karena ekor kedua mereka berada dalam celahnya. Rasa sakit yang begitu sengat terpaksa dirasai oleh si Bangai dan si Bingong, sambil menjerit kesakitan, mereka berusaha untuk melepaskan diri, namun segala usaha itu sia-sia belaka. Baru setelah lemas keduanya, mereka tak dapat lagi mencari jalan keluar dari kecelakaan itu dan hanya menerima musibah tersebut dengan rasa sabar yang sebesar-besarnya.
“Kan sejak tadi telah kukatakan, kita jangan cari penyakit di sini, tapi kau tak mau tau akan nasehatku” si Bingong mulai menemplak (ejekan) si Bangai yang keras kepala itu. “Aku sekarang insaf dan menyesal karena tak mau dengar nasihatmu, tapi aku heran juga mengapa kau yang memberi nasihat padaku, juga turut merasai akibat dari perbuatanku yang terkutuk tadi?’, jawab Bangai sambil mukanya berkerut karena menahan sakit.
“Aku kena musibah ini, karena aku turut serta bersamamu, walaupun tidak secara aktif. Kau kan masih ingat pada pribahasa nenek moyang kita, yaitu ‘ Si mat bajau, si mat taloe, si dong keu droe, si meu eungkoe; hukom jih sama!!!”. Artinya yang pegang bajau (baji), yang pegang tali, yang hanya berdiri, si pemukul palu, hukumnya sama.. Aku termasuk orang yang ketiga dari pribahasa itu, yaitu si dong keudroe atau si penonton.
Inilah balasan bagiku yaitu sama dengan nasib yang kau terima. Kalimat-kalimat yang diucapkan Bingong, sungguh menyingung hati si Bangai yang batat itu. “Tapi sesal kemudian tak berguna. Cobaan yang kita terima ini, semoga jadi contoh teladan bagi anak dan cucu kita nanti, moga-moga mereka jangan suka mencampuri urusan orang, walaupun itu urusan family sendiri, karena bias-bisa nanti, biduk lalu kiambang bertaut”, sang kera menghibur hati mereka masing-masing.”
Iiiib!, iiib!, kriibb!” hai Bangai kau ini kog, nangis saja, aku sakit juga, tapi aku sabar, bukan macam kau yang terlalu manja.
“Ya, kau enak saja mengejekku, karena memang tak separah yang aku alami, aduh sakitnya, kau terjepit di ujung, sedang aku di pangkal kayu, hingga aku lebih berat penderitaan dari kau!”. Jawab si Bangai yang tengah mengaduh.
“Ngong!”, ini, malam terakhir dalam hidup kita, besok kepala dan badan kita bercerai!”. “Dari mana kau tau firasat itu?, Si Bingong merasa heran dengan berita itu. “Besok si tukang kayu ‘kan akan kemari lagi, seperti tiap harinya, berarti besok mereka akan memenggal leher kita”, jelas Bangai disertai deraian air mata dukanya.
Cahaya putih campur hitam mulai nampak di ufuk timur, tanda sebentar lagi mentari pagi akan menjelma.
“Jeh!, mereka sudah datang, apa bicara kita agar kita terlepas dari bahaya maut ini?” Si Bangai menunjuk pada dua orang manusia yang tengah menuju ke tempat mereka. Ketakutan mereka semakin menjadi-jadi, karena sebentar lagi nyawa mereka akan melayang.
Seluruh badan dan sendi bergetar macam bunyi dawai gitar yang sedang digesek, sungguh demikian besar rasa takut mereka. “Hai Bingong!, kau kog hanya diam aja?, gimana kita cari jalan lepas dari perangkap nyawa ini?”
Si Bangai tak tahan hati melihat ketenangan di wajah Si Bingong. “Kau Ngai!, aku harap tenang saja, biar aku yang menghadapi mereka”; kata Bingong dengan suara tenang tanda ia percaya pada kemampuan sendiri.
Si tukang kayu terus saja berjalan menuju ke tempat, dimana ia setiap hari bekerja. Mereka bekerja hanya dengan alat-alat tradisionil, hanya sekadar mencari nafkah. Bukan bagai tauke-toke kayu di zaman ini. Mereka hanya mencari untung tanpa memerhatikan akibat dari perbuatan mereka, yaitu bahaya banjir yang mengancam masyarakat di lereng gunung, akibat hutan gundul serta erosi.
Apa Gam dan Lem Gam semakin dekat. Dari sana mereka telah lihat dua ekor kera yang duduk atas kayu mereka. Kera itu hanya bersantai-santai, pikir mereka.
“Hei Teungku-teungku!, kami mohon tuan-tuan berdua sudi berhenti disitu sebentar, karena pada kami ada sesuatu hal yang perlu dan semestinya harus kami beritahukan pada tuan berdua!”.
Sejak dari jauh lagi Si Bingong sudah menyapa tukang kayu si Apa Gam dan Lem Gam. Mendengar permintaan kera, kedua manusia itupun berhenti, mereka ingin tau juga apa yang akan disampaikan oleh dua ekor kera tadi. “Begini Tuan”!, Si Bingong mulai main tipu muslihatnya. “Sejak tuan bekerja sebagai tukang kayu, apakah Tuan tau ilmu pantang larang didalam rimba ini?.
Kalau sekiranya Tuan mafhum akan ilmu tersebut, berarti Tuan akan selamat sejahtera untuk bekerja dirimba!, tetapi, kalau andaikata Tuan buta pada ilmu pantang larang dirimba, saya khawatir bahaya tak terduga-duga akan menimpa Tuan. Kalau tidak esok, pasti di masa-masa akan datang/, demikian menurut ilmu nujum yang kami miliki”
Lem Gam dan Apa Gam saling bertanya satu sama lain tentang ilmu hutan itu.
“Oh!, binatang rimba, kami belum tau pantang larang di rimba, jadi dalam hal ni tentunya kamulah yang lebih mengerti, sebab kamu adalah penghuni hutan yang turun temurun!.
Oleh karena itu bantulah kami, tolong beri tahu kami pantang larang didalam rimba ini!” kedua orang tukang kayu mengakui kebodohan mereka.
“Baiklah, saya akan menjelaskan “ kata si Bingong pasti. “Pantang dan larangan yang paling besar kalau orang bekerja di hutan ialah meninggalkan baji, yaitu dengan tidak mencabutnya dari celah kayu yang tidak putus dibelah. Membiarkan bajau terpacak demikian, boleh menyebabkan manusia itu akan diterkam harimau.
Sebaiknya kalau tukang kayu mau pulang, baji itu harus dicabut dulu dan harus pula disembunyikan di tempat yang terlindung dari penglihatan makhluk rimba. Besok pagi kalau Tuan hendak bekerja kembali barulah baji itu diambil dan dipasang balik!”.
Sungguh bijak si Bingong memberi penjelasan, hingga membuat mulut Lem Gam dan Apa Gam ternga-nga sangking seirus mendengarnya. “Kemaren sore kami sedang bermain-main di atas pohon kayu besar itu, tiba-tiba kami lihat Tuan tidak mencabut baji pada kayu yang Tuan belah ini, karena kami kasihan pada Tuan, yaitu kami hendak mencengah bahaya yang akan menimpa Tuan akibat kelalaian ini, kami pun turun kebawah mau mencabut kedua baji ini!.
Akibat kelalaian, ketika kami tengah giat bekerja, tanpa kami sadari tatkala baji tercabut, ekor kedua kami pun tersepit dalam celah kayu yang merapat kembali.
Kami usahakan dengan berbagai cara supaya lepas dari jepitan, tapi segala usaha itu sia-sia belaka. Kalaulah perbuatan kami mencabut baji ini bukan karena Allah demi menolong diri Tuan, pastilah kami telah dimakan oleh binatang buas semalam.
Karena pekerjaan kami memang ikhlas maka Tuhanpun masih menyelamatkan nyawa kami dari mangsa binatang buas dimalam hari”,tutur Bingong dengan penuh kesungguhan.”Semalam suntuk kami meraung kesakitan”, Si Bingong menyambung lagi ceritanya. “Kami mau ambil palu hendak pasang kembali baji, usaha itupun tak jadi, mau minta tolong pada siapa?, untunglah sekarang Tuan telah datang. Oleh karena itu sekarang kami mohon bantuan Tuan, buat melepaskan kami dari derita yang lara ini!”.
Apa Gam dan Lem Gam yang sejak tadi mulutnya menga-nga lebar-lebar bagai plok kafe boih (bagai kaleng kosong yang dibuang Belanda), lantaran mereka terharu dengan omongan sang kera. Dengan tanpa buang waktu lagi, kedua mereka langsung mendekati kera yang terjepit ekornya dan segera melepaskan mereka.
Mereka pasang kembali kedua baji tersebut hingga kayu itu merenggang kembali. Suatu penderitaan yang sungguh dahsyat telah dilewati oleh dua ekor kera, karena kelihaiannya berbicara.
Tapi sayang seribu kali sayang, ekornya yang dulunya merupakan bagian tubuhnya yang menyebabkan dia kelihatan lebih tampan, kini dia telah cacat. Walaupun lukanya sembuh kembali, tapi parutnya tetap ada. Itu akibat mencampuri urusan orang tanpa diminta. Hana buet mita buet, cok palaken cilet bak prut (tak ada kerja cari kerja, ambil aspal oles di perut). Ibarat kata pribahasa Melayu: “Tak beban, batu digalas”.
Lammeulo, 27-6-1400/12-5-1980.