Oleh. T.A Sakti
MENJELANG akhir abad XV dan awal abad XVI, Portugis telah dapat memaksakan nafsu penjajahannya kepada Raja dalam wilayah kerajaan-kerajaan tersebut. Portugis mendirikan “benteng” penjajahannya dengan nama kantor dagang, dan memang di dalamnya ditempatkan pasukan yang bersenjata lengkap.
Ali Mughaiyat Syah, Panglima Besar Angkatan Perang Aceh, melihat peristiwa ini dengan sangat geram, dan dia ingin menghancurkan kekuatan Portugis itu.
Dia mendesak ayahnya, Sulthan Syamsu Syah yang sangat lemah, agar meletakkan jabatannya sebagai Sultan dan dia sebagai putera mahkota akan menggantikannya.
Setelah pada tanggal 12 Zulkaedah 916 H (1511 M) Ali Mughaiyat Syah dilantik menjadi Sultan Aceh Darussalam dengan gelar Sultan Alaidin All Mughayat Syah. Beliau terus merencanakan untuk mengusir Portugis dari seluruh daratan Utara Sumatera, sejak dari Daya sampai ke Pulau Kampei.
Untuk melaksanakan cita-cita besar dan mulia itu, Ali Mughaiyat Syah berpendapat bahwa kerajaan-kerajaan kecil perlu disatukan dalam satu kerajaan besar. Beliau bercita-cita membangun satu Keraja¬an Aceh Darussalam yang besar dan kuat. Setelah berhasil, Ali Mughaiyat mengusir Portugis dari Lubok, Pidie dan Samudra/ Pase, dengan menghancurkan armada Portugis di Perairan Jambo Aye Samudra/Pase, maka beliau terus memproklamirkan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam, leburan dari semua Kerajaan Islam yang kecil-kecil.
Dalam pertempuran-pertempuran di berbagai medan, dapat dicatat bahwa armada Portugis benar-benar telah teruk dan dihancur-lumatkan serta banyak sekali perwira unggulnya yang mati konyol, seperti Laksamana Jorge de Brito yang mati konyol dalam pertempuran bulan Mei 1521 M (927 H) dan Laksamana Simon de Souza yang mati da-lam pertempuaran laut tahun 934 H (1528 M).
Setelah syahid Laksamana Malik Uzair, Sulthan Ali Mughaiyat Syah mengangkat putera bungsunya, Malik Abdul Kahar, menjadi Amirul Harb (panglima perang) untuk kawasan timur merangkap Raja Muda di Aru.
Dengan berakhirnya Perang Laut Teluk Haru, dalam pertempuran mana armada Portugis hancur total, maka berakhirlah riwayat pejajahan Por¬tugis di Pulau Sumatera.
Kalau sekiranya Perang Laut Teluk Haru dimenangkan armada Portugis, niscaya seluruh Pulau Jawa akan menjadi jajahan penjajah Kristen/Katolik Portugis itu. Sama halnya dengan Timor Timur yang mereka jajah lebih 400 tahun.
Menurut Dr Na Bloch dalam bukunya, Advent of Islam in Indonesia, bahwa sebelum terjadi perang laut Teluk Haru, Portugis sudah mencoba merebut Ibukota Kerajaan Aceh, Banda Aceh, tetapi gagal. Perairan Banda Aceh dikepung armada Portugis yang amat kuat, yang didatangkan dari Goa. Sekalipun telah demikian gencarnya ditembak dengan meriam-meriam pantai Aceh, baik dari daratan Banda Aceh, maupun Pulau Aceh namun armada Portugis masih tidak terkalahkan.
Menurut Hashim Bek Fuzumi dalam kitabnya Buhaira, yang dikutip Dr NA Baloch, akhirnya Aceh sebagai penghasll minyak bumi terbesar dl kawasan Selat Malaka, menumpahkan minyak bumi sebanyak-banyaknya ke laut dan kemudian dibakarnya, hatta Teluk Banda Aceh menjadi Lautan Api, dan terbakarlah. sebahagian besar armada Portugis, sementara sisanya lari menuju Goa.
Dalam rangka mengusir penjajah Portugis, maka Sulthan Alaidin Abdul Qahhar, beberapa kali mara ke Semenanjung Tanah Melayu, yang kemudian dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Meukuta Alam.
Untuk menghajar penjajahan Portugis, Sulthan Iskandar Meukuta Alam beberapa kali menyerang benteng-benteng Portugis di Semenanjung Tanah Melayu (Johor, Pahang, Malaka dan lain-laln) dengan Armada Cakra Donya yang Agung).
Untuk lebih memperkuat hubungan Aceh dengan Semenanjung Tanah Melayu dalam menghadapi penjajah Portugis, telah terjadi beberapa perkawinan politik antara beberapa orang Sultan Aceh dengan puteri-puteri Istana Kerajaan-Kerajaun Islam di Semenajung Tanah Melayu. Perkawinan politik yang sangat terkenal. ialah perkawinan Sultan lskandar Muda dengan puteri Kamaliah, seorang puteri cantik jelita dari istana Pahang.
Tentang perkawinan politik inl baiklah saya kutip sebahagian karangan saya dalam buku: Aceh dan Pahang.
Setelah meninggal puteri Sendi Ratna Istana sebagai Permaisuri, Sulthan Iskandar Muda Meukuta Alam menikahi Puteri Kamaliah dari Keluarga Diraja Pahang, yang kemudian terkenal di Aceh dengan sebutan Putroe Phang (Puteri Pahang). Bagaimana cara Iskandar Muda mempersunting puteri Jelita dari Istana kerajaan Pahang itu, baiklah saya turunkan tulisan Haji Buyong Adil dalam bukunya: Sejarah Pahang, antara lain sebagai berikut:
Dalam bulan Juni 1613, Sulthan Iskandar Muda Mahkota Alam, Raja Aceh yang masyhur gagah perkasanya itu, telah menghantar suatu Angkatan Perang Laut yang besar datang menyerang dan mengalahkan negeri Johor, Batu Sawar dan Kota Seberang. Bandar-bandar utama di negeri Johor masa itu telah diduduki oleh orang-orang Aceh. Mengikuti setengah sumber, Iskandar Muda sendiri mengepalakan Angkatan Perang Aceh yang menyerang Negeri Johor itu.
Sulthan Alauddin Riayat Syah III, adinda baginda Raja Abdullah serta Bendahara Johor Tun Sri Lanang dan beberapa ramai pengiring-penggiring Sulthan Johor telah ditawan dan dibawa ke negeri Aceh..,.,.,..”
Setelah bcberapa tahun di Aceh, SulthanAlauddin Riayat Syah III berjanji tidak lagi membantu Portugis yang telah menduduki Malaka, maka Iskandar Muda membebaskan Sulthan Alauddin dan diantar kembali ke Johor serta ditabalkan kembali menjadi Sulthan Johor.
Tetapi, ternyata kemudian Sulthan Alauddin Riayat Syah III yang telah menjadi Sulthan Johor kembali, lagi-lagi menjadi alat penjajah Portugis dalam rangka memperluas jajahannya di Semenanjung Tanah Melayu. Alauddin membantu Portugis untuk mengangkat Raja Bujang menjadi Sulthan Pahang. Raja Bujang adalah Pangeran yang telah mengangkat sumpah setia kepada Portugis.
Karena itu, dalam bulan September 1615 Iskandar Muda menyerang lagl Johor dengan Angkatan yang lebih besar dan Johor dikalahkan lagi, Sulthan Alauddin ditahan dan dibawa ke Aceh, Hatta meninggal di sana. Serangan dilanjutkan ke Pahang yang telah bersekutu dengan Portugis, seperti yang ditulis oleh Hajl Buyong Adil:
“Oleh sebab orang Portugis telah menolong Sulthan Johor (Alauddin Riayat Syah III) menaikkan Raja Bujang menduduki takhta Kerajaan Negeri Pahang, pada tahun 1617 Sulthan Aceh (Iskandar Muda) telah mengeluarkan Angkatan Perang Aceh menyerang Negeri Pahang dan asykar-asykar Aceh yang datang itu telah membinasakan daerah di Negeri Pahang.
Raja Bujang melarikan diri, sementara ayah mertuanya, Raja Ahmad, dan Puteranya yang bernama Raja Mughal serta 10 ribu Rakyat Negeri Pahang ditawan dan dibawa ke negeri Aceh. Seorang Puteri dari keluarga Diraja Pahang, yang bernama puteri Kamaliah juga turut dibawa ke Aceh, yang kemudian diperisteri oleh Sulthan lskandar Muda Meukuta Alam, dan Puteri Pahang Itu termasyhur dalam sejarah Aceh karena kebijaksaannya dan disebut oleh orang-orang Aceh Putroe Phang)
Puteri Pahang dalam Istana Darud Dunia tidak hanya sebagai permaisuri, tetapi juga menjadi penasehat bagi suaminya Sulthan Iskandar Muda. Salah satu dari nasihatnya yang dilakukan Iskandar Muda dan amat bersejarah yaitu pembentukan sebuah lembaga yang mirip DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) zaman sekarang, yaitu Balai Majelis Mahkamah Rakyat, yang beranggotakan 73 orang. yang mewakili mukim dalam Kerajaan Aceh Darussalam.
Prof. A.Hasjmy, Ketua Umum MUI Aceh.
Artikel ini diedit dari makalah yang berjudul sama!.
(Sumber: Serambi Indonesia, 15 Mei 1992 halaman 9 )