Oleh: Reza Fahlevi
“Psst… psstt…”
Dari dalam pagar sekolahan, Antoni memanggil seorang anak perempuan yang sedang mencari sesuatu dari tempat sampah. Pakaian anak gadis kecil itu kusam, wajahnya juga berdebu dan hanya memakai sendal jepit putih yang sudah pudar.
“Heyy… hey…” Antoni kembali memanggil dan anak perempuan itu menoleh sambil berjalan mendekat. “Ngapain di situ…?” Lanjutnya.
Anak laki-laki ini penasaran sedangkan perempuan juga malah mengerutkan dahi. Ia tidak menyahuti Antoni dan hanya menunjukkan sepasang sepatu yang diambilnya dari tempat sampah.
“Ini… ambil…” tiba-tiba Antoni memberi anak perempuan itu sebuah permen.
“Untuk aku?”
“Iyalah, emang untuk siapa lagi?” Sahut Antoni.
Gadis kecil ini bingung. “Kenapa?” Tanyanya.
“Udah ambil aja jangan banyak tanya…”
Mendengar omongan Antoni, gadis ini mulai tersenyum, seakan bibirnya menunjukkan secercah cahaya. Di gerbang sekolah, mereka berdua menikmati permen masing-masing.
Ini masih pukul sepuluh pagi dan sebenarnya belum waktu istirahat. Tapi Antoni sudah lebih dulu keluar dari kelas untuk ke kantin. Ia membeli dua permen untuk kemudian berjalan ke gerbang belakang sekolah.
“Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?” Tanya Antoni.
“Awsya…” jawabnya sembari menjulurkan tangan. “Kamu?”
“Ooo, Antoni… anak paling kece di SD ini.” Sahutnya. Ia menerima uluran tangan Awsya.
“Kamu gak sekolah?”
Awsya menggelengkan kepala lalu menjawab, “aku cuma bantu ayah aja.”
“Kenapa gak sekolah?”
Ia tidak menyahut apa-apa, hanya tersenyum dengan kedua mata melirik ke bawah.
Lima menit kemudian
Dua anak berumur delapan tahun ini semakin akrab. Barangkali permen yang diberikan oleh Antoni tadi begitu berkesan bagi Awsya. Sebelumnya tak ada anak-anak di SD As-Syifa ini memberikan sesuatu padanya. Mereka hanya bermain saat jam istirahat tanpa pernah menegur Awsya yang sedang memungut sampah.
Ya, Awsya adalah pemulung. Dulu ia pernah sekolah, namun hanya satu semester sebelum akhirnya keluar sebab ayahnya tak sanggup membayar uang SPP. Sejak itu, gadis ini hanya membantu ayahnya mencari barang-barang bekas dari tempat-tempat sampah.
“Mmm… itu buku apa?” Awsya tiba-tiba bertanya.
“Hmmm? Ini…? Nih, liat aja sendiri.” Anak laki-laki itu memberikan bukunya.
Satu menit membaca buku itu, Awsya pun tersenyum.
“Kenapa? Ada yang lucu ya?”
“Enggak kok…” jawab gadis itu.
“Kamu senyum-senyum gitu… kayak bisa aja kerjain soalnya. Aku aja yang murid paling kece gak bisa…”
Belum selesai Antoni berceloteh, Awsya meminta sebuah pulpen. Dengan mimik wajah yang bingung, laki-laki ini kemudian memberikan pulpennya.
Lalu, Awsya duduk di tanah untuk mengerjakan soal matematika dasar. Ia terlihat sangat serius dan hanya mengabaikan Antoni yang terlalu berisik berbicara. Dua menit kemudian, ia mengembalikan buku tersebut.
“Apa sih yang kamu buat? Jangan coret-coret buku aku dong, nanti bu guru marah…”
Awsya malah tertawa mendengar Antoni. Dan tak lama setelah anak laki-laki ini menerima bukunya, ia pun langsung melihat-lihat. Ternyata, yang dilakukan Awsya tadi adalah menyelesaikan tugas matematika.
“Hey, ini betul gak?” Tanya Antoni.
“Gak tau…” jawab Awsya tersenyum malu.
“Ya ampun… kalo gak tau ngapain dibuat sih… nyusahin aja kamu.”
Saat sedang mengomel tiba-tiba seorang guru perempuan bernama Fikrah datang dan langsung menarik kuping Antoni.
“Aduuuhhh…”
“Dicariin dari tadi… rupanya kamu bolos di sini ya” ujar Bu Fikrah.
“Ampun buk ampunn…”
“Masuk kelas sekarang…!”
Sontak Antoni berburu lari ke kelas. Sedangkan Bu Fikrah masih berada di pagar sekolah. Ia menatap Awsya beberapa saat lalu mengumbar senyuman yang juga dibalas lebih manis oleh gadis kecil itu.
***
Hari Selanjutnya
Seperti biasa, Awsya sudah tiba di depan SD As-Syifa. Pukul sepuluh pagi memang sudah menjadi agenda rutin dirinya mencari-cari barang bekas di tempat sampah dekat sekolah itu sebab di situ ia sering menemukan sesuatu yang baginya masih bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari.
Ketika sedang sibuk dengan pekerjaannya, dari kejauhan Antoni berlari dan berteriak, “Yooo Awsyaaa…”
Teriakan anak ini mengagetkan Awsya, spontan ia menoleh dan melihat Antoni sudah berada di pagar sekolah dengan napas yang terobok-obok.
“Liat…” ujarnya yang masih ngos-ngosan. “Aku bawa kue… yok kita makan dulu.” Ajak lelaki ini.
Awsya menolak karena takut nanti bocah itu dipergoki lagi oleh guru. Tapi Antoni terus memaksa membuat gadis kecil ini tak ada pilihan lain selain menurut saja. Mereka pun duduk berhadapan. Meski terpisah oleh gerbang besi yang menjulang tinggi melebihi tubuh mereka, situasi ini sudah cukup membuat keduanya akrab.
“Yoo, rupanya tugasku yang kemarin kamu kerjakan betul semua. Nih liat, bu Fikrah kasih aku nilai seratus.”
“Oh ya…?” Awsya seakan tak percaya.
“Hmmm…” Antoni mengangguk.
Awsya sendiri senang melihat lelaki itu tersenyum cerah. Seperti ada perasaan lega yang timbul dari wajahnya.
“Aku gak nyangka kamu bisa matematika. Belajar dari mana?”
“Sekolah…” sahut gadis ini.
“Hah? Tapi kemarin bilang gak sekolah?”
“Dulu aku sempat sekolah, tapi…” tiba-tiba Awsya terdiam dan menunduk, seperti berat rasanya untuk melanjutkan cerita itu.
“Tapi kenapa?” Tanya Antoni, alis sebelah kanannya sedikit naik karena penasaran.
“Gak apa hahaha…”
“Aneh…. tapi makasih ya udah buatin PR aku.”
Awsya mengangguk menyahuti Antoni.
“Jujur aku gak bisa matematika. Susah banget tau gak…” lanjut bocah laki-laki ini.
“Kok susah? Mudah kok.”
Di kesempatan ini, Antoni meminta bantuan Awsya untuk menjelaskan materi yang diajarkan oleh Bu Fikrah kemarin. Keduanya sangat serius; Awsya berlagak layaknya seorang guru dan Antoni mendengar secara seksama apapun yang dijelaskan oleh gadis itu. Dalam tiga menit penjelasan, raut wajah Antoni masih penuh dengan kebingungan.
“Gak ngerti ya?” Tanya Awsya.
“Enggak.” Jawab Antoni sambil garuk-garuk kepala.
Awsya pun mengulangi penjelasannya hingga tiga kali baru kemudian bocah lelaki itu sedikit menemukan pencerahan.
“Gitu doang?”
“Hmmm…”
“Kok malah mudah ya, perasaan waktu dijelasin bu Fikrah susahnya minta ampun.”
“Mungkin kamu yang gak perhatiin ibu itu…”
Omongan Awsya membuat Antoni tertawa terbahak-bahak. Dari sini persahabatan mereka semakin terjalin bagus. Sayangnya, saat sedang asik diskusi, Ayah Awsya datang.
“Nak, ayo pulang.”
Segera gadis ini beranjank dan ikut ayahnya.
“Daahh… besok ke sini lagi ya.” Ujar Antoni, Awsya mengangguk saja sembari tersenyum.
Di sisi lain, ternyata diam-diam Bu Fikrah melihat apa yang kedua anak itu lakukan. Kini ia mulai penasaran dengan sosok gadis kecil bernama Awsya itu.
***
Seminggu kemudian
Sejak awal perjumpaan mereka, Awsya dan Antoni menjadi semakin akrab. Perbedaan nasib tidak membuat bocah laki-laki ini menganggap rendah gadis kecil itu. Di sisi lain, Awsya pun juga tidak merasa malu untuk berteman dengan anak laki-laki kaya yang banyak bicara ini.
Mereka saling memberikan; Awsya yang pintar tak pernah menolak untuk membantu Antoni memahami pelajaran, dan laki-laki ini pun selalu membawa makanan kapanpun mereka bersua.
Tapi di hari senin ini adalah pengecualian. Baik Awsya dan Antoni tidak berjumpa karena bocah laki-laki itu tidak hadir ke sekolah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bu Fikrah yang sudah menanti kehadiran Awsya di tempat sampah dekat SD As-Syifa. Dari dalam gerbang sekolah, ia melihat gadis belia itu sedang sibuk mencari barang. Lantas guru ini berjalan keluar dan menyapa Awsya.
“Hai…” ujarnya sambil tersenyum, membuat wajah ibu guru ini terlihat sangat anggun.
Awsya seketika menoleh ke belakang dan juga mengumbar senyuman.
“Ini untuk kamu dan ayah kamu.” Bu Fikrah memberikan beberapa kue.
Gadis kecil ini hanya diam. Matanya menunjukkan ada pertanyaan yang terbesit dari dalam hati. Bu Fikrah paham dengan sikap Awsya, ia lalu berkata, “gak apa ambil aja. Ini titipan Antoni kok. Hari ini dia gak sekolah karena sakit.”
“Ohh, begitu ya buk. Mudah-mudahan cepat sembuh.” Sahut Awsya, ia mengambil kue-kue itu yang sudah ditempatkan rapi di dalam kotak.
“Ngomong-ngomong ayah kamu mana?”
“Ayah lagi di toko depan…”
Tak lama kemudian, ayah Awsya datang dan Bu Fikrah bergegas menjumpai lelaki tersebut. Mereka berbincang sangat serius dalam beberapa menit. Tak lama berselang, lelaki ini lalu menundukkan kepalanya,
Selasa Pagi Pukul 08.00
Awsya bersama sang ayah tiba di SD As-Syifa atas permintaan Bu Fikrah. Sesuai janji, di depan gerbang sekolah mereka berdua langsung dijamu oleh wanita itu. Setelah basa-basi sejenak, guru ini lantas mengantar mereka berdua ke ruangan kepala sekolah.
Di dalam sana, Bu Fikrah menjelaskan semuanya kepada Kepala Sekolah yang juga seorang perempuan. Dan beliau mulai bahagia tepat setelah mendengar semua yang dikatakan oleh guru matematika tersebut.
“Dengan bapak…?” Tanya sang Kepala Sekolah, beliau biasa dipanggil Bu Fitri.
“Firman, bu…”
“Begini pak Firman…” ujar bu Fitri, “anak bapak bisa bersekolah di sini. Cuma, semester ini kan sudah berjalan setengah tahap, jadi anaknya baru bisa kami masukkan namanya secara resmi semester depan. Mengingat juga anak bapak bukan pindahan tapi ya… memulai tahapan baru. Tapi akan kami usahakan semester depan anak bapak sudah resmi menjadi murid di sini.”
“Bukan apa-apa buk…” Pak Firman mengusap-usap dahinya, “saya cuma pemulung. Jujur, saya gak punya uang untuk bayar SPP. Semua yang saya dapat dari hasil pungutan sampah, uangnya cuma cukup untuk makan kami, itu pun hanya makan siang.”
“Bapak gak usah khawatir. Segala biaya kami tanggung sampai anak bapak lulus. Saya jamin, Insya Allah.” Kata Bu Fitri.
Sontak Pak Firman pun menangis tersedu-sedu. Ia tak kuasa menahan bendungan air mata yang mengalir tanpa dipinta.
Setelah pembahasan singkat itu, Bu Fitri menemui Awsya yang duduk seorang diri di sofa. “Namanya siapa?” Tanya beliau.
“Awsya…”
“Mulai hari ini kamu pakai seragam sekolah ya. Nanti Bu Fikrah akan ambil seragamnya. Dan besok, kamu datang ke sini jam 07.45, oke…?!”
“Kenapa buk?” Awsya bingung.
“Hari ini dan seterusnya kamu sudah jadi murid SD As-Syifa.” Sahut Bu Fitri.
Seketika Awsya bangkit dari duduk, matanya melebar juga tersenyum lebar hingga gigi putihnya yang tertata rapi terlihat dengan jelas. Ia lalu memeluk hangat sang kepala sekolah yang juga dibalas lebih hangat oleh beliau.
Sedangkan Pak Firman benar-benar tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Mulai hari ini, ia bisa melihat anak perempuan satu-satunya bersekolah lagi. Ya, setelah putus sekolah tahun lalu, Awsya benar-benar sedih. Tapi kini perasaan pilunya sudah terobati.
Di kelas 2A
Bersama Bu Fikrah, Awsya diantar ke kelas. Di dalam sana ia bersua dengan Antoni. Beliau memang sengaja meminta kepada Bu Fitri agar dua anak belia ini berada satu kelas.
“Yoooo Awsyaaa…” Teriak Antoni. Awsya tersenyum sambil melambaikan tangan.
“Anak-anak ibu… mulai hari ini kalian ada kawan baru.” Ujar Bu Fikrah yang disambut suka cita oleh murid-murid lain.
“Sekarang dengar, kawan kalian akan memperkenalkan diri. Jangan sampai kalian gak saling kenal nanti.”
“Baik buuu…” sahut mereka serempak.
Bu Fikrah lalu duduk di tempat beliau, sedangkan gadis ini tetap berdiri di depan. Semua mata tertuju padanya.
“Assalamu’alaikum… perkenalkan nama saya Fitria Awsya, biasa dipanggil Awsya. Senang bertemu dengan kalian semua”
***