Perlunya Edukasi Politik untuk Memahami Asas Pemilu

Oleh: Nyanyak Marawan Putri*

 

Pada Selasa, 24 Januari 2023, saya mengikuti diskusi publik yang mengusung tema “Warga Berdaya Pelopor Pemilu Jujur dan Adil”. Diskusi ini diselenggarakan oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melalui Koordinator Jurnalis Warga Banda Aceh dan bekerja sama dengan LSM Flower Aceh.

Diskusi ini berlangsung di kantor Flower Aceh di Jalan Kebun Raja, Ulee Kareng, Banda Aceh dan bertujuan agar peserta diskusi bisa saling bertukar pengalaman dan memahami isu-isu Pemilu dengan harapan mereka dapat menyampaikan kembali kepada individu atau warga lainnya. Peserta diskusi berasal dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, jurnalis, guru SLB, guru Perguruan Kristen Metodhist Indonesia, ormas, dan LSM perempuan.

Harapannya diskusi ini bisa menumbuhkan pemahaman yang baik mengenai asas-asas Pemilu dan warga menjadi berdaya, sehingga bisa menjadi pelopor Pemilu yang mendekati ideal dengan menumbuhkan sikap inklusif, menolak hoaks, kampanye gelap, politik uang, dan tidak golongan putih (golput). Diskusi diawali dengan sharing session sesama peserta yang dipandu oleh moderator yang juga jurnalis warga Banda Aceh. Banyak unek-unek yang disampaikan oleh peserta, seperti adanya kekhawatiran masyarakat terhadap besarnya money politic nantinya.

Salah satu peserta, Dian Guci, selaku perwakilan Perempuan Peduli Leuser menyampaikan, ia mulai menetap di Banda Aceh sejak 2006 dan sudah mengikuti beberapa kali Pemilu di Aceh. Sebelumnya Dian berdomisili di Bandung dan Jakarta. Dalam kacamata Dian, Pemilu di Aceh cenderung lebih kondusif dibandingkan di daerah tempat ia berdomisili sebelumnya. Dengan kata lain “suara orang Aceh tidak mudah dibeli”. Maksudnya, orang Aceh memiliki peran sendiri dalam hal memilih.

Menurutnya, demokrasi saat ini masih diukur dari tinggi rendahnya animo publik untuk ikut Pemilu dan seolah menegaskan kredo vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan). Harusnya Pemilu  bisa dimaknai lebih dari itu. Substansi demokrasi adalah memberikan kedaulatan pada rakyat, khususnya dalam hal dipilih dan memilih.

Ada dua narasumber yang dihadirkan dalam diskusi ini, yaitu Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, dan Komisioner KIP Aceh, Akmal Abzal. Riswati menjelaskan bahwa ketika berbicara Pemilu, maka tidak terbatas pada satu elemen saja karena jika merujuk pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 amandemen ketiga Pasal 22E ayat 1 menjelaskan terkait pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang disingkat dengan luber dan jurdil yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Dalam hal ini untuk memastikan asas-asas Pemilu ini harus memang bersifat terbuka.

“Artinya, siapa saja bisa ikut serta untuk berpartisipasi dalam pemilu tanpa dibatasi jenis kelamin, usia, agama, suku, ras, warna kulit, hingga keadaan fisik (disabilitas),” kata Riswati. Riris melihat bahwa dalam setiap Pemilu, kelompok perempuan sering tidak menjadi prioritas dan lebih dianggap sebagai objek untuk memastikan terpenuhinya jumlah suara.

Di samping itu, sering juga muncul pernyataan-pernyataan yang merugikan kontestan perempuan seperti perempuan tidak boleh jadi pemimpin. Dengan demikian, ketika mereka maju dalam kancah pemilu dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama. Padahal kata Riris, untuk menuju Pemilu yang inklusif ini sangat penting, terlebih untuk mewujudkan warga berdaya menuju Pemilu luber dan jurdil. Pengalaman Flower yang terlibat dalam pengawasan pemilu masih melihat beberapa persoalan, sepertiTPS yang tidak mudah diakses oleh lansia, disabilitas, ibu menyusui hingga ibu hamil, “Karena tidak semua orang memiliki kondisi tubuh fisik yang sama,” tambah Riris.

Dalam sesi diskusi, peserta lainnya, Sudarliadi, yang aktif di organisasi Muhammadiyah membagikan pengalamannya sebagai relawan pengawas TPS di Pemilu 2019. Biasanya jika data di TPS tersebut terdapat pemilih disabilitas, bisa direkomendasikan pada pihak penyelenggara atau KIP dan mereka akan menyediakan peralatan atau fasilitas yang dibutuhkan. Sudar juga bertanya mengenai pastisipasi masyarakat dalam pemilu, “Partisipasi pemilih antara Pemilu 2014 dan 2019 berbeda, di tahun 2019 partisipasi masyarakat meningkat, apakah ini karena sosialisasi pemilu yang baik atau karena meningkatnya praktik politik uang yang membuat animo masyarakat semakin tinggi dalam pemilu?” tanya Sudar.

Jika money politic sudah dianggap biasa oleh masyarakat, maka ini bisa dikatakan terjadinya kemunduran bagi demokrasi di Indonesia. Pada kondisi saat ini masyarakat tidak lagi memilih karena hati nurani, melainkan lebih kepada siapa yang mampu memberikan uang jaminan yang banyak sebelum hari H pemilihan. Kondisi seperti ini sudah menjelaskan bagaimana kondisi demokrasi saat ini, semakin banyaknya masyarakat yang tidak peduli maka semakin rendahnya pemahaman demokrasi.

Kemudian Akmal Abzal selaku Ketua Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat KIP Aceh, memaparkan bahwa kondisi di Aceh pada saat pemilu dan pilkada sebelumnya, masyarakat Aceh menjadi sangat sensistif terhadap perbedaan setiap kali tahun Pemilu masyarakat fanatik, tetapi di samping itu tidak mau diedukasi atau belajar menerima pendidikan politik.

Dinamika politik di Aceh dari tahun ke tahun, biasanya jelang Pemilu akan banyak media abal-abal yang hadir menyajikan bad news dan orang-orang fanatik hanya mau membaca berita yang sseusai dengan prasangkanya. Padahal sejatinya Pemilu yang berlangsung sekadar pesta demokrasi lima tahunan, jangan sampai ujaran kebencian merusak persatuan warga. Budaya seperti ini jika tidak dibenahi, maka sampai kapan pun akan sulit bagi masyarakat memilih murni dari hati nurani.

Pada Pemilu 2024 nanti kita akan memilih pada Februari dan November. Kondisi ini adalah kali pertama bagi Indonesia melaksanakan Pemilu serentak. “2019 belum sembuh luka karena terjadinya perselisihan, 2022 menuju tahun 2023 perselisihan kembali terjadi. Apakah ini yang dinamakan dengan Pemilu? Lantas siapa pelakunya? Jelas jawabannya adalah kita yang tidak mau mengatakan tidak pada sesuatu yang salah dan kita yang tidak mau mengatakan benar pada sesuatu yang benar,” jelas Abzal.

Akmal mengatakan, mendiamkan satu berita hoaks, maka sama saja seperti kita bersekutu dengan hal tersebut. Artinya, kita sudah membenarkan berita hoaks tersebut. Jangan jadikan Pemilu sebagai ruang untuk berjanji dan memanipulasi keadaan dengan berita hoaks, black campaign hingga politik SARA. Situasi saat ini membutuhkan komitmen dan kerjasama seluruh pihak, karena untuk menuju Pemilu yang luber dan jurdil perlu adanya edukasi politik sehat serta keamanan yang stabil untuk mengatasi tantangan di masa mendatang.

Politik identitas yang mengutamakan ras, etnis, kelompok agama tertentu, jika terus dipelihara, akan berdampak pada perpecahan masyarakat, sehingga menghambat perkembangan demokrasi Indonesia. Pemilu serentak 2024 nanti akan menjadi ujian bagi masyarakat Indonesia dalam menjalankan demokrasi. Harapannya Pemilu 2024 mendatang dapat dilaksanakan sesuai dengan asas-asas Pemilu yang luber dan jurdil serta memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua elemen masyarakat. Adanya perubahan yang terjadi yaitu perempuan harus memilih dan percaya juga kepada sesama perempuan karena semua warga negara berhak mendapat haknya yaitu hak memilih serta dipilih.

Penulis adalah Anggota Jurnalis Warga Banda Aceh

Exit mobile version