Oleh: Sartika Rahayu*
Menjelang Pemilu banyak kekhawatiran yang kita temui di masyarakat mengenai isu-isu Pemilu, seperti isu SARA, politik uang (money politic), hingga kampanye hitam (black campaign). Kampanye hitam dapat diartikan sebagai suatu upaya politik untuk merusak atau mempertanyakan lawan politik dengan cara memainkan propaganda-propaganda negatif menjelang pemilu serentak. Tidak hanya kampanye hitam, tentu kita juga sering mendengar istilah kampanye negatif (negative campaign). Lalu, apa yang membedakan antara kampanye hitam dan kampanye negatif?
Kampanye hitam bisa berupa tuduhan atau persepsi yang tidak didasari fakta, bisa berupa fitnah yang menyangkut kekurangan pihak calon kepala daerah atau partai untuk menarik pihak lainnya memenangkan Pemilu. Sedangkan kampanye negatif adalah kampanye tuduhan persepsi yang berdasarkan fakta serta disampaikan secara jujur dan relevan, menyangkut calon kepala daerah atau partai. Tujuan kedua kampanye ini sama yaitu untuk mengalihkan suara ke pihak lainnya. Perbedaan terletak pada bahan atau isi tuduhan.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, maka media untuk melancarkan kampanye hitam pun semakin canggih. Dahulu black campaign dikenal juga sebagai whispering campaign dengan cara menyebarkan desas-desus dari mulut ke mulut, maka saat ini, isu disebarluaskan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi dan multimedia.
Pengamat politik, Ubaidillah Badrun, sebagaimana diberitakan okezone.com pada Jumat, 24 Maret 2017 menjelaskan ada tiga faktor pemicu timbulnya kampanye hitam di dunia politik. Pertama, kampanye hitam biasanya terjadi karena hasrat berkuasa yang terlalu tinggi, termasuk dalam tim, itulah yang menyebabkan irasionalitas. Kedua, kampanye hitam juga bisa muncul akibat miskinnya gagasan kreatif kampanye. “Jadi ketika gagasan kampanye politiknya sudah habis, yang dicari adalah peluru lain yang memungkinkan untuk jadi serangan mematikan,” papar Ubaidillah.
Ubaidillah mencontohkan, hal ini ditandai dengan pernyataan paslon yang berulang-ulang. Tidak ada lagi hal baru yang disampaikan kepada publik dan media. Faktor ketiga, penyebab munculnya kampanye hitam adalah moralitas politik.
Menurut Nunung Wirdyaningsih, staf pengajar Fakultas Hukum UI sekaligus mantan anggota Bawaslu RI dalam jurnal Suyono berjudul Analisis Penyebaran Kampanye Hitam (Black Campaign) Pilkada Jember melalui Media Sosial Facebook, menyatakan, salah satu masalah yang kerap mencuat dalam setiap pemilu adalah kampanye hitam yang dilakukan oleh salah satu kandidat atau tim kampanye kandidat tersebut untuk menjatuhkan kandidat lainnya.
Di Indonesia, sambung Wirdyaningsih, kampanye hitam masih sering terjadi karena sulitnya kegiatan itu ditindak. Letak kesulitannya terdapat pada pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 249 ayat (4) bahwa pelanggaran kampanye baru dapat ditindak apabila adanya pengaduan dugaan pelanggaran atau kelalaian dalam pelaksanaan pemilu. “Adanya batas kedaluwarsa yang begitu cepat, yaitu hanya 7 (tujuh) hari sejak diketahui atau ditemukannya pelanggaran pemilu yang menjadikan pelanggaran tersebut sulit ditindak, karena biasanya baru dilaporkan kepada Bawaslu setelah batas kedaluwarsa tersebut,” jelasnya.
Sekretaris Prodi Ilmu Politik UIN Ar-Raniry, Ramzi Murziqin, berpendapat bahwa kegiatan kampanye hitam merupakan salah satu pelanggaran dalam pemilu yang kerap dilakukan oleh timses, tim kampanye, bahkan peserta Pemilu atau kandidat untuk menyerang lawan politiknya. Kampanye hitam ini merupakan model kampanye melalui pelontaran sebuah isu atau gossip, kemudian penggiringan opini yang ditujukan pada lawan politik. Istilah black campaign sendiri mulai familier dan sering dipakai untuk mendefinisikan kegiatan-kegiatan yang merupakan bentuk negative campany dalam menjatuhkan lawan politik. Kampanye ini jelas bukan hal yang sportif dan merupakan kompetisi yang tak sehat.
Dahulu, lanjut Ramzi, bentuk black campaign dilakukan melalui penyebaran informasi di media cetak dan selebaran yang berisikan informasi-informasi negatif pihak lawan kepada masyarakat luas. Mekanisme penyebaran informasi negatif ini biasanya dilakukan oleh tim sukses maupun simpatisan bakal calon atau calon kontestasi Pemilu.
Saat ini fenomena mulai berubah seiring dengan perkembangan teknologi di mana informasi negatif ini dengan cepat tersebar melalui media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Whatsapp.
Meski demikian, media cetak masih tetap dipakai sebagai media black and paint untuk masyarakat di akar rumput. Kenapa hal ini masih terjadi? Karena faktor utamanya adalah aturan yang belum secara komprehensif memadai proses pembuktian dan penindakan kepada pelakunya.
Upaya terdekat yang bisa dilakukan adalah memberi edukasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai Pemilu yang sportif dan pencegahan informasi negative yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu sebagai bentuk antisipasi.
“Perguruan tinggi dan pemerintah memiliki peran ini guna menyadarkan masyarakat terhadap urgensi hak suara yang dimiliki dalam Pemilu, memberi imbauan kepada masyarakat untuk mempergunakan hak pilihnya secara bijaksana, serta mencerdaskan dan mengingatkan masyarakat agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang termasuk dalam pelanggaran pemilu terlebih lagi pelanggaran yang masuk dalam kategori pidana pemilu hanya demi memberi dukungan kepada bakal calon secara berlebihan. Dengan demikian, maka masyarakat akan lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan pemberian dukungan kepada kandidat politik yang diusungnya.”
Untuk menghindari black campaign, kita bisa melakukan dengan cara mencermati reputasi media penyampai berita, mencermati penulis artikel, menyelidiki cerita versi lawan (kompetitor), selalu mencoba melakukan proses verifikasi, dan jangan menyebarkan rumor.
Demikian sekelumit tentang black campaign pada Pemilu, dengan mengetahui informasi tersebut masyarakat diharapkan dapat menghindari yang tidak diinginkan, baik melakukan kampanye hitam maupun kampanye negatif. Mari bersama-sama sukseskan pemilu dengan jujur, bersih, dan adil.[]
Penulis adalah anggota Jurnalis Warga Banda Aceh dan mahasiswi Ilmu Politik UIN Ar-Raniry.