Imam Shamsi Ali*
Tak disangkal jika kita hidup dalam dunia yang semakin kompleks. Berbagai problematika kehidupan lebih diperkuat dan diperlebar oleh kemajuan dunia dalam segala aspeknya. Kemajuan material (transaksi finansial semakin dahsyat), kemajuan ilmu dan teknologi yang meroket, berdampak kepada sofistikasi komunikasi dan informasi, semakin menjadikan dunia kita lebih kompleks.
Dunia kita menghadapi ragam masalah. Dari isu ekonomi, politik global, keamanan (perang), sosial (moralitas yang tercabik), hingga ke lingkungan hidup (climate change) dan kerusakan alam (natural disasters) terjadi di mana-mana. Dan semua itu gelombangnya (magnitude) semakin diperkuat oleh capaian manusia dalam kehidupan dunianya.
Empat permasalahan besar manusia modern
Selain ragam permasalahan yang disebutkan di atas sesungguhnya ada empat isu utama dan mendasar yang dihadapi oleh dunai modern kita saat ini.
Satu, uncertainty in life (ketidak menentuan hidup manusia). Dua, human dichotomy (pembagian manusia ke dalam ragam kelas yang diskriminatif). Tiga, materialist mindset (pandangan hidup material yang tiada ujung). Empat, Chaotic Public life system (sistem kehidupan publik yang kacau balau).
Keempat isu ini yang menjadi permasalahan-permasalahan kompleks dalam kehidupan modern manusia, yang berdampak pada segala lini kehidupannya.
Islam sebagai diin (way of life) tentu hadir dalam menghadapi (to face) permasalahan-permasalahan itu. Islam oleh Umat ini diyakini sebagai “hallun” atau solusi dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh manusia.
Kali ini yang akan saya garis bawah elaborasi singkat adalah permasalahan ketiga. Yaitu permasalahan mindset manusia yang terkungkung oleh aspek material kehidupan. Wawasan kehidupan seperti ini yang disebut dengan “materialisme” atau paham “maadiyah”. Sebuah pandangan hidup yang bertumpu secara maksimal kepada kehidupan material.
Paham hidup (isme) ini yang kemudian menjadi jalan hidup atau way of life bagi sebagian besar manusia modern. Yang sesungguhnya dalam Islam inilah makna dar “diin” itu. Karenanya materialisme sesungguhnya adalah “diin” bagi mereka yang mengikutinya.
Hal ini mengingatkan kita dengan ayat: “Dialah Allah yang mengutus RasulNya dengan petunjuk dan agama kebenaran (diin al-haqq) untuk memperlihatkannya (mengunggulkan) di atas adyaan semuanya (agama-agama lain). Walaupun orang-orang Kafir itu tidak senang” (As-Shoff).
Gaya hidup materialis menjadi wajah terdepan dunia modern kita saat ini. Kecenderungan materialis ini melahirkan berbagai konsep kehidupan dalam segala lininya yang juga mendukung soliditas paham dan gaya hidup ini (materialism). Di bidang perekonomian misalnya melahirkan konsep kapitalisme yang berorientasi kepada memperkaya diri tanpa batas dan etika.
Bahkan di bidang perpolitikan sekalipun, demokrasi sejatinya terlahir dari konsep kebebasan umum (publik) dalam mengekspresikan diri. Hanya saja kita tahu bahwa kemampuan ekspresi itu hanya akan terjadi ketika posisi berada pada posisi yang kuat. Karenanya realita demokrasi pada galibnya terkontrol oleh kekuatan oligarki.
Pada setiap negara ada okigarkinya. Di Amerika ada dan di Indonesia juga ada. Hanya beda wajah dan kelompok. Tujuan sama. Yaitu mengunkung kepentingan negara di bawah ketiak mereka. Kerap dengan memakai sistem yang ada, termasuk demokrasi.
Paham dan sistem hidup material ini membawa dunia modern kepada situasi yang tidak menentu (uncertain). Bahkan tidak jarang ketidak menentuan itu dibentuk (designed) agar manusia yang sejatinya menjadi subyek (pelaku) kehidupan terbalik menjadi obyek (korban) demi keberlangsungan paham dan gaya hidup materialis itu.
Akibatnya manusia dalam hidupnya menjadi obyek dunianya. Sebuah realita yang menentang fitrah manusia sebagai “master” yang telah diberikan amanah oleh Pencipta untuk memiliki dan mengatur dunia ini. Posisi manusia sebagai khalifah (inni jaa’ilun fil-Ardhi khalifah) sejatinya merefleksikan realita amanah kepemilikan dan menejemen dunia dari Allah kepadanya.
Realita kehidupan manusia seperti di atas kemudian melahirkan kehidupan yang terasa “disoriented” (kehilangan arah) dan “meaningless” (kurang bermakna). Hal inilah yang kemudian menjadikan hidup manusia melahirkan “uncertainty” (ketidak menentuan), “confusion” (kebingungan), bahkan ragam “chaos” (hidup yang kacau balau).
Pertanyaannya yang kemudian Umat ini harus tanyakan adalah dengan modal agama yang Haq (diinul haqq) bagaimana menghadirkannya agar menjadi solusi bagi Kompleksitas kehidupan modern manusia? (Bersambung….).
NYC Subway, 30 Desember 2022
*(catatan dari khutbah hari ini…).