Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Dalam mengukur HCI, World Bank menempatkan usia 4 Tahun sebagai awal bersekolah di TK atau PAUD. Guru TK dan TK sudah dianggap sebagai sekolah formal dan terdata di Dapodik (Data Pokok Pendidikan).
HCI mencatat bahwa rerata anak Indonesia bersekolah selama 12,4 Tahun dihitung sejak usia 4 Tahun, sehingga rerata stop di jenjang (kelas) 10,4 atau kelas 2 SMA/MA/SMK semester 1. Namun celakanya, saat disesuaikan dengan capain belajar, mereka hanya sampai di 7,8 Tahun atau di jenjang (kelas) 5,8 Tahun atau kelas 6 menjelang lulus.
Saya tidak paham, mengapa murid kita yang sudah kelas 2 semester 1 itu masih dianggap setara dengan SD kelas 6. Namun, itulah fakta mutu dari hasil belajar murid Indonesia yang diukur oleh Uji Global dan Lokal. Hasil ini menyumbang rendahnya Indeks HCI Indonesia yang jauh di bawah Palestina dan Kosovo.
Saya juga tidak faham, apakah 6 ranah penengembangan murid TK: Kognitif, Fisik Motorik, Bahasa, Seni dan Sosial Emosional serta “Mulok” basis TK masing masing, juga menyumbang rendahnya mutu capaian hasil belajar yang hanya sampai kelas 6. Namun, saya yakin ikut.
Jika dahulu hanya SD/MI yang menjadi sasaran tudingan awal rendahnya mutu tersebut, saat ini TK akan menjadi acuan awal karena semua dasar capaian tersebut bermula di jenjang ini.
Bayangkan jika guru TK/RA salah memberi landasan nalar kognitif, seni, sosial emosional, berbahasa (membaca) dan seni, alangkah sulitnya jenjang SD/MI meneruskan dengan cara yang benar.
Saya semakin gundah ketika seorang kepala TK mengatakan bahwa ada soal ujian masuk SD/MI yang menyaratkan lulusan TK/MI mampu membaca. Ketika saya bertanya apakah “urgency” nya siswa TK ikut praktik manasik Haji yang membayar 250-400 ribu dan jika tidak ikut didenda Rp. 5.000/siswa ? Mereka tak mampu menjawab dan hanya mengarahkan telunjuknya ke kebijakan IGTK.
Boleh jadi cukup banyak kegiatan “gimmick” yang justru ikut menyumbang hasil capaian belajar sehingga HCI kita menjadi rendah, walahualam.