‘Kadang, musibah memang menjadi anugerah Tuhan yang sangat indah. Dan dengan Tsunami itu pula kita dieratkan satu sama lain.’
Di penghujung 2012 lalu, ada sebuah stasiun televisi dari Jepang, TV BS-TBS Japan, datang ke Aceh untuk meneliti tentang Smoong yang berakar dari Simeulu. ‘Smoong’, begitulah masyarakat Simeulu menyebut Tsunami. Ibu Yoko Takafuji, salah satu dari mereka, yang meneliti tentang Smoong tersebut. Ia ingin mencari tahu, bagaimana Simeulu meminimalisir korban pada Tsunami 2004 silam, hingga korban yang berjatuhan tak sama besarnya seperti di Ibukota Provinsi Aceh.
Kita semua tahu, bahwa Pulau Simeulu pernah diterjang Tsunami untuk kali pertama pada tahun 1907 tepatnya hari Jumat. Dengan Tsunami yang kembali terjadi pada tahun 2004 lalu, setidaknya mereka sudah mendapat petuah dari para dedahulu tentang Smoong (baca: Tsunami) serta bagaimana mengatasinya. Sehingga pada 2004 lalu, hanya sedikit nyawa yang terenggut oleh gelombang besar pelabuhan itu (Tsunami dalam bahasa Jepang berarti gelombang besar pelabuhan).
Menurut petuah yang berasal dari pulau tersebut,’biasone anga ida linon keadaan sekitar lumah semengen, sa’a tuaik linon iya misalne afel sia finatang singa kumoddong, tuaik ede uweik asen susuik ede tando ne aiding besang smoong, sebaik ne anga terjadi hal demikian maka tuaik linon lebih baik ita langsung mek delok umang akdo terjadi hal-hal yang tidak ta inginkan’. Jika setelah terjadi gempa, binatang-binatang di sekitarnya berlarian dan air laut surut, berarti Tsunami akan terjadi, segeralah menuju gunung yang terdekat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, begitulah kira-kira arti dari petuah zaman dalam bahasa Simeulu itu. Petuah itulah yang dijadikan patokan masyarakat Simeulu agar selamat dari Tsunami yang terjadi.
Enam tahun setelah terjadinya Tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, Tsunami kembali terjadi di Pulau Matahari Terbit itu pada 11 Maret 2011. Sudah selama enam tahun Aceh melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap pembangunan di segala bidang. Jepang membantu Aceh tanpa henti hingga Jepang memberikan bantuan berupa sebuah sekolah gratis untuk belajar bahasa Inggris dan bahasa Jepang yang diberi nama Kougetsu School di bawah suatu LSM yaitu LCO (Lost Childen Operation) dan PAC Japan.
11 Maret lalu, tepatnya dua tahun setelah Tsunami menerjang tanah Jepang, LCO menyelenggarakan sebuah acara dalam rangka memperingati dua tahun Tsunami Jepang. Dihadiri oleh Bapak Konsulat dari Jepang untuk Indonesia dan juga Asahi Shinbun (baca: Koran Asahi) dari Jepang. Pada acara itu pula, diadakan doa bersama untuk para korban Tsunami di Jepang maupun di Aceh. Murid-murid Kougetsu School juga mempersembahkan dua buah lagu yaitu Omoiyari dan Hana wa Saku.
Dalam Asahi Shinbun disebutkan bahwa peringatan dua tahun Tsunami Jepang tersebut bukanlah diadakan atas nama LCO ataupun Aceh, tapi atas nama bangsa Indonesia. Mereka juga menuliskan, antara Aceh dan Jepang itu layak kakak beradik, yang senantiasa saling membantu dan saling menyemangati.
Tsunami membuat tanah kita berkait dengan tanah lain. Tsunami menjadikan kita digenggam dunia dan melihat kita dengan mata dan hati. Bahkan Nihonjin (orang Jepang) percaya, bahwa yang membuat Aceh bangkit berjaya dari Tsunami ialah karena Aceh memiliki agama di hati setiap masyarakatnya. Sedangkan mereka, mereka tidak tahu atas dasar apa merekat dapat bangkit dari Tsunami walau pun mereka memiliki potensi yang lebih luar biasa dari Aceh.
Oleh :
Shiti Maghfira
Siswi Bahasa Jepang Kougetsu School