Oleh: TA. Sakti
( Bagian Pertama )
Berpenampilan bersahaja, sederhana, sopan, tenang dan berwibawa. Sifat itulah yang saya amati pada diri pribadi Drs. Mohd. Kalam Daud, M.Ag, selama saya bersahabat lebih 20 tahun. Orang yang biasa disapa Pak Kalam ini lahir di Cot Paleue Mesjid, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, pada 6 Juli 1957. Dia sebagai staf pengajar UIN Ar-Raniry yang pada akhir Desember ini akan pensiun. Namun, pada 12 Desember 2022/18 Jumadil Awal 1444 H, jam 09.40 wib., beliau berpulang kerahmatullah di Rumah Sakit Zainal Abidin (RSZA), Banda Aceh.
Innalillahi wainna ilaihi raji’un…
Selesai dimandikan dan dikafani, jenazah dibawa pulang sebentar ke rumah di lorong Zakaria Yunus, gampong Rukoh, lalu dibawa ke Mushalla Al-Muhajirin di bantaran Krueng Aceh di seberang jalan Pasar baru Lamnyong. Selesai dishalatkan secara berjamaah, jenazah dibawa ke ambulans untuk dibawa pulang ke kampung halaman Cot Paleue Mesjid dan dikebumikan di samping Ibunda Amansari Arsyad.
Awal pertama saya mengenal nama beliau dalam rubrik surat pembaca harian Serambi Indonesia tahun 90 an. Saat itu Pak Kalam menanggapi surat pembaca: ( Ismail NA Lampriek) mengenai bahasa Aceh. Saat membaca tulisan itu saya berpikir bahwa orang ini sudah tua, cukup ahli bahasa Aceh. Karena itu saya mesti mencari tempat tinggalnya di kampung Keuramat Banda Aceh.
Begitulah, saya segera berangkat mencari alamat itu. Teman-teman tetangga kost mengatakan bahwa Pak Kalam sudah pindah ke “Darussalam” tanpa diketahui alamat yang jelas. Pencarian pertama berhenti di situ, namun upaya itu masih tetap saya laksanakan di kesempatan lain.
Setiap kali membaca pernak-pernik bahasa Aceh, langsung saya teringat nama Pak Kalam. Segera saya berangkat mencari alamatnya lagi. Hal serupa berlangsung berulang-ulang; berkali-kali. Barulah setelah 8 tahun waktu berlalu saya betul-betul menjumpai Pak Kalam di lorong Banna, dusun Lamnyong, gampong Rukoh, Darussalam, Banda Aceh. Setelah tsunami Aceh 2004 beliau pindah ke rumah sendiri di lorong Zakaria Yunus.
.
Saat pertama kami berjumpa, Pak Kalam sedang di hadapan komputer menulis sesuatu. Kemudian berulang kali saya mengunjungi kediamannya, dia selalu berada di teras rumah bersama laptop. Ketika itulah saya berkesimpulan, bahwa beliau orang yang rajin dan serius. Namun anggapan saya bahwa dia sudah lanjut usia teryata tidak benar. Bahkan, 3-4 tahun lebih muda dari saya.
Latihan Bersabar
Suatu ketika seorang mahasiswa menjumpai naskah lama ( manuskrip) pada saat pembongkaran rumah tua di kampung Tijue, Sigli, Pidie. Semula manuskrip itu dibawa kepada seorang dosen IAIN Ar-Raniry. Tapi beliau menyuruh mahasiswa membawanya lagi kepada saya. Setelah saya periksa, dalam buku tebal itu terdapat beberapa judul karangan. Saya tertarik kepada dua judul manuskrip dalam buku itu. Pertama, karya Syekh Abdurrauf tentang zikir dan tarekat, yang pada tahun 1976 sudah pernah saya transliterasi ke huruf Latin.
Kedua, naskah yang berjudul Qawa’idul Islam, yang oleh orang Aceh dinamakan “Kitab Bakeumeunan”, karena di dalamnya banyak dijumpai kata “bakeumeunan” (biarkan dulu). Ada hal menarik dalam kitab Qawa’idul Islam. Ia tertulis dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Arab, Melayu, dan bahasa Aceh dalam jenis prosa.
Prof. Ali Hasjmy berpendapat, bahwa hampir semua bahasa Aceh tempo dulu tertulis dalam bentuk syair atau sanjak dan nyaris tidak ada dalam bentuk prosa. Ternyata dalam Qawa’idul Islam saya jumpai bahasa Aceh dalam bentuk prosa.
Keunikan itulah yang mendorong saya berguru kepada Pak Kalam. Hal ini disebabkan keterbatasan saya dalam memahami bahasa Arab. Kebetulan di kala itu Pak Kalam sedang disibukkan menulis tesis dengan judul “Sunnatullah dalam Pemikiran Kalam” di Pascasarjana UIN Ar-Raniry. Setiap saya mampir ke rumahnya, selalu saya jumpai beliau sedang sibuk. Walaupun demikian, saya tetap berkunjung ketika ada waktu luang.
Di kala itu belum ada alat komunikasi yang canggih seperti sekarang semisal telepon seluler. Oleh karena itu setiap ke rumah Pak Kalam, saya selalu menyewa RBT/Ojeg. Setelah satu tahun lebih saya menunggu, barulah Pak Kalam dapat menyelesaikan tesis pada tahun 2006 dan mulai ada kesempatan membantu saya.
Seandainya saya tidak bersabar dalam menunggu satu tahun lebih itu, tentu putuslah “jaringan” saya dengan Drs. Mohd. Kalam Daud, M.Ag.
Hobi Membaca
Setahu saya, otobiografi pertama dalam bentuk syair bahasa Aceh ditulis oleh Pak Kalam. Judulnya “Meudiyeueng Meulinteueng Meuampeueng Hudep”(Lintasan Hidup). Otobiografi ini menjadi saksi bisu bahwa dia benar-benar punya hobi membaca. Karena suka membaca, hampir setiap hari dia pergi ke berbagai perpustakaan di Banda Aceh. Tapi di antara pustaka yang sering dikunjungi adalah pustaka milik IAIN Ar-Raniry (sekarang UIN Ar-Raniry).
Akibat seringnya mendatangi pustaka, dia menjadi akrab dengan semua pegawai pustaka, baik laki-laki maupun perempuan. Lama kelamaan hatinya tertambat kepada seorang putri petugas pustaka yang bernama Dra.Mardhiati T.Djakfar. Persahabatan itu membawa mereka ke kursi pelaminan. Hasil perkawinannya dikaruniai tiga orang putra-putri.
Anak pertama laki-laki bernama Junian Hijry Minarva (Juni), lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Syiah Kuala (USK). Anak kedua bernama Ulfi Julia Miltiza (Ulfi), alumnus Fakultas Tarbiyah UIN Ar-Raniry, yang sekarang melanjutkan pascasarjana di Universitas Syiah Kuala (USK). Putra ketiga Junivan Fajry Azkya (Ipan), sedang menempuh pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas Terpadu di Aceh Besar.
Lantaran mempunyai hobi yang sama, yaitu suka membaca maka kami saling meminjamkan buku. Banyak buku saya pinjamkan kepada beliau, terutama yang berkaitan dengan sejarah dan budaya. Buku terakhir yang saya pinjamkan adalah biografi Tgk Haji Hasan Krueng Kale. Akibat lupa, suatu sore saya menelepon Pak Kalam menanyakan apakah buku itu masih dipinjamnya. Ketika saya bertanya “apakah sudah dibaca?”. Beliau dengan lancar menjawab menguraikan isi buku tersebut. Ini pertanda daya ingat beliau cukup kuat. Sampai saat ini buku biografi Tgk Haji Hasan Krueng Kale masih berada di rumah beliau. Dalam pinjam-meminjam buku, lebih sering saya antarkan buku langsung ke rumahnya dengan RBT.
Kesenangan Pak Kalam
Pak Kalam termasuk salah seorang penjelajah situs sejarah Aceh. Saya pernah diajak beliau ke makam Sultan Mahmud Syah di Samahani, Aceh Besar. Sultan ini merupakan raja Aceh yang langsung menghadapi agresi Belanda pada tahun 1289 H/1873 M. Sultan Mahmud Syah meninggal tahun 1874 dalam pengungsian terkena penyakit kolera.
Menyaksikan kondusi kuburnya, termasuk baik. Tapi terlalu dekat dengan bengkel dan tempat cucian mobil-honda. Padahal beliau sultan Aceh yang hebat, berani melawan intervensi asing dan menolak menyerah kepada Belanda.
Banyak makam leluhur Aceh yang diziarahi Pak Kalam. Di antara kunjungan yang pernah dikabarkan kepada saya adalah ziarah ke makam Laksamana Keumala Hayati di Krueng Raya, Aceh Besar, makam Teungku Chiek Di Tiro di Mureue, Indrapuri, Aceh Besar dan makam Teuku Umar di Meugo pedalaman Aceh Barat. Ketiga pahlawan Aceh itu adalah Pahlawan Nasional Republik Indonesia.
Setiap libur kuliah, Pak Kalam sering ambil kesempatan ziarah ke situs sejarah Aceh. Beliau berkunjung bersama keluarga. Begitu pula bila mudik ke kampung, baik ke Blang Pidie tempat isteri atau ke Cot Paleue Mesjid, Pidie kampung asal beliau. Dalam perjalanan pulang itu, Pak Kalam tidak langsung fokus menuju tujuan, melainkan singgah dulu ke situs-situs sejarah sepanjang perjalanan yang belum diziarahinya.
Walau pun demikian, ada pula makam yang belum sempat dikunjungi, yakni kubur kakek buyut beliau (endatu)sendiri, yakni makam Teungku Muhammad Kalam. Nama Mohd. Kalam diambil bersempena nama Teungku Muhammad Kalam ini.
Beberapa kali “keresahan” ini pernah disampaikan kepada saya, bahwa ia belum sempat ziarah ke kubur nenek moyangnya Teungku Muhammad Kalam yang berada di gampong Lingkok dekat Kotabakti (Lam Meulo), kecamatan Sakti, Pidie.
Seorang teman saya Pak Saleh, pensiunan Guru SMA Kotabakti yang pernah saya telepon baru-baru ini, menyatakan belum pernah mendengar nama almarhum Teungku Muhammad Kalam. Padahal teman saya ini berasal dari gampong Lingkok, Kotabakti. Biar pun demikian,”akan saya selidiki lagi”, janjinya kepada saya.
Seorang sahabat saya lainnya, Pak Jafar Siddiq, pensiunan dosen Politeknik, Lhokseumawe yang saya hubungi, juga tak pernah mendengar nama ulama itu di Lingkok. Padahal beliau berketurunan ulama kampung itu, seperti Tgk Husen yang semasa saya kecil punya Dayah Seumeubeuet (Balai pengajian) di Lingkok.
Kegiatan lain yang diminati Pak Kalam menanam tanaman obat herbal. Di halaman rumahnya penuh sarat tanaman “Apotik Hidup”. Sampai-sampai beberapa tahun lalu terpilih sebagai Juara Tiga pada Lomba Tanaman Obat Sekota Banda Aceh. Kalau beliau pergi ke suatu tempat, waktu pulang selalu ada oleh-oleh tanaman herbal. Saya pernah melihat beberapa tanaman yang dibawa pulang dari Sibolga (Sumut) dan Bireuen.
Bagi orang yang kurang “bersenyawa” dengan tanaman herbal tentu hobi Pak Kalam ini amat merepotkan. Betapa tidak, sebagian tanaman obat yang dibawa pulang itu masih kecil-kecil bahkan berupa bijinya. Hal ini tentu membutuhkan masa pemeliharaan yang lama, seperti menyiram, merawat dan menghalau kambing yang merapat.
Tapi semua beban ini dilaksanakan Pak Kalam dengan senang hati. Sebuah sumur kecil berada di muka rumah, saya rasa inilah sumber air buat menyuburkan tanaman. Saya biasa datang ke rumah Pak Kalam sekitar jam 10 pagi atau bakda ashar sore hari. Sejauh ini saya belum pernah menyaksikan Pak Kalam sedang menyiram tanaman kesayangannya. Hanya saja, saya jarang berlama-lama singgah di teras Pak Kalam. Bahkan sering pula hanya sebatas di pinto rot (pintu pagar), selesai berurusan; lantas saya pulang dengan RBT.
Luas halaman Pak Kalam sekitar 10 x 10 meter. Kiri-kanan jalur menuju rumah, penuh sesak dengan beragam jenis tanaman. Sebagian sudah tinggi menjulang sejajar bubung rumah, ada yang tiga meter, dua meter, setinggi badan, pinggang dan lutut saya…. dan ada setinggi satu centi ditaruh berjajar dalam polibeg
Sangking gemarnya keluarga ini pada tanaman obat herbal, sampai Ulfi putrinya memilih topik skripsi mengenai tanaman obat herbal. Bagi mencukupi sampel tanaman itu, Pak Kalam bersama keluarga pergi ke Kecamatan Panga, Aceh Jaya.
Beberapa gampong (kampung) di kecamatan itu telah didatangi guna mengumpulkan data tanaman obat herbal, yaitu Glee Putoh, Batee Meutudong, Gunong Buloh, Tuwi Kareueng Panga, Tuwi Kayee, Kuta Tuha dan Gampong Gunong Meulinteueng. Di sana ada kebun tanaman obat di halaman beberapa orang tua yang mempraktekkan semua bahan obat itu.
Hal ini diceritakan Pak Kalam saat bersilaturrahmi sekeluarga ke tempat saya untuk tujuan yang sama.
Memang di Bale Tambeh tempat kediaman saya, selain tanaman bunga yang “membahana”, juga ada beberapa tanaman herbal seperti on peugaga (pegagan), rheue (serai), on murong (daun kelor), bak limeng ( belimbing buluh), bak limeng sagoe(belimbing buah bersegi) bak rambot (rambutan), on ranub (daun sirih), on seuke (daun pandan), on geurundong (daun kedong-dong), onte Cepang(daun teh Jepang), on drang linggang (daun berlenggang), bak reudeuep ( batang dadap), on geulima Makkah (daun delima Mekah), bak geulima breueh (batang delima beras), on siyueng-yueng ( daun anggrek) dan naleueng (rumput).
Beragam bunga di halaman saya juga bisa jadi obat, kata orang. Misalnya, bungong jarom (bunga asoka) yang paling banyak di halaman saya bisa sebagai obat sakit vertigo (kepala bergoyang/berasik).
Kesenangan lain Pak Kalam, yang jarang digemari lelaki lain adalah menyapu halaman. Setiap pagi cukup banyak sampah berseleweran di halaman dan jalan depan rumah Pak Kalam. Sampah ini berupa dedaunan yang gugur dari berbagai pohon. Di samping jalan tumbuh dua batang pohon besar, yaitu kedondong besar (bak geurundong raya) dan satu lagi tak diketahui namanya.
Daunnya cukup lebat dan berguguran sepanjang malam. Selesai shalat subuh (baik di Mushalla Al- Muhajirin atau di rumah), Pak Kalam segera bergegas menyapu semua sampah itu. Sering saya telepon di kala pagi, Pak Kalam tak mengangkat. Ketika isteri beliau membawa HP ke halaman, barulah ketahuan yang Pak Kalam barusan selesai menyapu sampah dedaunan atau barusan menebas semak-semak kecil di samping rumah.
Ketekunan lain keluarga ini berupa meracik obat tradisional. Banyak jenis ramuan obat baik rebusan maupun gilingan yang dikonsumsi Pak Kalam dan Bu Mardhiati di waktu pagi sepanjang tahun. Di antara bahan obat yang pernah saya dengar, yaitu rebusan on murong (daun kelor), rebusan on ranub (daun sirih), rheue (serai), on tungkat Ali (daun tungkat Ali), on siratal mustakim (daun samiroto), yang dua terakhir paling terkenal amat pahitnya… dan lain-lain. Biasanya beberapa jenis daun obat serentak direbus dalam kuali-periuk tanah.
Warisan Pak Kalam
A. Beragam Warisan
Warisan Pak Kalam bukanlah berupa harta-benda, tapi berjenis ilmu yang diberikan kepada masyarakat, baik anak-anak, mahasiswa dan orang dewasa.
Mengajar atau mengasuh pelajaran termasuk warisan utama Pak Kalam. Beliau belum merasa puas dengan memberi kuliah di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, yang sebenarnya sudah cukup berat.
Buktinya, pada sore hari ia mengajar di Taman Pengajian Alquran (TPA) pada Mushalla Al-Muhajirin dekat Pasar Lamnyong. Pada kondisi tertentu, pengajian itu kadang berlangsung di rumahnya pada malam hari. Tugas mulia itu telah digelutinya selama bertahun-tahun.
Di Mushalla Al-Muhajirin, selain ada pengajian anak-anak setiap sore, juga berlangsung pengajian orang dewasa pada malam tertentu. Sejak beberapa waktu lalu terdapat pengajian selesai shalat subuh yang diikuti banyak orang. Saya dengar, entah pada pagi Sabtu, selesai mengaji disuguhi minum dan makan pagi.
Menjadi Narasumber
Drs. Mohd. Kalam Daud, M.Ag., pernah berkali-kali menjadi narasumber dalam bidang kepakarannya, antara lain, yaitu: 1) Pelatihan Takhrij Hadits yang berlangsung beberapa kali. 2) Pelatihan Penulisan Arab Melayu yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kantor Gubernur NAD.
3) Pelatihan Ilmu Falak yang diadakan oleh Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry. 4) Dialog Interaktif di RRI Banda Aceh setiap Jum’at sore sebagaimana yang dijadwalkan oleh Majelis Imam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) beberapa tahun lalu.
Selain menebar ilmu, Pak Kalam juga meninggalkan warisan berupa karya tulis. Topik tulisannya cukup banyak. Hanya karena karakter beliau yang zuhud hingga tidak “mempromosikan diri”, maka terkesan beliau tak memiliki karya apa-apa.
Kemampuan olah pikir Pak Kalam banyak ragamnya. Beliau cakap menulis puisi dalam bahasa Indonesia, menulis syae Aceh,menulis karya ilmiah, pintar Ilmu Falak, piawai mentransliterasi huruf Arab Jawoe/Arab Melayu, baik bahasa Melayu maupun bahasa Aceh ke aksara Latin, mampu menterjemahkan buku-kitab berbahasa Arab ke bahasa Indonesia, dapat memberi ceramah, menulis sejumlah buku dan lain-lain.
Puisi ciptaan Pak Kalam biasanya saya jumpai pada bagian permulaan sebuah buku. Salah satu contoh puisinya adalah pada awal buku “Al-Tibyan fi Ma’rifah Al-Adyan” berupa salinan kembali dan alih aksara kitab karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry, diterbitkan oleh Yayasan PeNA, Banda Aceh, 1432 /2011. Puisinya sebagai berikut:
MENGENANG SYAIKH NURUDDIN AR-RANIRY
Ia datang,
tidak ada situs umur dan kelahiran,
tidak mengumbarkan siapa bangsa
dan keturunan,
tidak dielu-elukan karena harta
dan jabatan
Ia bagaikan musim datang sesa’at,
memekarkan kuncup makrifat
menebarkan aroma filsafat
kepada arif dititip pesan,
tentang ittihad dan syatahat
jangan sampai mulhid dan sesat
Jika di sini, fatwanya pernah membahana
halal darah, sulutkan api
atau di hari ini dalam tudung sajinya berisi fatalis,
namun ia tidak bisa divonis,
mungkinkah ia munafik kepada pewaris?
sebagai wali sunni yang sah,
ia tidak akan berkiat lain, persis!
Kemudian ia pulang
di sini, ia hanya tinggal nama,
dengan sekian jejak goresan pena,
di sini ia tidak punya pusara
tak merasa perlu dibalas dan dipuja,
kini ia disambut oleh ahlullah,
dimana muhdis dan muhdas,
tidak lagi menjadi sengketa.
Banda Aceh, 06 Maret 2010
Mohd. Kalam Daud
Sebagai alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry tahun 2016, saya punya “mimpi” agar puisi ini dipahat di sebuah prasasti pada suatu hari nanti. Letak monumen tentunya di lokasi paling strategis di Kampus UIN Ar-Raniry. Mimpi saya ini bakal tetap sebagai cet langet (melukis di langit), sekiranya pihak pimpinan UIN Ar-Raniry sendiri enggan mengamininya. Semoga terkabul hendaknya…..!.