Oleh: TA. Sakti
Syae Aceh karya Pak Kalam dapat kita simak dalam autobiografi yang tersebut pada sub-judul hobi membaca. Karya ilmiah beliau banyak dijumpai dalam Jurnal Al-Imam, sementara mengenai keahlian alih aksara akan saya ulas lebih mendetil nanti.
Saya pernah melihat Pak Kalam sedang menerjemahkan kitab Fiqah bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Setelah mendengar penjelasan beliau, menurut saya kitab Fiqh ini berisi hal-hal yang ganjil, yang jarang diceramahkan oleh para muballigh kita.
Dalam hal berceramah, Pak Kalam bukanlah seorang singa podium. Tapi ia telah memberi kuliah seperempat abad lebih kepada para mahasiswa, baik di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry maupun di kampus-kampus lain. Lalu, di Mushalla Al-Muhajirin Pak Kalam telah berceramah bertahun-tahun seusai shalat maghrib dan subuh.
Jangan kita lupakan pula ceramah dan diskusi bersama beliau di Bale Tambeh di halaman rumah saya yang sejuk dihiasi warna-warni bunga. Walau pun hanya berlangsung dua kali, tapi sungguh beureukat (berkah). Salah satu ‘diskusi’ kami diterima sebagai contoh pembicaraan dalam bahasa Aceh oleh”WIKITONGUES”, sebuah jejaring bahasa-bahasa di dunia yang berpangkalan di Amerika Serikat.
Orang yang mengusulkan ke lembaga itu dr. Nabil Berry, tapi sayang sedikit lupa diedit lebih dahulu. Dalam rekaman itu, bunyi geureuob (sendawa) saya cukup membahana…heh….heh….heh!.
Dalam menyelamatkan naskah lama Pak Kalam punya jalur yang berbeda dengan saya. Semua hasil transliterasi saya hanya bertujuan melestarikan bacaan dari manuskrip. Saya hanya menukar huruf asli manuskrip yang berhuruf Arab Melayu(Jawi/Jawoe) yang jarang mampu dibaca generasi muda ke huruf Latin yang populer. Begitulah yang saya lakukan sejak 1992 sampai sekarang dengan hasil alih aksara sebanyak 40 judul atau lebih kurang delapan ribu halaman. Sayangnya, hanya sedikit yang sudah diterbitkan.
Kegiatan serupa yang diperbuat Pak Kalam bukan sekadar melanggengkan isi bacaan naskah, tapi sekaligus melestarikan huruf asli kitab dan transliterasi ke aksara Latin serta ditambah dengan cukup banyak catatan kaki. Berarti pekerjaan Pak Kalam dalam hal ini kon cilet-cilet (bukan sekadar ada), tapi cukup berat dan sangat melelahkan.
Misalnya, dalam menyalin ulang dan alih aksara kitab “ Al Tibyan Fi Ma’rifah Al-Adyan” yang telah saya singgung di atas, Pak Kalam sudah melaksanakan sejumlah hal. Pertama, ia menyalin kitab itu dalam huruf aslinya huruf Jawi (harah Jawoe) setebal 112 setengah halaman. Kemudian menyalin lagi ke huruf Latin sebanyak 112 setengah halaman pula. Pada saat digabung kedua macam huruf ini, maka dalam satu halaman terangkai dua jenis aksara secara sejajar perbaris dengan rapi.
Pada bagian alih aksara ke huruf Latin juga ditambahkan dengan literature sebanyak 49 bahan bacaan, baik kitab, buku, majalah dan koran. Betapa lelahnya saat mencari bahan bacaan itu ke sejumlah pustaka dan bukan ringan pula ketika memilih-memilah secuil bahan yang diperlukan dari setiap buku/bahan bacaan itu.
Tak cukup sampai di situ, pada bagian awal buku berjejer topik yang dikerjakan, berupa kata pengantar, latar belakang, tujuan, metode, pedoman penulisan Arab Melayu, daftar isi buku, dan lain-lain sampai berjumlah 49 halaman. Belum juga memadai, sebab di bagian akhir buku banyak pula tambahan lain seperti daftar pustaka dan lampiran.
Pada lampiran ini termasuk sumber rujukan yang dipakai Syaikh Nuruddin Ar Raniry dalam menulis Al Tibyan, daftar bacaan Pak Kalam, daftar nama ‘alim-ulama dalam kitab Al Tibyan, indeks, biodata Syaikh Nuruddin Ar-Raniri dan biodata Pak Kalam yang semuanya berjumlah 41 halaman.
Begitulah besarnya tenaga dan pikiran Pak Kalam terkuras untuk “mengolah ulang” kitab Tibyan Fi Ma’rifah Al-Adyan agar mudah dipahami/mau dibaca oleh generasi muda. Dikerjakan sendiri tak ada yang sudi membantu, karena kegiatan itu bukan tugas proyek yang menghasilkan “piyek” …
Kerja yang tidak cilet-cilet (sekadar ada-kurang serius) juga diwujudkan Pak Kalam terhadap tiga manuskrip yang kami gempur berdua. Naskah lama itu adalah: 1) Qawa’idul Islam (kitab Bakeumeunan), 2) Qanun Meukuta Alam dan 3) Kitaburrahmah.
Qawa’idul Islam membahs Ilmu Tauhid dalam tiga bahasa, yakni Arab, Melayu dan bahasa Aceh dalam jenis prosa. Qanun Meukuta Alam, menjelaskan Undang-undang Kerajaaan Aceh Darussalam yang berlaku tempo dulu di Aceh. Sementara Kitaburrahmah, yang judul lengkapnya Kitaburrahmah fitthib wal Hikmah, berisi soal penyakit serta obat penyembuhannya, karya Syekh Abbas Kuta Karang, yang selesai ditulis tahun 1270 H.
Kegiatan saya dalam melestarikan naskah lama Aceh tidak bertujuan muluk-muluk. Manuskrip yang berhuruf Jawi atau Arab Melayu, sekadar sudah dilatinkan saya anggap memadai. Biarlah nanti –jika bernasib baik – apa yang telah saya kerjakan ditangani ulang oleh orang lain atau generasi mendatang. Karena itu, saya selalu tidak mengubah “sejarah” dari suatu manuskrip, baik berupa model huruf, catatan jenis kertas yang dipakai dan sebagainya. Pokoknya, harus “menyejarah”.
Beda halnya apa yang dipraktikan Pak Kalam. Beliau tidak mau “main” setengah-setengah”, tapi harus tuntas.”Meunyo manoe, manoe beubasah” (kalau mandi, mandi sampai basah). Akibatnya, tentu padah, lelah, dan resah.
Dalam meletarikan naskah “Qanun Meukuta Alam”, Pak Kalam mengalami cobaan yang cukup berat. Mulai saat itu saya sering mendengar ‘kisah sakit mata’ dari Pak Kalam. Mata memerah, perih, tak bisa membaca lama-lama, terasa ada benda halus dalam mata. Begitulah cipratan keluhan Pak Kalam, hingga kurang mampu lagi berkarya secara maksimal.
Kadang-kadang lewat tengah malam dibenamkan muka ke air dalam mangkong besar. Maka keluarlah benda-benda kecil semacam pasir-kerikil. Beragam obat pun selalu diteteskan pada kedua belah mata sepanjang tahun.
Walau pun beban derita begitu berat menerjang beliau, tapi masih hadir manusia yang bagaikan tak punya hati, yakni melenggang-nari di atas penderitaan orang lain. Sampai hari ini, buku Kanun Meukuta Alam terus digandakan orang tanpa izin dan sepengetahuan Pak Kalam. Iklan penjualan buku langka itu semarak di sejumlah Youtube.
Walaupun sudah demikian, Pak Kalam masih bertekus-lumus/amat sungguh dalam momoderenkan Kitaburrahmah. Agar naskah ini mudah dipahami para pembacanya, Pak Kalam dengan tegar membolak-balik Kamus Kesehatan, baik kamus bahasa Indonesia maupun bahasa Arab, kamus Munjid, misalnya.
Dalam Kitaburrahmah, banyak istilah dan bahasa yang kurang dikenal masyarakat, akibat manuskrip itu telah disadur Syekh Abbas Kuta Karang lebih 170 tahun lalu. Dalam hal ini Pak Kalam-lah yang memperjelaskan dengan memakai berbagai kamus di pustaka.
Misalnya, salah satu bahan buat penyakit gusi berdarah adalah buah tarfak. Pak Kalam mencari keterangannya dalam kamus yang disertai gambar pohon tarfak. Ternyata buah tarfak adalah buah rumbia. Saya bersama teman pernah mempratekkannya, ternyata mujarab. Lalu kami buat video mengenai obat gusi berdarah ini.
Ilmu Falak dan nyaris palak
Keahlian utama Pak Kalam adalah dalam ilmu Falak (astronomi), suatu ilmu yang jarang ditekuni orang. Akibat kurang paham, saya tidak mengintai jejak Pak Kalam dalam bidang ini. Hanya sebuah karya Ilmu Falak yang saya tahu telah tercetak. Judulnya; “ILMU HISAB DAN RUKYAT” dengan editor Mursyid Djawas, penerbit Sahifah. Walau pun tidak saya ketahui lebih mendetil, saya punya kisah sendiri terkait Ilmu Falak dan Pak Kalam.
Suatu ketika saya nyaris “ palak” (hampir marah), karena setiap saya datang ke rumah, beliau selalu sibuk sedang menyusun buku Ilmu Falak (ilmu Falaq). Berkali-kali saya mampir terus demikian. Alhamdulillah, saya masih mampu bersabar. Saat itu, saya berharap Pak Kalam segera berfokus menyalin ke huruf Arab (di Arab Melayu-kan) kembali kitab Tazkirah Thabaqat yang sudah lama saya bawa kepada beliau.
Tazkirat Thabaqat membahas Undang-undang Kerajaan Aceh Darussalam. Kitab itu sudah saya transliterasi ke huruf Latin tahun 2002. Setelah kerja menyusun buku Ilmu Falak selesai dan satu kitab lainnya, barulah Pak Kalam memulai mengetik huruf Jawi/Jawoe Tazkirah Thabaqat. Sekitar setengah bulan sebelum masuk Rumah Sakit “Darussalam” dan RSZA, Pak Kalam memberitahukan saya, bahwa kerja transliterasi ke huruf Arab Jawi kitab Tazkirat Thabaqat sudah rampung. Sekarang, berarti ketikan manuskrip itu berada dalam laptop beliau.
Beberapa hal unik:
1) Atas izin Allah Swt Pak Kalam telah berkesempatan melakukan penyalinan serta alih aksara lima kitab tasauf teramat langka karya Syekh Muhammad bin Khatib Langien, Lueng Putu, Pidie Jaya. Semula dalam kegiatan itu saya sendiri ikut terlibat, tapi setelah bergiat dua-tiga hari saya pun mengalami sakit yang agak lama sembuh.
Selain karangan Syekh Muhammad bin Khatib Langien, Pak Kalam juga sudah melakukan hal serupa terhadap dua risalah Sayid Abdul Rahim bin Abdul Kadir alias Habib Seunagan.
Karena setiap kitab tidaklah banyak halamannya, maka ketujuh kitab itu dijilid menjadi sebuah buku yang normal ukurannya.
2) Drs. Mohd. Kalam Daud, M.Ag., punya rencana untuk mengumpulkan berbagai hal unik dari sejarah Aceh, yang kemudian akan dijilid dalam sebuah buku. Dalam buku berjudul “ACEH” karya H.C. Zentgraaff (terjemahan), banyak keunikan sejarah Aceh yang ditulis wartawan Belanda itu.
Dalam mewujudkan tujuan ini, Pak Kalam telah meminjam buku saya karangan Zentgraaff dalam waktu lama. Saya tak diberitahukan sudah berapa buku yang sudah dikutipnya. Ternyata niat baik ini tak sampai terlaksana, karena beliau telah dipanggil pulang oleh Allah Swt.
3) Saya dengan Pak Kalam sudah berteman-sahabat lebih 20 tahun. Anehnya, kebersamaan kami berdua belum pernah terabadikan dalam selembar foto pun.
Dalam perjalanan kali kedua untuk menjenguk beliau di Rumah Sakit Pendidikan Darussalam, hal itu sempat saya lontarkan kepada Bang Bus yang mengantar saya ke sana. Saya pun sudah berniat mau foto bareng Pak Kalam sore itu.
Sesampai di Rumah Sakit, sang petugas memberitahukan kami, bahwa beliau sudah pulang pada sore kemarin. Ketika saya telepon, ternyata keluarganya sedang memproses masuk UGD Rumah Sakit Zainal Abidin, Lampriek, Banda Aceh.
4) Kami meredam perbedaan
Alhamdulillah, persahabatan saya dengan Pak Kalam berlangsung mulus tanpa riak-bergolak. Kenyataan ini bukan berarti kami tak memilki perbedaan sama sekali. Dalam beberapa hal tertentu kami punya ketidaksamaan, tapi semua sumber konflik itu telah kami redam ke “dasar laut kebusukan”, demi tujuan mulia untuk menyelamatkan peradaban Aceh yang tengah digerus zaman.
Sebagai contoh: dua sumber konflik yang tidak kami “kompori” adalah:
a) Pak Kalam adalah pakar dalam pembetulan arah kiblat. Karena ahli Ilmu Falak, beliau sering diundang ke berbagai masjid di Banda Aceh untuk tujuan itu.
Saya pun pernah diajak beliau ke beberapa masjid di Banda Aceh untuk membetulkan arah kiblat.
Dalam suatu perbincangan singkat, beliau pernah menyebutkan bahwa bila arah kiblat tidak dibetulkan berarti kita shalat menghadap ke beberapa negara (Pak Kalam menyebut negara-negara itu) di benua Afrika.
Mendengar pernyataan itu, saya pun tetap “mendinginkan hati dan kepala”.
Saya sendiri bukanlah penyokong gerakan pembetulan arah kiblat. Menurut saya, arah kiblat sudah benar ke arah barat, tanpa perlu menggunakan alat kompas penunjuk arah mata angin.
Sejak sekolah di SD sudah saya maklumi, bahwa aliran pelurusan arah kiblat telah dikampanyekan oleh seorang tokoh asal Yogyakarta tempo dulu ( 1912). Cuma kebanyakan orang sekarang sudah melupakan sejarah sang tokoh dan menganggap ajakan sekarang sebagai ide baru yang tidak berkaitan dengan anjuran tokoh medernis di Yogyakarta itu. Atawa, lantaran pengikut aliran itu sudah ‘membahana’ di Aceh (?).
b) Drs. Mohd. Kalam Daud, M.Ag., pernah menyalin dan transliterasi serta menterjemahkan ke bahasa Indonesia; sebuah manuskrip bernuansa sufi. Lalu diterbitkan oleh sebuah yayasan dengan judul “Munajat Perempuan Sufi Aceh POCUT di BEUTONG”.
Menyimak judul buku, berarti Pak Kalam yakin, bahwa kitab sufi ini karya Pocut di Beutong. Sementara saya tidak setuju dengan pendapat demikian. Hanya saja, saya tetap berdiam diri demi menjaga kekalnya persahabatan. Saya menganggap kesalahan Pak Kalam itu, sekedar kesilapan, kealpaan yang manusiawi.
Bagi saya, yang terpenting karya besar “ulama useueng-jameun keureu’eun”(ulama hebat tempo dulu) itu, sudah dapat dibaca dan dipelajari kembali oleh orang Aceh masa sekarang. Kalau tak ada Pak Kalam yang sudi menggali ngon “ie babah puteh”(air liur putih: tanpa dibayar), maka akan musnahlah warisan peradaban Aceh itu.
Sekadar menjelaskan, mengapa saya menyebut pengarang kitab itu bukan Pocut di Beutong; dapat disimak pada penutup kitab tersebut. Kita dapat mengutip pernyataan pengarangnya, yaitu: “Nyang seumurat, (Allah hu) dagang hina (artinya: Yang menulis (Allah hu) “perantau” yang hina.
Lalu sang penulis melanjutkan, yaitu:”Nyang po surat, (Allah hu) Pocut Beutong (artinya: Pemilik kitab (Allah hu) Pocut Beutong).
Kesimpulannya, kitab itu ditulis oleh dagang hina (perantau hina), yang enggan menyebut nama dirinya. Sementara pemilik naskah adalah Pocut di Beutong.
Pihak pengarang kitab-lah yang memuji Pocut di Beutong sebagai payung tempat bernaung dari kepanasan, bagaikan mata air di atas gunung, seperti Krueng Baro (sungai yang berguna bagi petani sawah di Pidie), umpama awan yang menaungi dunia.
Pocut di Beutong sebagai seorang sufi, tentu amat ganjil bila sampai memuji diri sendiri.
Berikut sedikit cuplikan bagian penutup buku “Munajat Perempuan Sufi Aceh POCUT di BEUTONG”:
“Uroe Ahad, (Allah hu)
lon peutamat
Nyang seumurat, (Allah hu) dagang hina
Nyang po surat, ( Allla hu)
Pocut Beutong
Tamse payong, (Allah hu)
Di blang raya
Sang mata Ie, (Allah hu)
di cong gunong
Tamse payong, (Allah hu)
ka geuyue ba
Tamse Krueng Baro, (Allah hu)
suci badan
Tamse awaan, (Allah hu)
reului donya
tammat
5) Komunikasi:”Kitaburrahmah”
Lebih sepuluh tahun fotocopy “ Kitaburrahmah fit thib wal hikmah” saya simpan dalam lemari buku. Hampir setiap halaman telah saya goreskan warna, baik hijau, merah, kuning, dan coklat menurut warna stabilo. Rencana menyalin ke huruf Latin sering mengusik saya, tapi terus saya tunda.
Banyak faktor yang menghadang saya bertindak nyata. Salah satunya karena manuskrip ini amat tebal yang akan banyak menguras waktu dan tenaga. Teungku Chiek Kuta Karang telah menghabiskan waktu empat tahun ketika menyadur kitab ini dari bahasa Arab ke bahasa Melayu (1266 – 1270 H).
Pada suatu ketika saya berjumpa dengan Pak Kalam. Satu hal yang sempat saya singgung adalah ketidakberdayaan saya menyalin Kitaburrahmah ke aksara Latin.
Mendengar “cuitan” saya itu beliau berucap: Neuba bak lon ngat tapeugot dua-duateuh ( silakan bawa kepada saya agar kita kerjakan bersama-sama).
Sesuai kesepakatan, kami pun bergiat menyalin pilihan masing-masing. Saya mengalihkan naskah yang berhuruf Jawi-Jawoe itu ke aksara Latin. Sementara Pak Kalam menyalin langsung kitab itu seperti huruf aslinya.
Berkat kerjasama yang kompak dalam masa tiga bulan pekerjaan pokok dari tugas menyalin dan alih aksara manuskrip itu boleh disebut sudah rampung. Bagaimana serius dan giatnya kami dalam upaya menyelamatkan “warisan Syekh Abbas Kuta Karang” itu, secara sepintas cukup tergambarkan dari SMS kami berdua sebagai berikut:
( Sabatas inilah yang saya alih aksarakan sampai pagi Sabtu, 1 Oktober 2011 sebelum berangkat mengajar ke kampus pukul 10.00 Wib.)
Pada Rabu malam/malam Kamis, 28 September 2011 di saat menyudahi salinan malam itu dengan ‘lelah rasa dan jemu yang berat”, saya pun menulis sms kepada Pak Kalam dengan bunyi:”Alhmdllh kalh bab 4. Sang ka gleuen that bak lon salen bab 5”.
Pada tgl. 30- 9 – 2011 Pak Kalam membalas sms saya begini:”Toh nyang han ekle, akan lon lanjut le lon, lon pih ka rab lheueh. Sekitar 17 menit kemudian Pak Kalam sms lagi:”Lon peumeulayu rab abeh bab 5”.
Memang kami saling sms selama bergiat menyalin Kitaburrahmah. Hal ini bermanfaat sebagai pendorong semangat, sekaligus bisa meringankan rasa jemu-jenuh, bahkan stres – terutama bagi saya yang sudah ‘trauma’ dengan kegiatan salin-menyalin manuskrip Aceh ini!!!.
Di antara sms kedua kami yang masih tersimpan di HP saya adalah sbb:
Dari Pak Kalam ialah:
1) “Sudah masuk bab empat blum diberi titik tiga tak termasuk latin” ( 13 -09 – 2011).
2)“Rab abeh limong bab arab asli, jawoe gohlom”( 18 – 09 – 2011).
3)“Alhamdulillah ka abeh teukeutik arab asli, akan lon mulai sigo treb treuk arab jawoe (24-09-2011).
Sementara sms dari saya adalah:
1)”Asw. Alhmdllh, ka lhh saboh bab potong tls bhs Arab”( 13 -09- 2011).
2) “Hati2 bab 4 na 2 tmpt.na bak hlm 73 dn 40/80 hlm sblmnya”( 13 -09- 2011/mlm).
3)”Asw. Alhmdllh ka lhh bab 2, ka maju keu bab 3. Tp ‘ohlhh 4 on ka kaco, ka bab 4 laju!.Payah pike2 dilee…”( 20 -09 – 2011).
4)” oo… neu tlg mita siat lam kamus arab, arti pohon kayu tharfak/tharfan keu bhn ubat gigi runtuh-ngalir darah dan bhn ubt besar limpa atau pnyakit kura!”(28 -09- 2011).
Dan….5) seperti tersebut di atas!.
6)” Get, Insya Allah singoh rab poh 12 lon ba bak droeneuh”(30 -09- 2011).
Maka besok Sabtu, 1 Oktober 2011 sepulang dari Kampus saya antarlah – numpang RBT Muhajir – naskah Kitaburrahmah-pegangan saya – kepada Bapak Drs. Mohd. Kalam Daud, M. Ag.
Suatu sore sekitar dua bulan lebih yang lalu, Pak Kalam menelepon saya begini: “ Hai, neuci eukeuh bak Youtube, buku geutanyoe ka diiklan dipubloele gob(Hai, tolong lihat Youtube, buku kita sudah diiklankan orang lain untuk dijual….).
Memang saya sudah tahu, buku “Kitaburrahmah” juga diperjual-belikan orang lain; dengan tanpa malu “menghisab darah dan keringat orang”……!!!.
A. Warisan Tulisan
Sebagai seorang sahabat dekat, saya mengetahui karya tulis Pak Kalam lumayan banyak. Pada kesempatan mengenang kesan-kesan saya terhadap beliau, saya hanya menyuguhkan beberapa karya Pak Kalam saja, yaitu:
1. Hikayat Cut Meutia Syahid Lam Prang Geulawan Beulanda. Penerbit Dinas Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, tahun 2002.
2. Sistem Penulisan Arab Melayu ( Suatu Solusi dan Pedoman).
Penerbit Dinas Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, tahun 2003.
3. Qawa’idul Islam, atau Kitab Bakeumeunan, membahas Ilmu Tauhid dalam tiga bahasa: Arab, Melayu dan Aceh ( bersama T A. Sakti). Penerbit: U.D. SELAMAT SEJAHTERA, Banda Aceh, tahun 2004. Kitab ini juga diterbitkan oleh Pustaka Wilayah Provinsi Aceh.
4. Kitaburrahmah Fit Thib Wal Hikmah: salin dan alih aksara, karya Syekh Abbas Kuta Karang, yang membahas prihal penyakit dan obat (bersama T A. Sakti). Kitab “Kitaburrahmah” diterbitkan oleh tiga penerbit:
1) Syiah Kuala University Press.
2) Lembaga Studi Agama dan Masyarakat Aceh (LSAMA), Banda Aceh.
3) Penerbit: Boebon Jaya, Banda Aceh.
5. Qanun Meukuta Alam “Dalam Syarah Tadhkirah Tabahaqat Teungku di Mulek”, salin dan alih aksara ( bersama T A. Sakti). Penerbit: Syiah Kuala University Press, 2010.
6. Besar Sudut Arah Qiblat Masjid-Masjid di Kota Banda Aceh. Penerbit: Ar-Raniry Press, t.t
7. Hikayat Aceh Tentang UUD Negara RI Tahun 1945-hasil kerjasama Pemda Aceh dengan Mahkamah Konstitusi RI. Penerbit: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2009.
8. Al-Tibyan Fi Ma’rifah al-Adyan, salin dan transliterasi karya Syekh Nuruddin Ar-Raniry. Penerbit: Yayasan PeNA, Banda Aceh, Rajab 1432/Juni 2011.
9. Cinta Tanah Air (tulisan Arab – Melayu untuk anak SD dan yang setingkat empat jilid)
10. Munajat Perempuan Sufi Aceh “POCUT di BEUTONG”. Penerbit: Yayasan Al-Mukarramah, Bandaa Aceh, 2012.
11. Puluhan judul karya ilmiah yang dimuat dalam Jurnal Pendidikan dan Pembinaan Ummat “Al-Imam”
12. Implementasi Takhrij dan Kritik Sanad. Penerbit Dinas Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, tahun 2004.
13. Besar Sudut Arah Qiblat Masjid-Masjid di Kota Banda Aceh. Penerbit: Ar-Raniry Press, tt.
14. HABA JAMEUN, oleh tim Penulis. Mohd. Kalam Daud (editor). Penerbit: Bandar Publishing, Banda Aceh, April 2021.
15. Kaidah Penulisan Arab – Melayu. Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI), UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2014.
16. 50 Kaidah Penulisan Arab – Melayu, TKA – TPA Mushalla Al-Muhajirin, Dusun Lamnyong, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, 2005. Belum diterbitkan.
17. Tafsir Tarjuman Al-Mustafid, karya Syekh Abdurrauf – Syiah Kuala, disalin dan dialih-aksarakan. Jilid I ( Surat Al-Baqarah), 2009. Belum diterbitkan.
Selamat jalan sahabatku, Neubri Ya Allah beuluwah kubu (dilapangkan kubur).
Semoga Allah Swt menerima Anda dengan penuh kasih sayang, Amin!
Tambeh: Ringkasan tulisan ini (1000 kata) telah dimuat dalam rubrik Jurnalisme Warga, Harian Serambi Indonesia dengan judul “Mengenang Sosok dan Jasa Pak Kalam Daud”, Selasa, 27 Desember 2022/3 Jumadil Akhir 1444 H, halaman 10.
*Penulis, pensiunan dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP USK, melaporkan dari lorong Zakaria Yunus, dusun Lamnyong, gampong Rukoh, Darussalam, Banda Aceh.
Bale Tambeh: Satu, 14 Boh Kayee 1444 TH atau 14 Jumadil Akhir 1444 H bersamaan 7 Januari 2023 M, poh 05.11 wib.