Yudhie Haryono
Ini penting. Saat zaman genting. Saat kuasa kursi dikangkangi para maling. Konstitusi kita kini adalah buah invasi nir-militer dengan metoda legal warfare dengan memanfaatkan komprador lokal sebagai proxy penjajah. Kita memang juara dalam produsen babu bin pengkhianat.
Akibatnya, kedaulatan warganegara tidak lagi di tangan, tetapi diambil alih secara konstitusional oleh parpol dan oligarki jahat; selanjutnya prinsip rule of law kini berubah jadi rule by law. Lahirlah negara swasta.
Mental Pancasila hilang berganti pengkhianat negara dan jika tidak ada tindakan revolusioner, maka tinggal nama. Negara Pancasila sudah ditaklukan dengan penggantian UUD 18/8/1945. Bangsa Indonesia seperti hantu: gentayangan tanpa visi besar jadi peradaban dunia.
Pertanyaan berikutnya adalah, “bagaimana aksiologi kolonial dalam usaha stabilisasi perampokan SDA negara postkolonial?” Jawabannya dengan melakukan tiga hal.
Pertama, dengan mendesain mental kolonial. Kedua, dengan mendesain nalar kolonial. Ketiga, dengan beri tafsir konstitusinya secara kolonial.
Kita tahu bahwa konstitusi suatu negara ditegakkan dalam rangka membentuk tatanan negara yang berlandaskan hukum keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan untuk semua warganegara (tanpa pandang bulu). Konstitusi memuat sendi-sendi pokok hukum dan juga aturan yang memiliki sifat fundamental-mengikat bagi terselenggara dan terjaminnya cita-cita bersama.
Jika kita belajar konstitusi, maka itu berarti kita belajar tentang hukum, cita-cita, target, roadmap dan tatanan suatu negara yang harus dikerjakan oleh semua warganegara. Karena itu, bernegara adalah berkonstitusi. Tanpa konstitusi, tak ada negara.
Kita tahu, istilah konstitusi berasal dari bahasa Inggris yaitu “constitution” atau bahasa Belanda “constitue.” Latinnya contitutio dan constituere. Bahasa Prancisnya “constiture,” dan Jermannya “vertassung.” Kita bisa menyebutnya undang-undang dasar (UUD 45) dan tafsiran terhadapnya. Dus, konstitusi adalah keseluruhan peraturan baik tertulis, maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara suatu pemerintahan diselenggarakan dalam negara kita.
Dus, jika rusak suatu konstitusi, rusaklah semua unsur-unsur negara dan hancurlah kehidupan sebuah bangsa. Dari tesis inilah lahir diktum: jika tuan ingin melanggengkan tanah jajahan, tak usah kirim semilyar pasukan dan jutaan bom nuklir. Cukup kirim draft perubahan konstitusi negara tersebut sesuai keinginan tuan sebagai penjajah.
Kini, sudah 24 tahun proses itu dikerjakan para penjajah: internasional dengan bantuan pengkhianat lokal. Karena itu pertempuran legalisasi sebagai lanjutan dari revolusi mental dan revolusi nalar, kita harus fokuskan pada revolusi konstitusi. Reclaim the Constitution. Agar ia sesuai cita-cita negara dan sesuai janji proklamasi serta menjamin kesejahteraan, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh warganegara.
Fokus revolusi konstitusi ini dimulai dengan amandemen terhadap 11 UU produk neoliberalis. Yaitu: UU Devisa Bebas, UU Perbangkan, UU BI, UU Pasar Modal, UU PMA, UU Migas, UU Minerba, UU BUMN, UU UMKM, UU Ketenagakerjaan dan UU Jaminan Sosial. Yang lain menyusul sesegera mungkin.
Jika kita kalah dalam revolusi 11 UU ini, maka di perang akbar kedaulatan dan kemandirian akan hancur binasa. Ingatlah bahwa dari dulu, kaum bejat kolonial menternakkan 3 medan pertempuran guna stabilisasi penjajahan: battle of mind, battle of legalization and battle of sovereignty.
Pada 11 UU itulah arsitektur ekopol kolonial dipastikan kehadirannya, teori kurs direalisasikan, kesenjangan dilegalkan, kebodohan disyukuri, kejahiliyahan disembah, krisis dimetodakan, utang dipraktekkan, shadow economy dilanggengkan dan ketergantungan diilmiahkan.
Maka, perang hari ini tidak lagi menggunakan senjata, cukup dengan kertas (uang) dan pena (UU).
Kawan. Hidup kita adalah bagaimana menikmati dan belajar memecahkan masalah di sela-sela pengkhianatan.
Kasih. Hidup kita adalah bagaimana belajar dan senyum terus untuk menari di saat hujan badai menjadi-jadi.
Teman. Hidup kita adalah bagaimana terus melawan di tengah elit pemerintah dan negara yang khianat pada konstitusi.
Kalian bertanya, “mengapa kehidupan kita berbangsa dan bernegara terasa semakin runyam?” Karena bangsa dan negara ini dirancang dan diperjuangkan oleh kaum idealis dan negarawan yang mempunyai wawasan filsafat yang bersifat mendasar dan berjangka panjang; tetapi direformasi oleh para politisi yang berwawasan pendek; dan dioperasikan oleh birokrat yang tidak berwawasan mendalam.
Kini pilihannya, kalian diam dihancurkan atau bergabung dengan kami melawan: sehormat-hormatnya.(*)
Prof Yudhie Haryono, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Direktur Eksekutif Nusantara Center.