Oleh : Tri Harsono
Setelah renaissance, akhir dari jaman gelap Eropa, manusia menjadi pusat. Sebelumnya nalar manusia berbasis pada agama (baca Tuhan). Segala sesuatu harus dipikirkan demi kemaslahatan manusia. Untuk manusia. Humanis. Dalam dunia ilmu akhirnya pun ada ilmu humaniora, psikologi masuk di dalamnya.
Agama sebenarnya hadir demi kemaslahatan manusia (hudan lilmutaqin). Tak relevan untuk mengaitkan kemaslahatan dengan wujud Tuhan. Agama merupakan sistem kanoptik yang tak tergantikan oleh kecanggihan teknologi mutakhir. Sistem pengawasan dari lubuk hati manusia terdalam.
Sebenarnya kritik diarahkan kepada pemeluk agama mana pun. Dan bukan agamanya. Sampai Nietzsche yang ingin membunuh Tuhan, sebenarnya ingin membunuh tafsir manusia yang salah mengenai agamanya. Tafsir yang membuat agama jadi candu. Meninabobokkan. Malah pada akhirnya Tuhan tak perlu dibunuh. Tuhan akan mati dengan sendirinya dengan sains dan teknologi.
Lebih jauh sudah sejak jaman Yunani kuno sudah bergema seruan ke arah kemandirian beranilah berpikir sendiri. Di sisi lain, termasuk pemicu lahirnya demokrasi, telah ada kesadaran tentang pengakuan bahwa manusia itu terbatas. Tapi yang terbatas itu batasnya juga seakan tak bertepi.
Membaca tulisan Pak Haedar, sebenarnya dapat dipandang melalui kacamata bola yang sekarang telah membuat banyak orang kemaruk bola. Intinya ada tiga dalam bola Paradoks, kompetisi, dominasi.
Ada antagonisme dalam bola, bisa bersifat total, meskipun sebenarnya dalam pertandingan persahabatan. Bersahabat dalam permusuhan (lebih tepatnya perlawanan). Tapi juga memusuhi, melawan yang lain yang sebenarnya sahabat. Dari situ siapa yang menang akan mendominasi. Sesuatu yang otomatis.
* Qatar, sejauh ini di luar bola, dalam bingkai bola telah tampil sebagai pemenang. Dengan dakwahnya. Tak soal efektif, seberapa efektif.
Bagi para pecundang dalam kompetisi bola akan melahirkan kegelisahan moral. Terutama dari tim yang banyak diunggulkan. Secara hitungan di atas kertas, di atas ramalan, yang Joyoboyo, atau bukan, Messi dkk. mestinya mampu menunjukkan dominasinya. Tapi takdir bicara lain. Sudah pernah terjadi kasus bunuh diri akibat tak mampu menanggungkan beban semacam itu.
Padahal, sebenarnya, melihat mana yang menang mana yang kalah tergantung kacamata yang dikenakan.
Orang bisa saja luput sisi subjektivitas Messi yang secara kasat mata, empiris, ilmu bukti, dia kalah. Padahal, sejatinya Messi larut dalam sikap rendah hati hingga lebih suka memberi kesempatan yang lain untuk menang dominasi.
Isu radikalisme yang terus menerus digemakan, akhirnya juga, sebenarnya dapat dilihat dengan perspektif bahwa ada sementara pihak yang hilang kepercayaan, keyakinannya terhadap jati dirinya yang moderat. Kalau sudah yakin benar bahwa dirinya moderat, kenapa pula perlu menegaskan bahwa yang lain – dulu, imbas dari perang salib ada sebutan saracen, berasal dari kata syarq, timur, yang berarti Islam – radikal.
Sementara, di dunia Islam yang sebenarnya tercabik-cabik oleh isu lokal atau global, dapat disatukan dengan ulah Barat yang secara esensial negatif. Barat sepenuhnya negatif. Potato. Sak karepe dewe. Nggawe rumusan dewe, menunjukkan bebas seperti, “yang ini radikal, yang itu radikul dan yang radikil.” Mana yang maftuh, majrur dan marfu’ , semua ditentukan sendiri tanpa landa
Hidup ini memang absurd. Tapi nikmati saja. Ngopi saja.
—– Albert Camus.