Oleh Yanti Shakeenah
1. Identitas Buku
Buku ini berjudul “Takziah”, ditulis oleh Sulaiman Tripa, diterbitkan oleh Bandar Publishing pada tahun 2019, kota terbit Banda Aceh. Cover buku ini simple, didesain oleh @ Sagoe Kedai Studio. Perpaduan warna hijau lumut dilatar sketsa lukisan lampu petromak atau “seureungkeng” dan sekumpulan laron berwarna hitam serta judul yang ditulis dalam warna emas menjadi menonjol dan menarik perhatian. Cover belakang tertera keterangan lebih detail tentang biodata Sulaiman Tripa dan sekelumit sinopsis buku. Tebal buku 210 halaman, tinggi buku 21 cm dan lebar 14,8 cm, cukup gampang untuk di bawa kemana-mana. Jenis buku nonfiksi, nomor ISBN: 978-623-7081-55-5.
2. Sinopsis Buku
Membaca buku ini kita seperti sedang berbincang-bincang dengan Sulaiman Tripa sebagai penulisnya. Perbincangan yang santai, tapi sangat menyindir. Terkadang saya senyum-senyum sendiri membacanya, namun sedetik kemudian lidah saya terasa pahit.
Buku ini terdiri dari 5 bab dengan pembahasan yang berbeda-beda isi, tapi masih dalam konteks pemikiran yang saling terkait. Setiap bab terdiri dari judul yang berbeda-beda, meliputi:
1. Aneh dalam Keanehan, bagian ini membahas tentang perilaku sosial masyarakat yang aneh, dan semakin aneh karena menjadi suatu kelaziman. Seperti perilaku kreuh bhan keue ngoen bhan liked.
2. Watak yang Beretika, bagian ini sangat menarik, membahas tentang watak atau karakter kearifan lokal,ditulis secara ringan sehingga tidak terasa menggurui.
3. Bukan Kasih Buta, bagian ini bisa menampar kita bolak-balik, membahas tentang konsep-konsep pemikiran yang salah kaprah seperti yang tersaji di judul “ILHAP”
4. Sagoe Sejarah, bagian ini memaparkan tentang budaya dan kebiasaan yang banyak terjadi dalam masyarakat yang sesuai dan tidak sesuai dengan syariat Islam, seperti tertuang dalam judul “Valentine”
5. Refleksi Tradisi, bagian ini memaparkan tentang tradisi, maulid, memuliakan anak yatim,meubisan, ba bu dan tradisi lain yang lazim ada tapi dengan refleksi idealisnya seperti pemikiran penulis, tapi kenyataan di lapangan banyak yang bisa dikatakan seperti pribahasa jauh panggang dari api, jadi refleksinya sering tidak sesuai dengan yang diharapkan. Membacanya membuat saya menghela napas panjang dan sedikit sesak.
Semua bagian dalam buku ini menampar kita secara halus, tidak begitu sakit, tapi cukup membuat malu bagi pembaca yang masih punya kejernihan hati. Saya pernah membaca kutipan sebuah falsafah dari Afrika Selatan yang ditulis dalam bahasa daerah “ Umuntu ngumuntu ngabantu motho kemotho ba bangwe” yang dimaknai manusia bernilai menjadi manusia karena ada manusia lainnya. Dibuku ini kita akan menemukan manusia gampong yang tak sempurna, tapi sekaligus menemukan kebijaksanaan dalam diri mereka.
Selain itu dalam buku ini kita juga akan menemukan nuansa kultur dari Masyarakat Aceh, meliputi aspek sosial dan budaya yang dipresentasikan secara gamblang dalam bentuk kearifan lokal.
3. Kelemahan Buku
Ada berbagai istilah bahasa daerah dalam buku ini yang tidak dijelaskan secara detail, bagi pembaca yang bukan berasal dari Aceh, juga bagi saya yang termasuk dalam penutur Bahasa Aceh yang payah, akan sedikit kesulitan dalam memahami istilah itu.
Dari segi pemilihan judul, banyak yang bias dengan isi, pembaca harus mampu menangkap maksud yang tersirat dari penulis, karena tidak semuanya tersurat.
Cara penulisan istilah bahasa daerah juga tidak seragam, sebahagian kata dimiringkan, sebahagian tidak, mungkin hanya sedikit kesilapan dari editor.
Selain itu masih banyaknya kalimat-kalimat panjang yang tidak efektif dan efisien, kesan semrawutnya pikiran Sulaiman Tripa saat memuntahkan pemikiran dalam benaknya tersaji begitu saja, tidak di “platting” dengan indah.
4. Kelebihan Buku
Buku ini bagus sekali untuk dibaca semua kalangan, banyak kearifan lokal yang patut ditiru. Bukankah hidup bermasyarakat adalah sekolah yang sebenarnya, karena itulah ada kurikulummya, walaupun kurikulum itu tidak tertulis. Dalam buku ini kita akan banyak menemukan kurikulum yang tidak tertulis itu.
Buku ini juga mengusung masalah sosial dan ekonomi yang hal itu sangatlah relevan dalam kehidupan, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Hal tersebut, di antaranya terkait kemiskinan, pendidikan, kesenjangan sosial masyarakat, kebebasan berbicara, penyimpangan sosial dan sebagainya. Bahkan, permasalahan atau isu tersebut bukan hanya relevan di gampong, tapi juga di Indonesia.
Bagi para calon pemimpin, baik pemimpin menara gading ataupun akar rumput, harus jadikan buku ini sebagai pegangan untuk memahami masyarakat, selain bermanfaat sebagai acuan dalam mengambil keputusan, juga bisa menambah suara konstituen karna bisa memahami suara dari arus bawah. Hayya .
5. Kesimpulan
Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari “Kolom Gampong” yang diberikan Aceh Institute lewat website www.acehinstitute.org kepada Sulaiman Tripa sebagai wadah untuk menyalurkan pikiran melalui tulisan. Walaupun catatan waktu dalam buku ini menunjukkan ditulis pada tahun 2007, tetapi pemikiran Sulaiman Tripa masih relevan sampai sekarang. Ini menunjukkan kecerdasan dan kepekaan penulis yang menjangkau dan merasakan permasalah yang terjadi dalam masyarakat, sehingga buku ini bisa menjadi bacaan ringan yang patut untuk direnungkan.
Membaca buku ini bisa menjadi obat bagi kita dalam hidup bermasyarakat. Obat ini diharapkan bisa memperbaiki kualitas hubungan kita dengan tetangga, dengan anak, juga dengan aparatur gampong. Kualitas hubungan yang baik pasti akan membawa harmoni dan kebahagiaan dalam kehidupan.
Biodata Penulis : Penulis adalah seorang guru di SMAN 1 Ingin Jaya, yang bernama Suyanti, tapi lebih dikenal dengan nama Yanti Shakeenah sebagai nama pena. Kelahiran Banda Aceh 14 februari 1976 mempunyai beberapa buah karya yang telah diterbitkan di media cetak Serambi Indonesia dan memiliki beberapa kumpulan buku antologi terbitan Rumah Media. Mencintai dunia literasi sejak kecil, tapi belum begitu serius menekuni. Setelah masuk dalam Komunitas Satu pena Aceh dan Forum Aceh Menulis, mulai terbakar untuk kembali berkarya dan mengikat makna hidup melalui tulisan.
.
Banda Aceh, 22 Desember 2022