Oleh : Yudhie Haryono
Saya ingin mulai dengan pepatah latin, “Mens sana in corpore sano (dalam jiwa yang sehat terdapat tubuh yang kuat).” Jika maknanya diperluas, kita bisa menulis, “di dalam kurikulum yang sehat, terdapat pendidikan yang kuat.” Tetapi bagaimana itu terjadi?
Begini. Per definisi, kurikulum adalah semua hal yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran, termasuk metode mengajar, cara mengevaluasi, program studi, bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan administrasi, serta hal-hal struktural-kultural terkait dengan waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata ajar.
Dengan definisi tersebut, kurikulum menjadi ontologi pendidikan, poros utama dan tulang punggungnya pendidikan. Ia laksana kaki statis: menghasilkan gerak sentripetal (ke dalam) dan sentrifugal (ke luar) sekaligus.
Dalam sejarahnya, kurikulum sering kali diperhadapkan dalam dua kutub biner: sebagai inti dari puritanisme dan sebagai inti dari sekularisme. Sebagai puritanis, artinya situasi sosial (zaman) harus ditundukkan di bawah kendali kurikulum. Sebaliknya, sebagai sekularis, artinya kurikulum berubah-ubah sesuai tuntutan zaman.
Jika pendekatannya via pendidikan Pancasila, maka kurikulum itu laksana meja statis. Apa meja statis kurikulum pendidikan kita? Trimatra: 1) Pendidikan mental-etika; 2) Pendidikan kegeniusan-logika; 3) Pendidikan kebangsaan-nasionalisme. Dus, trimatra menjadi dasar kurikulum yang bersifat statis-substantif. Ketiganya bisa dikatakan sebagai nilai final utama. Lalu, apa kurikulum meja dinamisnya? Tentu saja, meja dinamis merupakan mata pelajaran dalam kurikulum tambahan yang pada intinya merupakan nilai instrumental untuk menggapai nilai final dalam trimatra.
Nah, meja statis ini berfungsi untuk mencetak agensi atau warganegara unggul yang mampu menemukan kebesaran masa lalu demi kehidupan masa kini dan “terjaganya” peradaban masa depan Indonesia Raya. Sedang meja dinamisnya berfungsi untuk mencetak agensi atau warganegara unggul yang mampu mengkreasi hari ini dan hari depan yang lebih baik.
Semua itu adalah ontologi dari kurikulum kita agar cara kita mencetak kerangka warganegara unggul adalah memastikan lahirnya benih insan atlantik, manusia nusantara dan patriot Pancasila.
Dus, jika ontologi pendidikan kewarganegaraan adalah kurikulum, maka epistemnya adalah komunitas dan jaringan-jaringan pendidikan pembebasan. Lalu, aksinya adalah kepastian hadirnya negara Pancasila.
Tapi ingat, menegakkan negara Pancasila itu kerja raksasa. Di dalamnya kita akan menemukan medan pertempuran yang sangat luas mencakup tiga ranah yaitu, 1) Tanah air fisik (penguasaan teritorial); 2) Tanah air formal (undang-undang dan hukum formal); 3) Tanah air mental (nalar dan pola pikir). Di tiga ranah itu kini kita babak belur dan porak-poranda.(*)
* Prof Yudhie Haryono, Guru besar Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Direktur Eksekutif Nusantara Center_