Oleh : Suroto
Salah satu hal yang paling sering dikampanyekan oleh para kontestan calon anggota legislatif atau eksekutif dalam Pemilu adalah meminta untuk memilih orang yang sudah bebas secara keuangan. Itu artinya kita disuruh memilih mereka, orang orang kaya tersebut.
Argumentasinya, jika orang itu sudah kaya, tidak akan lagi sibuk mencari uang untuk kepentingan hidupnya. Tidak akan korupsi dan dapat fokus memikirkan kepentingan masyarakat banyak. Bahkan dalam banyak kampanye rela tidak mengambil gaji mereka selama menjabat.
Audiens yang tidak mampu menggunakan akal sehatnya akan dengan mudah termanipulasi oleh kata kata mereka. Lalu mereka mencoblos calon tersebut di kala musim Pemilu tiba.
Hasilnya dapat kita lihat, dimana mana anggota Parlemen dan Eksekutif saat ini berasal dari orang orang kelas menengah ke atas tersebut. Bahkan lebih parah, siklus pergantianyapun berasal dari anggota keluarga mereka sendiri ; suami, istri, anak, paman, bibi, keponakan, besan dan terus demikian.
Mereka tak hanya masuk dalam urusan pemenangan kontestasi Pemilu, tapi jauh mendasar kuasai struktur organisasi basis, organisasi sayap partai, dan partai politiknya. Ibarat permainan dari proses rekruitmen pemain sampai dengan tanding semua dikuasai secara paripurna.
Brutalnya, kelompok kaya di Indonesia itu jumlahnya terlalu sendikit. Bahkan jika dibandingkan dengan rata rata dunia sekalipun. Angka mereka yang punya kekayaan di atas 1,5 milyard saja itu hanya 1,1 persen. Padahal rata rata dunia adalah 10,6 persen ( Suissie Credit, 2021). Mereka yang kaya raya itu terlalu sedikit, dan miskin papa terlalu banyak.
Kalau kita gunakan teori bahwa sumber kekuasaan itu salah satunya diukur dari penguasaan properti atau kekayaan, maka angkanya terlalu ekstrim sekali. Mereka yang super kaya tidak punya beban memikirkan uang susu anak atau aktifitas immanen urusan soal perut itu terlalu sedikit.
Jadi nyaris politik di Indonesia itu makanya hanya berputar putar dari orang kaya, oleh orang kaya dan untuk orang kaya. Apa yang baik untuk kepentingan orang kaya adalah dianggap baik untuk kepentingan rakyat jelata.
Ketika mereka sudah duduk jadi penguasa, selain gunakan cara ortodok mengutil uang negara, hal yang paling berbahaya dan mutakhir adalah mereka lakukan korupsi di tingkat regulasi dan kebijakan. Mereka buat aturan dan kebijakan agar jadi rompi pengaman dan perbesar kepentingan bisnis mereka.
Mereka yang dekat dengan kekuasaan adalah yang diuntungkan oleh peraturan dan kebijakan. Mereka yang jauh dari kekuasaan yang dikenai peraturan.
Setelah mereka memenangkan kontestasi dan duduk jadi anggota parlemen, presiden, gubernur, bupati, walikota lalu mereka gunakan politik ” pork barrel”, politik gentong babi, yaitu politik yang gunakan sebagian kecil uang negara kepada basis kontsituen pemilihnya untuk merampok bagian sumber bisnis dan pendapatan yang lebih besar.
Jadi aspirasi rakyat jelata Indonesia, yang orang orang dewasanya 83 persen hanya punya kekayaan di bawah 150 juta rupiah ( Suissie Credit, 2021) itu sesungguhnya hanya dianggap sebagai tumbal penopang kekuasaan mereka.
Rakyat itu dianggap hanya angka statistik manusia tak berdaya yang mereka manfaatkan untuk mengeruk keuntungan dan langgengkan kekuasaan bagi diri dan keluarganya. Negara yang kaya raya ini pada akhirnya hanya langgengkan posisi mereka yang miskin dan rentan miskin hingga separo dari penduduk Indonesia.
Hal tersebut juga terlihat dari riset Smeru ( 2020) yang ungkap fakta bahwa hanya 87 persen keluarga miskin itu tetap mewariskan kemiskinan kepada generasi selanjutnya.
Satu hal lagi yang membedakan dengan politik di Amerika Serikat misalnya, jika orang Amerika itu menjadi kaya karena inovasi bisnisnya lalu mereka mencoba untuk pengaruhi negara, elit kaya di Indonesia itu mencari kekayaan dengan cara mempengaruhi kebijakan. Sebab jalin kelindan bisnis elit kaya di Indonesia itu bergantung pada kepentingan kapitalis global yang berpusat pada negara negara adi kuasa.
Dalam istilah Profesor Yoshihara Kunio disebut sebagai ersatz caputalism atau kapitalis semu. Kapitalis yang hidup dan matinya bergantung dari keistimewaan atau keistimewaan kebijakan dan peraturan.
Saat ini kita masuk ke tahun politik, dan tahun politik ini akan segera dipenuhi oleh slogan slogan palsu para elit kaya tersebut. Tapi sayangnya, rakyat sepertinya tetap tak akan berdaya. Sebab calon calon yang muncul saat ini baik untuk anggota parlemen maupun eksekutif sepertinya ya hanya berasal dari kelompok elit kaya tersebut.
Jadi, apakah yang bisa kita perbuat? bagaimana cara menghentikanya? Jika anda tidak sanggup untuk tidak memilih, maka pilihan terbaiknya adalah pilihlah dari calon yang paling miskin secara harta. Tidak ada kaitanya dengan anggota keluarga kaya. Tapi juga yang setidaknya kalau masih ada juga yang punya karya riil pernah membela kepentingan rakyat jelata secara nyata. Ini adalah pilihan terbaik dari yang terburuk.
Jakarta, 27 Desember 2022
Suroto
Ketua AKSES ( Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)