Oleh Nur Anisah
Udara terasa dingin hari ini, setelah hujan mengguyur semalaman. Aku terus memacu kendaraanku menuju ke tempat kerjaku yang letaknya di pesisir pantai. Langit yang biasanya berwarna biru cantik kini terlihat mendung dan menyatu dengan warna lautan di bawahnya. Setidaknya aku masih bisa tersenyum melihat pulau Meranti di seberang sana dengan kabut yang menyelimutinya dan ia seperti melambai-lambai kepadaku.
Aku mengambil arah kanan dan berbelok, menuju sekolah tempatku mengabdi. Sejujurnya, ini minggu kedua aku bekerja di sekolah ini. Aku terkadang terlambat tiba karena jauhnya perjalanan yang harus kutempuh. Sesampainya di perpustakaan aku langsung mengambil sapu dan membersihkan seluruh ruangan. Aku selalu membersihkannya setiap pagi, walaupun murid jarang-jarang berkunjung ke perpustakaan. Kuletakkan sapu dan kupandangi seisi ruangan.
Bangunan perpustakaan ini hanya sebuah ruangan berwarna putih dengan cat yang sudah kusam. Rak buku yang hanya ada dua, satu digunakan untuk mengisi buku tematik dan satunya digunakan untuk buku pengayaan, tidak ada buku dongeng maupun eksiklopedia. Di ruangan ini juga terdapat dua meja yang digunakan untuk meja sirkulasi dan meja kerjaku. Tidak ada meja dan kursi untuk anak-anak membaca, namun aku meminta kepada pihak sekolah untuk menyediakan karpet sebagai alas agar murid bisa membaca sambil melantai.
Aku tersenyum miris, dalam hati aku memikirkan bagaimana aku bisa menghidupkan perpustakaan jika ruangannya saja terasa membosankan.
‘Mungkin dengan googling bisa memberikanku ide’, celetukku dalam hati.
Aku bergegas ke kantor guru demi terhubung dengan wi-fi. Ini mungkin terdengar lucu, tapi di sini, akses internet sangatlah terbatas. Aku terkadang mendapatkan pesan dari teman-temanku, namun aku hanya bisa membalasnya ketika jam sekolah berakhir. Ketika sampai di pelataran kantor, aku menghentikan niatku dan segera bergegas memasuki toilet ruangan UKS yang ada di dekatku.
Di halaman sekolah sana, sekilas aku melihat ibu kepala sekolah yang sedang berbincang dengan seorang bapak paruh baya. Juga terlihat seorang perempuan muda seusiaku yang matanya tepat menatap ke arahku, senyuman tersungging di bibirnya yang membuatku refleks membalasnya. Aku tentu tidak mengenali kedua tamu di sana, namun aku berusaha untuk menjaga sikap dengan tidak bermain hp di jam kerja.
Esok harinya, aku kembali menjalankan rutinitasku dengan membersihkan ruangan perpustakaan. Aku sedang menyapu rak ketika seseorang memasuki ruangan perpustakaan. Sambil membalikkan badan untuk menyapa , aku terkejut ketika orang yang menemuiku adalah tamu perempuan yang kemarin kulihat. Ia masih dengan senyumnya yang merekah langsung melihat-lihat buku yang ada di rak, sama sekali tidak terganggu dengan rautku saat itu.
Aku berniat untuk menyapa, memperkenalkan diri, atau apapun untuk menghilangkan kecanggunganku. Diriku yang terlalu introvert selalu membuatku merasa kikuk. Aku menghembuskan nafas, lalu memberanikan diri untuk sekadar basa-basi.
“Kamu pustakawan baru yang itu, kan?”
Aku kembali tergagap. Aku bahkan belum berucap satu kata pun, ia langsung membidikku dengan pertanyaan.
“Iya.” jawabku singkat.
Aku hendak menanyakan dirinya. Orang ini adalah pengunjung pertama di perpustakaan setelah dua minggu aku menempati ruangan ini. Oleh karenanya, aku ingin memberikan kesan baik dan juga pembuktian bagi diriku sendiri bahwa aku bisa beradaptasi dan menjadi pribadi yang hangat. Mungkin dengan menanyakan sedikit tentang perempuan muda ini bisa membuka percakapan, pikirku.
“Aku Melati,” ujarnya. Kedua matanya beralih ke jendela, menatap langit biru di atas sana. “dan mungkin akan sering ke sini.” Katanya lagi sambil berlalu.
Aku merasa aneh, tapi kenapa?
Ketika jam istirahat, aku bergegas menemui bu Nurma, salah satu guru senior yang selalu kutemui ketika aku menghadapi kesulitan. Aku mencoba bertanya tentang tamu yang tempo hari datang ke sekolah. Aku harus berpuas diri ketika beliau mengatakan bahwa dirinya tidak sempat bertemu dengan siapapun hari itu, karena banyaknya pekerjaan yang harus ia selesaikan hari itu juga.
Untuk mengobati kekecewaanku, aku bergegas ke kantor guru lagi dan mencari inspirasi untuk membuat ruangan perpustakaan agar tampak lebih berwarna. Aku akhirnya mendapatkan ide untuk membuat poster tokoh ilmuwan yang menjadi pelopor sains. Tersenyum dan gembira, aku mengambil barang-barang yang aku butuhkan di ruangan tata usaha dan membawanya ke perpustakaan. Aku mengerjakan apa yang aku bisa kerjakan. Aku yakin bahwa usahaku untuk memajukan perpustakaan, akan berhasil, sekecil apapun itu.
Tidak sampai di situ, hari demi hari ku habiskan dengan membuat alat peraga sains seperti sistem Tata Surya, Kincir angin sederhana, bahkan replika gunung berapi. Aku bekerja dengan semangat menggebu-gebu seperti staff yang akan mempersiapkan stand pameran. Melati cekikan tertawa di belakangku. Aku membalikkan badan dan terheran.
“Oh maaf, aku tidak bermaksud mengganggu.” Ucapnya dengan senyum jahil. “Aku terkesan dengan semangatmu, mengingatkanku pada seseorang.”
Ia berdiri menghampiriku, bau parfum melati tercium semerbak darinya.
“Mau kuberitahukan sesuatu?” tanyanya, sekilas aku melihat senyuman mengejek di bibirnya.
“Dekorasi ini semua hanya akan mempermanis ruanganmu saja,”
Dengan santainya ia berucap kepadaku, namun ada sesuatu yang aneh dalam nada suaranya.
“tapi, bagaimana dengan murid-murid?” lanjutnya lagi.
Degh…
Satu pekan lebih kuhabiskan dengan mempersiapkan semua ini, membuat ruangan perpustakaan menjadi indah dan berwarna. Namun satu kalimatnya telak menghantamku di ubun-ubun. Selama ini aku hanya fokus pada satu hal, namun aku abai akan satu hal. Bagaimana dengan murid-murid?
“Bukankah kamu harus mengajak mereka kesini?”ujarnya lagi.
Aku mengangguk membenarkan, meskipun dalam hati aku merasa kesal. Namun kepada siapa aku harus marah? Kepada diri sendiri yang kurang pemahaman ataukah kepada orang lain yang memberi arahan?
“Aku… aku ingin anak-anak mencintai perpustakaan.” tandasku pada akhirnya. Kulihat senyumnya memancar, “aku ingin mereka mempunyai semangat untuk belajar dan cinta ilmu pengetahuan.”
Melati tertawa, “dan apa yang hanya kamu lakukan?”
“Bukankah kamu harus memikat mereka dengan buku baru? Dengan suasana baru? Jujur saja, aku lebih memilih untuk bermain di lapangan daripada hanya membaca di tempat yang sesuram ini.”
“Sedari kecil aku sangat suka dengan buku, membawa anganku melayang jauh. Akan sangat hebat jika kita mempunyai banyak koleksi buku yang bagus, menghabiskan waktu dengan menyesapi kenikmatan dari buku itu sendiri. Jangankan murid-murid, guru pun akan betah berada di sini.”Perempuan muda itu berjalan mengitariku, aku merasa hawa dingin di sana namun emosiku bergejolak menepis segalanya.
Jujur saja, aku merasa marah sekaligus malu. Marah atas ketidakmampuan diri untuk mengembangkan koleksi perpustakaan, karena itu adalah tanggung jawabku. Aku merasa malu, karena integritas diriku dipertanyakan. Semua hal yang aku lakukan ini adalah sebagai bukti bahwa aku layak dan mampu mengemban tugasku sebagai pustakawan. Aku bertugas untuk menyajikan buku yang “lezat” untuk pemenuhan kebutuhan informasi murid. Namun karena keterbatasan sumber daya terlebih sekolah kami merupakan sekolah pinggiran, yang jauh aksesnya darimana pun, sangatlah susah untuk menjalin kerjasama dari berbagai pihak untuk mendapatkan bantuan.
“Selesaikan pekerjaanmu. Kamu memiliki semangat itu.” Ucapnya dan ia melangkah pergi.
…
Satu pekan kembali berlalu. Angin bertiup kencang pada musim penghujan. Aku dengan pakaian yang basah menetes memasuki perpustakaan. Dengan laptop pinjaman kantor tata usaha, aku beranikan diri menuliskan proposal permohonan bantuan untuk perpustakaan. Aku mengajukan semua hal yang aku butuhkan di perpustakaan seperti buku-buku fiksi, majalah pendidikan, ensiklopedia, peta, bahkan meja serta kursi untuk murid membaca. Dengan doa dan tekad kuberanikan diri mengirim e-mail proposal bantuan tersebut ke lembaga pendidikan kota.
“Nah bagus, mari kita lihat hasilnya.” Bisiknya.
Aku sudah tidak heran dengan kedatangannya yang selalu tiba-tiba. Aku membuat proposal ini karena sarannya tempo hari yang lalu. Celetukkannya terkadang memberikanku inspirasi untuk mewujudkan impianku atas perpustakaan ini.
“Semoga harapanmu terkabulkan.”
Melati melangkah keluar meninggalkan diriku sendiri di perpustakaan membuat diriku bertanya-tanya mengapa dia seperti bisa membaca pikiranku.
Aku tiba-tiba dikejutkan oleh pak Jol yang merupakan kepala tata usaha di sekolah kami. Ia memanggilku beserta guru lainnya untuk bertemu dengan anggota dewan. Semua guru dan staff berkumpul di sana. Aku yang merasa masih baru mendapati beberapa wajah asing yang belum pernah kutemui. Untuk sekolah dasar negeri, staff dan guru di sini sangatlah sedikit. Beberapa guru bahkan harus merangkap menjadi guru olahraga. Mataku menatap ke sekeliling, namun tak kujumpai Melati di sana, apa mungkin ia sudah pulang?
…
Sebulan berlalu terasa lebih cepat, hari demi hari dihiasi dengan hujan. Bulan ini merupakan puncak musim penghujan. Angin laut yang biasanya bertiup semilir menjadi kencang menciptakan bunyi-bunyi gaduh. Aku hanya berdiam diri di perpustakaan menatap lautan yang bergejolak di balik jendela. Kubuka laptop dan memeriksa e-mail, berharap mendapatkan balasan dari lembaga pendidikan kota.
“Kamu terlihat bosan.” Seperti biasanya, ia selalu datang tiba-tiba. Ia melipat kedua tangannya dan tersenyum. “Tunggu setengah menit lagi,” ucapnya lagi.
Aku menatapnya dengan penuh keraguan, ia pasti sedang melucu. Jangankan setengah menit, sebulan lebih aku telah memasang modem internet agar selalu terkoneksi dengan dunia luar, dan selama sebulan itu pula menunggu balasan dari…
Ting!
Aku terlonjak kaget dan segera meraih laptop untuk memeriksa notification yang berbunyi barusan.
Apapun itu.
Aku berusaha untuk membaca setiap baris yang ada di pesan tersebut.
Membaca lagi.
Dan lagi.
“Jangan putus asa.”
Tangannya mengelus lengan bajuku. Hawa dingin terasa di sana membuatku bergegas untuk menutup jendela perpustakaan. Lantai yang kupijaki ternyata sudah basah terkena tampias hujan.
Bahkan hanya melihat dari ekspresiku saja dia sudah tau bahwa proposal bantuan kami ditolak. Ia menguatkanku dengan mengatakan untuk mencoba lain kali.
“Orang dalam,” ucapnya tiba-tiba membuatku menengadah. Di saat hujan dan suasana duka seperti ini kenapa Melati justru berceloteh yang tidak masuk akal. Ia melihat keluar jendela, menatap langit yang terus mengucurkan butir hujan.
“Bukannya segala sesuatu membutuhkan pelicin?” katanya lagi. Matanya tak berkedip menatap pemandangan di luar satu detik pun. Aku menatapnya jengkel. Perkataannya terlalu sembarang dan otakku tidak didesign dengan lelucon seperti ini.
“Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? Bisa ‘engga kamu katakan yang jelas.” Sahutku cepat.
Ia duduk menyilangkan kakinya dan kedua tangannya melipat di depan dada. Mungkin jika hatiku sedang baik-baik saja, Melati lebih terlihat seperti model yang di majalah-majalah itu. Berpose dengan keren dan memakai pakaian anggun lebih cocok untuk dirinya. Jika dibandingkan sekarang yang setiap hari memakai pakaian putih dan rok hitam.
Ia menatapku tajam, membuatku tersadar dari khayalan.
Di luar, hujan kembali turun lebih deras. Guruh petir bersahut-sahutan membentuk harmoni. Melati semakin semangat membisikkan ide briliannya. Tentang kemana harus aku ajukan proposal bantuan selanjutnya, siapa yang harus kumintai sumbangan dan bagaimana caranya agar permohonan bantuanku tercapai.
Kulihat semangatnya sangat menggebu-gebu seperti staff yang sedang menyiapkan stand pameran. Aku tidak menertawainya, aku justru kagum padanya. Aku melihat bayangan diriku ada dalam dirinya.
Dan setetes air mataku jatuh, entah bagaimana.
Hatiku berkata dia akan pergi.
Tapi kemana?
…
Satu bulan telah berlalu, musim penghujan mulai mereda. Langit cerah membersamai lautan biru yang sama cantiknya. Pulau Meranti terlihat dengan jelas di seberang sana, kapal-kapal nelayan berada dinaungannya yang seperti menari-nari indah menyambut pagi. Aku tersenyum menyambut semilir angin menyentuh pipiku.
Aku memarkirkan sepeda motorku di tempat parkir. Lapangan sekolah kini dipenuhi dengan tenda-tenda cantik berwarna merah putih. Beberapa stand pameran juga turut menghiasi lapangan sekolah.
Di ujung tenda terdapat penggung megah dengan spanduk bertuliskan “Hari Kunjungan Perpustakaan”. Hari ini, sekolah tempatku mengabdi mendapat kesempatan untuk mendapatkan bagian dari kegiatan tahunan perpustakaan ibukota provinsi. Sejumlah acara turut memeriahkan kegiatan ini, termasuk penerimaan bantuan buku besar-besaran kepada perpustakaan kami, renovasi bangunan perpustakaan dan kegiatan kepustakaan lainnya.
Sampai di puncak acara, di mana pihak sekolah, staff perpustakaan ibukota provinsi, tamu kedinasan, dan bapak paruh baya (yang pada akhirnya kukenal sebagai komite sekolah) berfoto bersama. Aku merasakan bibirku terus-terusan tersenyum, euforia ini tidak dapat dilukiskan dengan kalimat apapun. Bagiku, momen ini adalah titik tertinggi dalam pengabdianku, membuatku tidak sabar untuk mendaki titik tertinggi lainnya. Aku sangat terharu mendapat bagian dalam kegiatan yang menurutku sangat bergengsi. Akhirnya, salah satu cita-cita kami untuk memajukan perpustakaan sekolah terwujud.
Kami?
Aku memisahkan diri. Mataku menjelajahi setiap sudut sekolah mencari keberadaannya. Temanku yang satu itu selalu menghampiriku, namun tak sekalipun aku mencari dirinya. Ia begitu baik kepadaku. Ketika aku merasa sendiri berkutat dengan pekerjaan, ia datang menemani. Perkataannya terkadang tajam seperti belati, tapi ia membuka diriku untuk melihat dunia dari sudutnya yang berbeda. Ia begitu berbeda.
Books are lovely, dark and deep.
So is She.
Di ujung koridor kelas empat aku menemukan Melati. Ia terlalu jauh dari tempatku berdiri. Matanya menatap jauh ke langit. Bibirnya tersungging senyuman, persis seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Air mataku jatuh dengan sendirinya.
Samar-samar kulihat bibirnya bergerak perlahan.
Terima kasih.
Selamat tinggal.
-tamat-
Nur Anisah atau yang lebih sering dipanggil Nisa dilahirkan di Aceh Besar pada tanggal 8 Desember 1994. Sedari kecil ia sudah menyukai cerita fiksi, maupun non fiksi. Kecintaannya pada buku dan ilmu pengetahuan membuatnya tertarik untuk mengambil jurusan Ilmu Perpustakaan di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Saat ini ia sedang bertugas di SD Negeri 72 Banda Aceh dan mengembangkan minat literasi pada anak-anak. Hobinya yang suka membaca ia tularkan melalui kegiatan-kegiatan di perpustakaan. Selain itu, ia juga suka menghabiskan waktunya dengan menuliskan cerita pendek. Penulis hebat yang sangat ia kagumi adalah Andrea Hirata yang membuatnya berimajinasi tanpa batas. Karya luar biasa penulis tersebut membantunya untuk lebih mengenali dirinya sendiri.