Oleh: Ishak Rafick, Direktur Eksekutif Masa Depan Institute
Beberapa minggu terakhir jagat politik tanah air diguncang keras oleh seorang wanita paruh baya yang cantik bernama Hasnaen Muin. Dia Ketua Umum Parpol baru Partai Republik-1, yang sedang bekerja keras agar partainya lolos seleksi KPU. Sama seperti ketum-Ketum parpol lain, tujuan Hasnaeni cuma satu: Partainya bisa ikut berlaga di pemilihan legislatif dan presiden pada 2024. Kali aja menang.
Namun Hasnaeni, yang dikenal sebagai wanita emas, bukanlah tokoh politik kondang seperti Ketua Umum PDI Pejuangan (PDIP) ibu Megawati Soekarnoputri. Juga tak ada apa-apanya dibanding Puan Maharani, Ketua DPR-RI dari PDIP. Bahkan sebaliknya Hasnaeni sangat lemah. Di ranah politik dia bukan siapa-siapa, pengalaman seadanya. Lebih parah lagi dia disinyalir terlibat korupsi.
Nah seperti biasa. Penindasan, tekanan dan intimidasi selalu menimpa si lemah. Dalam hal ini diwakili Hasnaeni. Mengapa kasus ini menarik? Sebab wanita lemah ini melawan yang dipertuan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang baru. Dia sendirian melawan apa yang disebut abuse of power alias penyalah gunaan wewenang (kekuasaan). Wanita ini sama sekali tak didampingi tokoh-tokoh gerakan wanita. KOMNAS PEREMPUAN juga tak peduli. Entah mengapa?
Padahal si wanita emas ini secara tak sengaja telah membongkar penyalahgunaan wewenang, yang sudah bukan rahasia lagi terjadi hampir di segala bidang. Orang merasakannya setiap berurusan dengan birokrasi. Kalau kita bukan korban, mungkin saudara kita, paman, saudara, tetangga, pedagang gorengan, tukang sablon, bahkan orang yang kita benci. Penyalahgunaan wewenang Ketua KPU Hasyim Asy’ari cuma satu kasus dan kebetulan apes.
Penyalahgunaan wewenang bisa dilakukan siapapun yang punya posisi dan wewenang di pemerintahan, di kementrian, di kepolisian, kehakiman, KPK dan bahkan di kelurahan, di sekolahan, di kampus, terminal dan lain-lain. Umumnya sasaran mereka cuma orang-orang lemah. Yang sendirian tentu akan lebih empuk.
Raja-raja kecil ini akan berpikir seribu kali untuk menekan orang-orang macam ibu Megawati, Puan Maharani, Surya Paloh, Kapolri Jendral Sigit Listyo, Rizal Ramli dan lain-lain. Kalaupun mereka mau melakukannya, biasanya tidak langsung dan frontal. Mereka akan meminjam tangan orang lain, misalnya BUZZERRP, influencer, intelektual yang telah dilemahkan, penjilat berbayar ataupun gratisan, lembaga survey, dan tentu saja pasukan sakit hati seperti Antasari Azhar yang begitu bebas langsung menyerang SBY.
Juga tidak akan berani mengganggu tuan-tuan oligarki semacam Aguan, keluarga Sinar Mas Group Ekatjipta Widjaja (Ganda Widjaja, Franky Widjaja dan saudara-saudaranya Salim Group (Antony Salim, Franky Wlirang, dan lain-lain), keluarga Djarum Group, keluarga Tomy Winata (Artha Graha Group), keluarga Ciputra, keluarga Lippo Group (Muchtar Riady, James Riady, John Riady), kelurga Murdaya Poo, keluarga Soeryadjaya (Edward dan Edwin), keluarga Luhut Binsar Panjaitan, keluarga Uno (Sandiaga Uno dan saudaranya), keluarga Tohir (Garibaldy ‘Boy’ Tohir dan Eric Tohir), dan lain-lain. Mengapa? Karena orang-orang yang disebut belakangan itu bisa membuat mereka yang menekannya ‘terkaing-kaing.’
Kembali ke kasus penyalahgunaan wewenang. Hasnaeni, si wanita paruh baya yang cantik, tapi dalam posisi lemah, berhadapan dengan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang punya wewenang menentukan nasib partainya. Dia mengaku diperdaya, dilecehkan, diesek-esek berkali di berbagai tempat selama 20 hari dari Agustus sampai November 2022. Itu merupakan imbalan, bila dia ingin parpol yang dinakhodainya lolos seleksi KPU. Seleksi pertama Partai Republik-1 lolos. Seleksi kedua tak. Dia malah masuk penjara karena kasus korupsi. Itu disampaikan Hasnaeni kepada pengacaranya Farhat Abbas, SH, MH dan sudah dilansir di berbagai channel youtube, medmas (al: TEMPO), dan medsos. Namun ada yang lebih dahsyat dari itu: Hasnaeni mengaku telah diberi bocoran oleh Ketua KPU, bahwa sudah ada skenario untuk memenangkan pasangan Ganjar Pranowo – Eric Tohir. Kasus ini telah diekspose secara berseri di chanel FNN (Forum News Network). Hasnaeni lalu memberi kuasa kepada Farhat untuk mensomasi Ketua KPU Hasyim Asy’ari setelah tak lolos seleksi tahap dua.
Dia jelas berang, karena merasa telah mengikuti kemauan Ketua KPU Hasyim Asy’ari. Ini sebetulnya sama saja dengan sogok-menyogok atau gratifikasi. Cuma permintaan ketua KPU, kalau itu benar kata TEMPO, bejat. Dan karena dilakukan berulang-ulang oleh keduanya di berbagai tempat, maka orang bisa saja menganggapnya sebagai aksi mesum mau sama mau. Itu kalau kita mengabaikan, bahwa posisi keduanya tidaklah sejajar. Hasyim Asy’ari sebagai Ketua KPU punya wewenang menentukan nasib Partai Republik-1 yang dipimpin Hasnaeni. Kalau saja Hasyim Asy’ari cuma seorang penjual combro dekat stasiun Tebet, tentu Hasnaeni ogah.
Kasus ini terus bergulir bak roller coster, naik turun, menukik dan berbelok tajam dengan kecepatan tinggi. Si wanita paruh baya itu sempat meralat laporannya kepada Farhat. Dia menyatakan bahwa laporannya itu tidak benar. Juga mencabut surat kuasanya kepada Farhat untuk melaporkan Ketua KPU Hasyim Asy’ari kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan polisi. Ini melegakan Ketua KPU dan para pendukung status quo. Ada yang langsung jumawa menuding Hasnaeni sebagai pembohong. Akan tetapi tak lama kemudian, tanggal 26 Desember Hasnaeni maju lagi dengan tuduhan semula. Dia mengaku telah meralat laporannya, karena tekanan Ketua KPU dan kawan-kawan dan telah menandatangani draf pencabutan kuasa atas Farhat yang dibuatkan kuasa hukum KPU. Saya tidak ingin memasuki kasus, yang kini populer dengan gratifikasi esek-esek atau gratifikasi apem. Biarlah kelanjutan kasus ini kita ikuti di medmas dan medsos. FNN tentu bisa menayangkan pantauannya sampai tuntas.
Saya cuma mau memberi saran kepada pemerintah dan DPR yang dihuni orang parpol untuk:
Pertama, segera menonaktifkan Ketua KPU dan jajarannya, agar pemerintah tak tertimpa sial akibat kasus ini. Sebab KPU adalah sebuah lembaga super penting yang punya tugas menyelenggarakan pilleg dan pilpres agar menghasilkan Presiden/ wapres berkwalitas dan wakil rakyat independen yang bisa mengawasi dan mengontrol kerja pemerintah untuk kepentingan rakyat.
Kedua, agar segera memilih kembali KPU yang baru, mumpung masih ada waktu. Lagi pula KPU macam begini tidak mungkin diharapkan bersikap netral dan jurdil. KPU macam begini, sebagaimana diungkap Ketum Partai Republik-1, punya misi memenangkan Ganjar – Eric.
Ke tiga, pemerintah atau siapapun yang mewakilinya, untuk segera mengklarifikasi kebenaran atau ketidakbenaran skenario memenangkan Ganjar – Eric dalam pilpres 2024.
Sebab skenario tersebut kalau memang ada, merupakan kejahatan terhadap negara, UUD 1945, dan demokrasi. Juga akan memaksa Ketum PDIP ibu Megawati, yang merasa ditelikung istana, mengasah pedang. Jokowi – Ganjar – Eric takkan dimaafkan ibu Mega. Begitu juga Ketum Gerindra Prabowo Subianto, yang mau nyapres dan sempat diberi harapan oleh Presiden Jokowi. PS bisa patah arang dan merasa dipermainkan. Airlangga Hartarto, Ketum Golkar, pun pasti tak bisa menerima skenario zalim tersebut.
Ujung-ujungnya bila tak segera diklarifikasi pihak istana, maka bukan tidak mungkin Jokowi akan jadi musuh bersama. Dan ini sangat berbahaya, karena thema perubahan dan kedaulatan ekonomi politik akan jadi isu sentral. Di sini, bertemu kepentingan gerakan parlementer dan non parlemen untuk membentuk arus balik yang dahsyat, yang bukan tidak mungkin berdarah-darah.
Sebelum saya tutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan bahwa masih banyak kasus penyalahgunaan wewenang yang dibiarkan begitu saja selama hampir 9 tahun. Tuntutan kaum intelektual kampus, jaringan aktivis ProDEM, Emak-emak militan, Aliansi Rakyat Menggugat (ARM), Aktivis Islam yang selama ini diplot jadi musuh negara akan mengkristal jadi tuntutan perubahan total dahsyat.
Kasus bisnis PCR Menneg BUMN Eric Tohir dan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjajitan, sekadar menyebut sebagian saja, di bidang yang jadi kewenangan mereka, di tengah pandemi pula adalah kasus yang tak bisa dibiarkan menguap. Konon penyalahgunaan wewenang ini telah menggangsir duit rakyat Rp 10 Triliun lebih. Dana yang didapat seluruhnya mesti disita untuk negara.
Kasus ini telah dilaporkan jaringan aktivis ProDEMokrasi ke BARESKRIM, tetapi sampai sekarang belum diproses. Saya bersama senator ProDEM yang lain dan Ketua Majelis Demokrasi Iwan Sumule waktu itu sangat miris melihat ketakutan BARESKRIM untuk sekadar menerima laporan kami. Semuanya saling lempar wewenang, sehingga kami seperti dipimpong. Baru setelah kami demo, BARESKRIM mau menerima laporan kami hari berikutnya. Nampaknya POLRI sebagai aparat penegak hukum tidak berani memposisikan semua orang sama di depan hukum.
Daftar ini bisa diperpanjang misalnya dengan penggarapan Perpu dan RUU menjadi UU di tengah pandemi yang dijaga ketat aparat bersenjata dan diteken Presiden tengah malam (UU Corona yang mengamputasi fungsi anggaran dan kontrol DPR), UU HIP/BPIP yang seperti memplot Islam jadi musuh negara, UU Omnibus Law/Cipta Kerja yang bisa membuat tenaga kerja kita jadi kuli kontrak seumur hidup dan banyak menghapus hak-hak pekerja, UU KUHP yang membrangus kebebasan berpendapat, UU Minerba yang merugikan negara dan menguntungkan investor, UU KPK revisi yang merubah KPK jadi lembaga pemerintah biasa yang bisa dikendalikan presiden. Semua itu akan dianggap sebagai abuse of power dari pemerintah yang digdaya di hadapan DPR yang tak berdaya [IR], 301222