Oleh Fajar
Alumni FKIP Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh
Perilaku berkelompok adalah sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Forbes menyebutkan bahwa perilaku ini sangat berpengaruh pada skill kepemimpinan.
Menurut Trello, mentalitas ini dapat diibaratkan sebagai mentalitas yang ada pada sekelompok serigala. Jika kamu berada di luar kelompok, kamu adalah musuh yang tidak bisa dipercaya. Serigala berjalan dalam kelompok yang memiliki urutan kekuasaan. Kekuasaan tertinggi dipegang oleh “Alpha” yang berwatak otoriter.
Secara alamiah, manusia adalah makhluk sosial dimana kehidupannya tergantung kepada komunitas, baik dalam jumlah kecil maupun besar. Di zaman dahulu, hukuman paling berat untuk manusia adalah dikucilkan atau dikeluarkan dari komunitasnya.
Di zaman penjajahan kolonial masih menggunakan hukuman ini, tetapi mereka menggunakan untuk membuang orang-orang yang dianggap berbahaya bagi kekuasaan kolonial. Tujuanya adalah untuk menakuti orang-orang lain agar tidak memberontak. Jika tetap memberontak akan dibuang dari komunitasnya. Ketakutan akan hilangnya komunitas ini bagian dari “Herd Mentality” atau mentalitas kawanan, dimana dia hanya bisa berani dan eksis ketika berada dalam kawanan.
Herd Mentality ini memang bawaan manusia sejak zaman purba dan tetap ada di dalam alam bawah sadar manusia. Orang takut dicap sebagai PKI atau komunis bukan karena komunisnya, tapi takut ketika stempel itu melekat akan dikucilkan dari masyarakat. Ketika PKI dulu berkuasa, orang-orang begitu bangga menjadi bagian dari PKI.
Calon presiden yang 5 tahun lalu dibenci oleh satu kelompok dengan berbagai isu saat ini orang yang sama dan belum berubah didukung mati-matian oleh kelompok yang dulu membencinya. Kenapa? Karena manusia itu mudah sekali disodorkan identitas palsu yang sesuai dengan keinginan si pemimpinya.
Dalam bidang agama, penyakit ini lebih ngeri lagi, yaitu: “Jika seorang mengatakan sesat kepada satu kelompok, diberikan contoh walaupun itu dikarang bebas, dengan serta merta seluruh masyarakat akan menghujat mereka. Mereka yang ikut menghujat bukan karena tahu, tapi karena mereka takut keluar dari komunitas mereka. Mereka sangat takut jika tidak menghujat nanti dimasukkan ke kelompok yang dihujat itu. Oleh karena itu, dalam perkara ini. kebenaran itu “sangat mahal”, tidak dengan disuguhkan dengan segelas kopi, tetapi engkau harus merawatnya dengan jiwa dan darah agar dia tumbuh dan mengakar. Metode ini memang tidak mudah, karena diperuntukkan untuk mereka yang tidak berada dalam kawanan yang memperoleh keyakinan dengan cara ikut-ikutan.
Dalam sejarah, metode ini pernah dipraktikkan Nabi Muhammad, yaitu menyendiri di Gua Hira, terbebas dari komunitasnya dalam jangka yang lama, sehingga Beliau bisa melihat dengan jernih di mana letak kesalahan dari masyarakatnya. Dari Guha Hira Nabi melihat dengan jelas begitu buruknya akhlak masyarakat Arab zaman itu. Mereka sangat takut kehilangan komunitasnya, sehingga senang atau tidak senang melakukan apa yang kaumnya lakukan.
Nabi Muhammad lewat khalwat (suluk) yang panjang akhirnya terbebas dari penyakit Herd Mentality, karena Beliau bersandar kepada Sang Maha Mutlak, kebenaran Sejati yang di bawah kemanapun akan tetap Benar, akan tetap Menang. Nabi pun mendidik sahabat agar terbebas dari mental buruk itu dengan cara bersuluk dalam jumlah hari tertentu, dan ilmu itu diwariskan hingga saat ini.
Allah memanggil orang-orang yang telah tenang jiwanya :
يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً فَٱدْخُلِى فِى عِبَٰدِى وَٱدْخُلِى جَنَّتِى
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai. Lalu, masuklah ke dalam golongah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku!” (QS. Al-Fajr: 27-30)