Oleh Don Jakayamani
Pada suatu hari Joko sedang menghadiri rapat di kampungnya. Dalam suasana damai dan penuh keakraban mereka saling berbagi ide dan gagasan. Sesekali saling lempar pertanyaan dan saling jawab.
Suasana tiba-tiba hening, sepertinya peserta rapat sedang menghirup udara tak sedap. Ya, rapat terhenti sejenak karena bau kentut. Joko yang sudah 3 hari tidak BAB sadar kentutnya sangat bau. Namun ia juga tak mau menanggung malu, selain tokoh pemuda, ia juga berhasrat menjadi kepala desa.
Singkat cerita peserta rapat saling tuding. Bahkan berlanjut di media sosial. Rapat menyoal buntingnya lembu Pak Irvan disebabkan kelakuan lembu Pak Arman, akhirnya ditunda.
Masyarakat mulai mencari tahu siapa sebenarnya yang kentut dalam rapat itu. Spekulasi menghiasi beranda media sosial dan grup wa. Ada yang menuduh itu ulah pendukung Pak Arman. Ada pula spekulasi pelakunya kelompok Pak Irvan.
Setelah peristiwa itu masyarakat memilih rapat dilakukan di grup wa saja. “Kami gak mau rapat kalau masih ada PKI di kampung kita”, kata Jono. “Eh lu jangan asal bicara, mana ada PKI di kampung kita”, sahut Ali. Debat terus berlanjut di grup wa. Usut punya usut, yang dimaksud PKI oleh Jono adalah Partai kentut Indonesia.
Perdebatan soal kentut dan partai kentut masih terus terjadi. Apa hendak dikata, kampung itu terus berselisih soal kentut sementara di kampung sebelah pembangunan terus berlanjut. Begitulah kentut, meski tak jelas keluar dari dubur siapa, namun cukup efektif menghentikan rapat, membuat perpecahan, bahkan saling tuding.
Bisa jadi bukan hanya Joko seorang yang kentut. Bisa jadi ada beberapa orang yang kentut sehingga terjadi koalisi bau. Haruskah mereka berdamai dengan kentut, sehingga rapat tatap muka dapat dilaksanakan meski ada yang kentut saat rapat? lalu, sudahkah Anda kentut hari ini?