Bussairi D. Nyak Diwa
Begitulah, keseharian hidupku di pesantren sungguh menyenangkan. Setiap hari, sepulang sekolah aku bekerja, tanpa harus buang-buang waktu kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Jika sebagian teman-teman sibuk dengan kegiatan pramuka atau olahraga sepulang sekolah, aku malah sibuk dengan kerja yang sama-sama juga memeras keringat. Tapi bukan berarti bahwa aku tidak berolahraga samasekali, selesai shalat ashar aku juga sering main bola di halaman pesantren yang luas bersama teman-teman. Nek Abu tidak pernah melarang kami berolahraga setelah shalat ashar. Yang penting kami harus patuh pada peraturan bahwa olahraga dibolehkan sehabis shalat ashar berjamaah dan berhenti jangan lewat dari pukul setengah enam. Siapa yang melanggar pasti akan mendapat sanksi atau hukuman baik secara kolektif maupun secara individu.
Jika bosan bekarja, apalagi kalau sedang tidak sekolah aku sering pergi ke kebun bersama Teungku Cunda dan Teungku Rusli. Biasanya hari Minggu pagi Teungku Cunda sering ke kamarku menanyakan apakah aku mau ikut ke kebun. Aku tak pernah menolak ajakan Teungku yang hanya punya sebelah tangan itu. Kami jalan kaki sejauh kurang lebih lima kilometer menelusuri pantai dan satu muara yang dangkal. Meski jauh berjalan kaki, tapi kami tak pernah merasa lelah karena sambil melangkah kami bercanda sepenjang jalan. Aku sangat bersyukur punya seorang teman sebaik Teungku Cunda, karena di samping pengertian, Beliau juga suka melucu dan bercerita. Cerita-cerita yang Beliau kisahkan padaku kebanyakan pengalaman hidup yang dialaminya di kampung halamannya di Aceh Utara sana. Salah satu kisahnya adalah tentang suatu peristiwa yang menyebabkan dia kehilangan tangan kanannya. Tak terasa air mataku menetes manakala mendengarkan ceritanya waktu itu. Tapi aku tidak pernah menceritakan kisah hidupnya yang menyedihkan itu kepada siapun hingga hari ini, meskipun sudah puluhan tahun kami berpisah dan tak bertemu muka. Kabar terakhir yang kudengar, Teungku Cunda saat ini sudah sukses di negeri seberang sana. Beliau sekarang menjadi seorang pendakwah yang ternama dan kayaraya di Malaysia. Beliau juga punya pesantren dengan ribuan santri di negeri jiran itu.
Menjelang siang usai bekerja di kebun, kami ke muara membeli ikan segar dari nelayan yang baru pulang melaut. Ikan-ikan itu kami bakar di bawah pohon cemara. Kami bergiliran shalat dhuhur dan menunggu masaknya ikan bakar. Lalu makan bersama-sama dengan teman nasi ikan bakar dan daun pepaya muda yang baru dipetik dari batangnya. Betapa sedapnya makan bersama di bawah pohon-pohon cemara diselingi angin siang yang lembut dan sepoi-sepoi dari lautan. Menjelang sore kami pulang, meski capek tapi hati dan perasaan terasa lega. Malamnya, tidurku pun terasa nyenyak sekali.
Malam-malam sehabis mengaji, aku sering duduk-duduk sendirian di teras perpustakaan sambil membaca buku, koran atau majalah. Di rak-rak dan lemari dalam perpustakaan banyak terdapat buku-buku bacaan. Bermacam-macam bahan bacaan ada di sana. Ada buku-buku umum dan buku-buku cerita, mulai dari yang ringan hingga bacaan yang berat. Ada juga majalah dan koran. Majalah yang sering kutemukan di sana adalah Panji Masyarakat, Santunan, dan Tabloid Darussalam. Tapi yang sering aku baca adalah Majalah Panji Masyarakat. Kalau buku, aku suka baca buku-buku cerita; kumpulan cerpen, novel, atau roman. Buku-buku roman masa ‘Poejangga Baroe’ atau ‘Balai Poestaka’ banyak terdapat di perpustakaan ini. Buku roman Tenggelamnya Kapal Vanderwijk, Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Merantau Ke Deli, Tak Putus Dirundung Malang, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Pengalaman Masa Kecil, dan puluhan roman lainnya ada di sini. Dan buku-buku itu telah membuat diriku memperoleh pengalaman baru, dunia baru, dunia yang penuh dengan sensasi dan imajinasi, tapi kaya dengan bekal rohani. Saking banyaknya buku-buku dan bahan bacaan di perpustakaan ini, suatu ketika aku pernah bertanya dalam hati; dari mana Nek Abu mendapatkan semua bahan-bahan bacaan itu. Barulah puluhan tahun kemudian aku tahu jawabannya, itu pun setelah aku merantau dan menjadi mahasiswa di kota.
(Bersambung)