Oleh : Tjoet Dhia Salsabila Tandi
Pelajar Kelas 9A SMPIT TEUKU UMAR
Meulaboh, Aceh Barat
Dahulu kala, terdapat sebuah legenda tentang seekor burung ajaib yang bisa berbicara dan saaangat menyukai benda-benda berkilauan. Permata, rubi, mutiara, emas atau bahkan sebilah pedang bakal ia ambil. Menariknya, semua benda yang diambil oleh burung itu pasti memiliki ‘hal unik’ masing-masing.
Seperti sebuah rubi yang bisa merubah warnanya sesuai keinginan pemiliknya, emas yang bisa berubah bentuk, atau pedang yang bisa membelah batu. Intinya, semua barang yang ia ambil, pasti akan diburu oleh kolektor barang ajaib. Tapi tentu saja tak semudah itu.
Selain julukannya sebagai burung terpandai di masa itu, burung ajaib berbulu biru ini juga dinamai sebagai ‘Pencuri Ulung’ dan ‘Burung Bunglon’ karena dia suka mencuri dan pandai menyembunyikan diri maupun barang curiaannya.
Tak sedikit rakyat atau bahkan bangsawan yang kehilangan barang berharganya. Tak jarang pula Raja memerintahkan para kesatria untuk menangkap biang kerusuhan puluhan kasus pencurian di Kerajaan Biru.
Seminggu berganti sebulan.
Berganti setahun hingga lewat 3 tahun dan burung itu masih belum tertangkap. Menyadari kekhawatiran dan keresahan rakyatnya, Raja Kerajaan Biru pun mengadakan sebuah sayembara yang berbunyi :
Bulu beo beragam warnanya
Lihai sekali dia meniru suara
Barangsiapa bisa menangkap sang biang masalah
Raja kan kabulkan 3 permintaannya
Ketika sayembara tersebut diumumkan, suasana sangat riuh. Rakyat serta para kesatria berbondong-bondong menuju alun-alun kerajaan. Sebagian kecil mendaftar ikut sayembara, sebagian menebak-nebak siapa gerangan yang bisa menangkap burung itu dan memenangkan sayembaranya.
Sedangkan yang lain sibuk bergosip ria tentang apa yang akan diminta oleh sang pemenang sayembara. Ketika semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing, seorang pemuda dengan baju yang dekil maju menghadap Raja.
“ Bi-biarkan hamba mengikuti sa-sayembara ini, Raja. Ha-hamba memiliki seorang Ibu yang sakit-sakitan, da-dan beliau sangat ingin makan buah Apel Biru, Raja, se-sedangkan harga…. Uh- Apel Biru sa…. Sangat mahal. ” Ucap sang pemuda dengan bahu yang bergetaran. Kakinya masih sakit karena berjalan tanpa alas kaki apapun sembari mengangkat puluhan karung demi mendapat uang untuk membeli makan ia dan Ibunya. Harapannya yang sudah hilang untuk membeli Apel Biru untuk sang Ibu muncul kembali ketika dia mendengar sayembara yang diadakan Raja.
Di sisi lain para rakyat semakin kuat bergosip,
“ Dilihat dari cara bicaranya…”
“ Dia bahkan tak punya alas kaki, bagaimana mungkin dia bisa menangkap burung itu? ”
“ Bajunya sangat dekil, mustahil dia bisa memenangkan sayembaranya…”
Raja menghembuskan nafas kasar. Seketika semua orang yang berada di akun-alun kerajaan berhenti bicara. Raja bangkit dari kursinya, lalu berkata,“ Sayembara ini boleh diikuti oleh siapapun, bahkan seorang budak sekalipun. ”
Raja melihat wajah pemuda itu lamat-lamat. Wajah yang lelah dan dekil, tapi di matanya terdapat sinar semangat bertahan hidup dan berjuang yang tinggi. Pemuda itu mengingatkan Raja akan dirinya yang dulu. Perlahan, Raja berjalan ke arah pemuda itu lalu bertanya, “ Seandainya kau bisa menangkap burung itu, apa permintaan yang kau inginkan wahai pemuda? ”
Pemuda itu menjawab dengan mantap dan tanpa ragu-ragu,
“ Saya ingin Apel Biru sebanyak 20 karung, pengobatan dari tabib kerajaan gratis sampai ibu saya sembuh dan… saya ingin menikahi Putri Prisa. ”
Raja tersenyum, menepuk pundak pemuda itu pelan lalu berbisik,
“ Cobalah jika kau bisa, Bajingan. Karna Prisa adalah permataku yang paling berharga dan kau, hanya seorang pemuda miskin yang bahkan tidak bisa membeli alas kaki termurah.” Raja melangkah kembali ke singgasananya lalu berkata kepada seluruh rakyatnya, “Aku, Raja Kerajaan Biru dengan ini menyatakan jika pemuda di hadapanku bisa memenangkan sayembara ini maka, akan kunikahkan dia dengan Putriku!..”
Para kesatria, rakyat dan pemuda itu terdiam, seperti mendengar seseorang berkata bahwa sapi bisa terbang, mulut mereka menganga dengan tatapan tak percaya.
Raja menyeringai licik, “ TAPI! ”
Semua-nya menahan napas
“ Jika pemuda ini tidak bisa memenangkan sayembaranya maka ia dan Ibunya harus angkat kaki dari kerajaan ini! ”
Pemuda itu ingin pingsan saat itu juga.
“…dan singkat cerita sang pemuda berhasil menangkap burung itu dan bahkan menjadikannya sebagai peliharaan serta menamainya Rum. Rumor beredar bahwa ‘Rum’ merupakan nama seorang gadis yang membantu sang pemuda menangkap ‘Rum’ dan merupakan orang satu-satunya yang diberikan permata oleh sang burung…
… sang pemuda jatuh cinta kepada keberanian ‘Rum’ lalu melamarnya. Di hari pernikahan mereka yang megah, Raja datang dan memberitahu sang pemuda bahwa ‘Rum’ adalah nama kecil putrinya yang tak lain bernama asli Putri Prisa Rum.
Kalung yang kau pegang sekarang terbuat dari permata pemberian Rum yang dijadikan benda pusaka turun temurun keluarga kita dan HANYA BOLEH diberikan kepada anak perempuan tertua di setiap generasi.” Ucap Nenek, mengakhiri dongeng menyebalkan yang selalu diulangnya setiap akhir pekan.
Yozita Rana, anak perempuan tertua keluarga Yozi serta kebanggaan Pak Rana hanya mengangguk malas ketika Neneknya kembali mengingatkan dirinya untuk menjaga kalung itu baik-baik lalu meneruskannya kepada anak perempuan tertua generasi selanjutnya.
“ Yozi, Nenek tau kamu bosan mendengarnya tapi ingat, jangan pernah memohon yang aneh-aneh kepada kalung itu. Benda mati tidak akan membawa manfaat apapun kepada kita. ” ucap Nenek Yozi sebelum menghidupkan TV lalu tertidur tepat ketika suara penyiar berita bersuara.
Yozi hanya menghela napas melihat kelakuan neneknya lalu bangun dari duduknya dan berjalan menuju dapur. Minggu pagi seperti ini sangat cocok untuk mengganggu Ibunya dan memakan tempe goreng tepung bumbu.
Seharusnya seperti itu, andai saja ia tidak menemukan Ibunya yang tergeletak begitu saja di lantai dapur, dengan mata yang menatap tajam ke arahnya.
Ah tidak, maksudnya mata yang menatap tajam kearah kalungnya.
Seolah memperingatkan Yozi,
‘kalung itu berbahaya’
Seminggu ini, Yozi hanya berdiam diri. Selama proses pemakaman atau ketika para pelayat berdatangan melayat ke rumahnya, Yozi hanya bersikap acuh.
Dulu Yozi berpikir kalau Ibunya sangat cerewet dan menyebalkan. Menyuruhnya ini dan itu, lalu menceramahinya tentang segala hal. Terkadang ia berharap agar Ibunya menghilang saja. Tapi sekarang, Yozi merasa seminggu sejak kematian Ibunya terasa sangat… hampa.
Tidak ada suara yang memarahinya karena telat bangun, tidak ada yang memasak tempe goreng tepung bumbu ataupun memeluknya setiap pulang sekolah lalu menanyakan bagaimana kesehariaan-nya di sekolah.
‘Yozi mau tempe? Ibu ada masak tempe goreng pakai tepung bumbu kesukaan mu, tuh.’
‘YOZI YA TUHAN INI SUDAH JAM DE.LA.PAN!’
‘Yozi hari ini ngapain aja? Seru gak? Ada diganggu sama teman atau anak Ibu ganggu anak orang?’
Yozi menangis di balkon kamarnya.
Menatap taburan Bintang di langit yang menemani sang Bulan, sembari memeluk teddy bear dari Ibunya untuk ulang tahunnya yang kesebelas. Di lehernya , terpasang kalung dengan rantai perak dan liontin berupa permata berwarna biru. Kalung pemberian Nenek yang niatnya ingin ia pamerkan kepada sang Ibu.
“ Ibu, hiks… Yozi kangen Ibu, hiks… Yo-Yozi janji kalau Yozi bisa ngulang waktu ke masa dimana Ibu masih ada, hiks… Yozi bakal jadi anak baik dan gak bakal ganggu Ibu lagi huhuu..”
Tanpa Yozi sadari, kalungnya bersinar sebentar lalu seiring dengan cahaya yang memudar, perlahan kesadaran Yozi menghilang.
Dalam kegelapan yang seolah tiada ujungnya
Dalam dingin yang menyelimuti tubuh ringkih sang gadis
Gadis itu berlari tak tentu arah, mengikuti nalurinya. Mengikuti kata hatinya.
Dalam keheningan yang mencekam, sebuah suara terdengar menggema, lagi
‘apa kamu ingin bertemu ibumu lagi?’
Yozi berhenti, suara itu, suara yang berusaha ia cari pemiliknya sedari tadi. Suara siapa itu?
‘Aku bisa membantumu tapi, ada harga yang harus kau bayar.’
Yozi menggenggam ujung bajunya. Dirinya senang ada kesempatan untuk bertemu Ibunya lagi tapi, apa harga yang harus dirinya bayar untuk itu?
‘Ingatanmu.’
Yozi terdiam sebentar lalu, tanpa ragu dia menganggukkan kepalanya. Apapun untuk bertemu Ibu, batinnya gadis itu.
Seketika kegelapan itu perlahan sirna, seperti kaca yang pecah akibat seseorang menghantamnya, cahaya putih yang terang menyelinap masuk, menarik Yozi untuk berlari lagi.
Namun kini Yozi tau tujuannya, Yozi tau kearah mana ia harus berlari,
Dan arah itu adalah rumahnya,
Ibunya.
Yozi terbangun di kamar, dengan pakaian yang ia pakai dihari Ibunya meninggal.
Ia mengecek alarmnya,
Jam delapan lewat lima belas menit
Lalu berlari dan melihat tanggal berapa sekarang
7 Mei 20xx
Ini adalah hari Ibunya meninggal!
Yozi berlari menuruni tangga, masih dengan piyama tidurnya dan mata khas orang bangun tidur. Melewati sang Ayah dan Neneknya, yozi berlari ke arah dapur…
“ Yozi? ” Ibu Yozi menatap anaknya heran, tumben sekali anak gadisnya mau bangun pagi tanpa harus dirinya marah-marah dulu, pikir sang Ibu.
Tanpa aba-aba, Yozi langsung memeluk ibunya erat-erat, menangis dan meminta maaf atas segala kelakuaannya lalu memohon agar Ibunya tetap ada di sisinya sampai hari tuanya nanti.
“ Ibuuu.. ” Yozi menangis sejadi-jadinya, masih merasa ragu kalau dirinya benar-benar mengulang waktu dan ibunya masih hidup.
Tanpa sadar bahwa, kalungnya menghilang.
Seharusnya pukul delapan lewat dua puluh menit, Yozi berada di ruang keluarga, sedang mendengarkan cerita neneknya.
Seharusnya sekarang ia sudah menerima kalung itu dan dalam perjalanan menuju dapur untuk pamer kepada Ibunya.
Seharusnya sekarang…
Yozi terus menangis, membuat bingung Nenek dan Ibunya..
Hingga ia tak sadar kalau jam delapan adalah waktu ayahnya sedang sibuk-sibuknya di toko, lalu,
bagaimana ayahnya bisa disini daa,
Sejak kapan ayahnya punya peliharaan burung biru?
Ayah yozi hanya menyeringai melihat anak perempuannya menangis lalu berbisik pada Rumi, seolah-olah burung biru itu mengerti ucapannya,
“ Kalung itu adalah kalung yang memiliki kekuatan memanipulasi waktu, Yozi-ku. Nyatanya masa dimana kau melihai Ibumu meninggal hanyalah ‘waktu buatan’ permata itu. Sedangkan ‘kegelapan’ yang kau rasakan adalah ujian sekilas dari permata itu apakah kau pantas jadi pemiliknya atau tidak.
Dan tentu saja kau pantas, Yozi-ku. Karena kau adalah anakku, keturunan sang pemiliki Rum, burung ajaib.”
TAMAT
Tema : Mengulang waktu
Tokoh / Penokohan :
1. Rum -> burung ajaib suka mencuri barang berkilauan
2. Raja -> bijaksana
3. Sang pemuda-> tidak malu akan ejekan orang lain dan pemberani
4. Sang gadis-> pemberani
5. Rakyat+kesatria->suka menggosip
6. Yozi-> gadis naif keras kepala
7. Ibu Yozi-> penyayang kepada anaknya
8. Ayah Yozi-> misterius, sayang kepada anaknya
9. Nenek Yozi-> suka bercerita dengan Yozi, penyayang, sabar
Latar : Rumah Yozi
Alur : Maju, karena tidak ada flashback atau cerita masalalu tokoh
Sudut pandang : Orang ketiga
Amanat : jangan menyia-nyiakan waktu berharga dengan keluarga