Kado Terindah Dari Seorang Bapak

Program 1000 Sepeda Berbagi Kebahagiaan


Oleh  Riska Safira kelas: XI MIA, MAN 4 Trienggadeng, Pidie Jaya, Aceh

Aku seoarang remaja dari keluarga yang kurang mampu. Ayahku bekerja sebagai buruh tani dan ibuku seorang ibu rumah tangga. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Kehidupan kami yang serba keterbatasan,tidak membuat aku pantang menyerah terutama dalam menuntut ilmu. Kini aku duduk di bangku kelasa XI MA yang ada di wilayahku.Teman-temanku sering menyapaku dengan panggilan Fira.

Pagi hari sebelum berangkat ke sekolah, seperti biasa aku membantu ibu mencuci piring dan menyapu ruangan dalam dan pekarangan rumah. Setelah itu, aku bergegas bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Perjalanan ke sekolah kutempuh dengan berjalan kaki. Keinginan untuk memiliki sepeda harus kuurung jauh-jauh. Keadaan ekonomi orang tuaku yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari , membuat aku harus banyak bersyukur. Bersabar semoga suatu saat Allah mengabulkan doaku yang tersimpan dalam lubuk hati kecil untuk memiliki sepeda. Yaah,…hanya sepeda bukan sepeda motor.  

 

Hari terus berlalu, perjalanan ke sekolah dengan jalan kaki masih menjadi sahabat sehari-hari. Namun, aku hanya memulai perjalannan kaki sekitar beberapa menit saja. Sepanjang perjalanan selalu ada yang mengulurkan bantuan, memberiku tumpangan. Ditumpangi oleh orang-orang dekat yang kukenal seperti paman,tetangga, dan teman-teman lainnya. Walaupun beda sekolah antaran mereka aku sangat bersyukur, mereka telah meringankan langkahku. Perjalanan kulanjutkan lagi dengan berjalan kaki.

 

Tiba di sekolah

”Hai Zia..!” Aku menyapanya.

“ Hai Fira…!”  Dia membalas sapaanku. 

”Kamu kenapa  Fira?”, tanyanya perlahan.

” Aku ngak papa”,   balasku dengan suara lemah.

” Emangnya saya kenapa?” lanjutku lagi.

“Aku lihat kamu hari ini yang duluan ada di kelas, kamu terihat ngos-ngosan seperti dikejar sesuatu”,  sahutnya.

“ Ohh…itu karena aku berjalan terburu-buru, kan… kita hari ini ada ulangan Matematika, kata bu guru kemarin. Aku juga ketua kelas, harus datang lebih cepat biar menjadi contoh buat teman-teman lainnya.” “Oke juga kamu Fira.”

“ Maksih ya Zia!” 

“ Makasi buat apa Fira?”

 “Ya , makasih aja , kamu udah peduli pada   aku!”

“Sama-sama Fira !” lagian ngapain ucapin terima kasih, kan sesama teman kita harus peduli.”

Dari kejauhan terlhat bu Tina, guru Matematika menuju ke kelas. Aku dan Zia bersiap-siap menunggunya. Begitu pula dengan teman-teman sekelas lainnya.

“ Anak-anak, hari ini kita tidak jadi ulangan Matematika karena ibu lihat teman-teman kalian banyak yang tidak datang”, ujar bu Tina.” Persiapkan diri lebih baik lagi agar mendapat nilai yang tinggi biar mudah diterima di PTN favorit tanpa harus ikut tes,” pesannya lagi.

“Tapi aku sama sekali tak yakin bisa kuliah nanti walau nilai aku tinggi”, batinnku berbicara. “Bagaimana tidak, untuk sekolah sekarang saja aku mengharap belas kasihan orang lain  karena orang tuaku tak mampu membiayainya. Untuk jajan saja  kadang ada, kadang tidak. Terkadang aku harus membawa bekal seadanya dari rumah.” 

Untuk jajan aku juga pernah berjualan es dan peyek kacang untuk teman-teman di kelas. Namun, usahaku itu tidak berlanjut lama karena ada seorang guru menegurku untuk tidak berjualan  di kelas. Mungkin itu juga salahku, kecoblosan menawarkan jajanan  kepadanya tanpa sengaja sehingga membuat suasana riuh sekelas. Aku pun tidak lagi berjualan sekarang. Aku pasrah saja kalau memang ada dikasih jajan sama ayah, alhamdulillah aku terima saja, kalau tidak pun tidak apa-apa, aku tidak menuntut berlebihan. Aku tetap pergi ke sekolah menjalani perjalanan seperti biasanya.

Saat menikmati makan malam, ayahku memberi motivasi kalau aku berhasil mendapat juara 1 tahun ini, aku akan dibelikan sebuah sepeda seken  untuk ke sekolah. Hatiku berbinar mendengar tutur ayah. Tak apa yang seken aku bahagia mendengarnya. Padahal sejak SD hingga sekarang  selalu peringkat 1, tapi entah kenapa ayahku sekarang ini menjanjikan sebuah sepeda seken untukku? Itupun kalau ayah punya rezeki lebih katanya dengan mata berkaca-kaca. Aku pun tidak berharap ayah, yang penting kita bisa makan dan sehat. Persoalaan aku jalan kaki ke sekolah tidak memaksakanku  untuk berhentidan  putus sekoalah. Ayah jangan khawatir tentang itu, aku selalu berdoa agar Allah SWT selalu membuka pintu rezeki kepada kita semua, ujarku.

Keesokan harinya seperti biasa aku bergegas ke sekolah karena hari Selasa piket kelas. Aku bersama tiga teman  lainnya menyapu ruangan kelas dan halaman kelas. Tiba-tiba muncul Bu Sarah sambil menyapa ku,” O, Fira dengan apa kamu ke sekolah hari ini?” Lantas kujawab seperti biasa Bu, jalan kaki dari rumah , ndak ketemu siapa-siapa yang bisa kutumpangi.”

”Emangnya berapa Km dari rumah ke sekolah Fira?”

“ Lumayan Bu, sekitar 3 Km.”

Bu Sarah merasa prihatin mendengar jawabanku dan berharap suatu ketika jika ada bantuan semoga aku bisa kebagian. Bu Sarah pun mohon diri dan aku pun masuk ke kelas untuk mengikuti pelajaran seperti biasa.

Bel pulang pun berbunyi, semua  Siswa buru-buru pulang, ada yang naik motor sendiri       dan ada yang dijemput oleh orang tuanya atau kakaknya. Aku pun melangkahkan kaki untuk pulang seperti biasa dengan seorang teman yang kebetulan juga hari itu tidak membawa motor. Di tengah perjalanan pulang, kami pun berhenti sejenak untuk menghilangkan penat. Kebetulan kami berteduh di bawah pohon rambutan yang sedang berbuah. Tak disangka-sangka rupanya sang pemilik datang. Kami pun diusir sambil dimaki-makinya, dikira kami ingin mengambil rambutannya. Aku dan temanku segera beranjak ke tempat perteduhan lainnya.Tak lama kemudian si pemilik pohon rambutan itu sudah membawa satu kantong keresek buah rambutan kepada kami dan seraya meminta maaf karena kesalahpahaman tadi.

Selang beberapa saat, aku dan temanku sampai di rumah masing-masing. Jam sudah menunjukkan pukul 14.30, aku bergegas shalat duhur. Sementara orang tuaku sudah menungguku untuk makan siang bersama dengan lauk seadanya.

 Tiba-tiba ayah bertanya, ”Kapan ujian semester Kakak?”        

 “O…, bulan depan Ayah, jawabku.”

 “ Kalau begitu masih ada waktu tuk belajar, jangan banyak buang –buang waktu dengan main

    HP ya!” ujar ayahku.

 Aku pun menunduk seraya mengatakan , “iya, Ayah.”

 

Ujian semester genap  pun dimulai . Hari demi sehari kulalui dengan penuh keyakinan. Alhamdulillah, materi ujian sesuai dengan meteri yang dipelajari sehari-hari. Hal ini sangat memudahkanku menjawab lembaran ujian karena apa yang kupelajari di rumah itu yang ditanyakan saat ujian. Alhasil ketika diumumkan peringkat kelas pada saat pembagian rapor oleh Ibu Pengajaran aku ternyata mendapat juara umum. Betapa bahagianya hatiku kali ini bisa mempersembahkan  yang terbaik buat orang tua di rumah.

Aku pulang sekolah dengan hati gembira. Tak terasa letih walau harus berjalan kaki. Terbayang sudah wajah bahagia ayah dan emak. Sepanjang perjalanan aku tersenyum gembira bahkan kadang bercerita dengan angin. Impian mendapat sepeda sudah di depan mata. Ah lega rasanya. Perjuangan yang kulakukan bisa kupetik dengan lancar. Pasti dan pasti hadiah itu ada. Hatiku terus berteriak bertalu-talu mengingat sepeda impian.

Ketika sampai di rumah, aku mengucap salam yang langsung disambut oleh ibu. Kubuka resleting tas dan tak sabar menyerahkan langsung rapor kepada ibu, betapa bahagia raut wajah ibu ketika membaca catatan raporku, peringkat satu tertores di sana. Ibu memelukku hangat dan mengusap kepalaku. “Anak ibu memang terbaik,” ujar Ibu. Percakapan singkat lainnya pun terjadi.

Sementara itu, ayah belum pulang dari tempatnya bekerja. Ibu tak sabar menunggu ayah pulang untuk memberi kabar gembira. Tanpa menunggu lama sang ibu langsung saja menelpon ayah untuk menyampaikan berita gembira. Sang ayah juga sangat senang dengan apa yang disampaikan ibu. Ayah akan segera pulang jika pekerjaan di kebun pak Andi sudah selesai.

Sore hari tepatnya pukul lima ayah sampai ke rumah. Memberi salam dan langsung mencari keberadaanku. Ayah bertukar cerita tentang prestasiku hari ini. Namun, ada raut kesedihan di wajahnya  ketika di akhir kata terucap tentang janjinya. Sepeda yang dia janjikan belum bisa mewujudkan seperti  jannjinya kepadaku kala itu. Aku tidak menunjukkan kekecewaan dengan tutur kata ayah walau tadi sangat berharap.

“Tidak apa-apa ayah, mungkin belum rezeki saat ini,” balasku segera. Aku tidak mau ayah larut dalam ketidak berdayaannya. Padahal aku sama sekali tidak akan me untuk karena aku tahu betul keadaan ekonomi orang tuaku yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani, itu pun kalau ada yang suruh kerja. Biarlah terkubur impian memiliki sepeda walau hanya seken.

Tanpa setahuku, rupanya ayah dan ibu berencana mencari pinjaman untuk membeli sepeda seken aja kepadaku. Hal itu kuketahui melalui adik yang katanya mendengar percakapan mereka tanpa sengaja. Aku tak ingin membuat ayah terbebani dengan hal tersebut.  Setelah kuketahui rencana itu, aku langsung menghalangi niat orang tuaku. Tetapi tanpa sepengetahuanku mereka tetap saja bersikeras mencari pinjaman pada pamanku sebesar RP 500.000,00-. Pamanku baru bisa menberi pinjaman bulan depan katanya. Rasa sedih di raut wajah ayahku terlihat saat kembali ke rumah.

Siang dan sore pun berlalu dengan begitu cepat. Malam pun tiba , seperti biasa setelah shalat magrib aku dan adik membaca AL-Quran, mengulang pelajaran ,dan membuat PR. Hatiku saat itu terasa damai dan nyaman seperti tidak ada masalah apa-apa  dalam hidup ini. Suara deru mobil yang berlalu-lalang sudah biasa terdengar di jalan depan rumahku , tetapi malam itu agak sedikit aneh seperti  ada suara mobil yang berhenti di depan  rumah mungilku. Kucoba menyibak  gorden usang jendela kecil sambil mengintip keluar. Ada sebuah mobil terbuka berhenti di halaman rumah dengan beberapa sepeda di atasnya. Terlihat juga ayah menuju pintu. Secara bersamaan ayah pulang dari surau.  Ayah membukakan pintu rumah seraya berucap, “ Nak, coba lihat di luar ada tamu yang ingin bertemu denganmu!” Hatiku berdetak kuat membayangkan tamu yang datang itu bapak-bapak dan beberapa anak muda ,tentu ada tujuan lain seperti yang pernah dialami oleh teman sekampungku bebrapa bulan yang lalu, yaitu dibawakan jodoh untuknya. Tak hanya itu, kalau hal itu terjadi sama seperti yang dialami gadis di kampungku, tamatlah sudah sekolahku sebelum masanya.

Dengan penuh tanda tanya dan penasaran aku melakukan perintah ayah. Tak lupa memakai jilbab dan menyapa tamu seperti yang dikatakan ayah.Lelaki separuh baya pun mendekatiku dengan uluran tangan yang bersahaja sambil memperkenalkan diri, namanya   Tabrani Yunis, Pimpinan redaksi dari majalah POTRET . Kedatangan kami kemari bersama bapak kepala sekolah, ibu guru, dan beberapa krue dari majalah POTRET dan Anak Cerdas dengan tujuan ingin mengantarkan bantuan sebuah sepeda baru untuk Fira agar mudah pergi ke sekolah. Beliau memberitahuku. Rasa kagum bercampur haru menyelimuti kalbuku saat itu, ingin rasanya menangis tapi aku tahan karena di depan tamu. Krue majalah POTRET mewawancara aku dengan beberapa pertanyaan. Mereka juga menanyakan, apakah aku mau menggunakan sepeda ke sekolah?  Langsung aku jawab bersedia. Dua orang krue naik ke atas mobil, dan menurunkan satu sepeda panca warna hijau  dan masih dalam plastik. Lalu diserahkan kepadaku. Aku merimanya dengan senang hati sambil mengelus dada dan mengucapkan alhamdullilah. Aku terharu saat memegang stang sepeda. Tak ada kata yang bisa kuucapkan. Aku terhipnotis dalam kebisuan hingga bapak Tabrani Yunis bertanya. “Gimana Kamu suka?” spontan aku menjawab, “suka sekali pak,” berakhir dengan malu-malu sambil mengusap wajahku. Akhirnya, kami sekeluarga tak lupa mengucapkan terima kasih atas hadiah tak ternilai bagi aku juga ayah ibuku. Mereka pun pamit dan bergegas pulang karena malam itu juga harus kembali ke kota tempat tinggal.

Semalaman aku tidak bisa tidur , memikirkan suatu keajaiban yang terjadi tanpa kuduga sama sekali. Selain itu, juga kepikiran besok ketika aku akan  ke sekolah bagaimana reaksi teman terhadapku bersepeda baru ke sekolah karena tidak semua anak kebagian sepeda baru. Benar, seperti yang kuduga, ada satu teman yang merasa iri kepadaku hingga-hingga mengadu  kepada orang tuanya, Dengan penuh amarah sang ibunya datang ke sekolah ingin menemui guru BK dan kepala sekolah perihal anaknya tidak kebagian sepeda. “ Apa sih yang kurang pada anakku sehingga tidak dapat sepeda.”, ucap ibunya. Untung saja guru BK dapat mengklarifikasi berita yang berkembang bahwa yang dapat sepeda bukan berarti ada hubungan  saudara dengan guru BK dan Kepala Madrasah. Ini murni program dari CCDE, majalah POTRET dan Anak Cerdas  untuk beberapa siswa sesuai dengan jumlah yang tersedia. Yang belum beruntung saat ini bisa jadi di tahap berikutnya.

Peristiwa itu sama sekali tak kusangka, ternyata Allah SWT  punya cara tersendiri untuk mewujudkan impianku sejak duduk di bangku SD. Hal yang tak disangka-sangka terjadi ba’da magrib itu. Seorang bapak penuh ikhlas mengantarkan sepeda  panca  baru ke rumahku. “Terimakasih, Bapak ucapku, sungguh jasa Bapak tak sanggup kami balas. Hanya kami tiitpkan doa untukmu semoga Bapak sehat selalu agar bisa  menjalani aktivitas dan diberi kemudahan rezeki oleh Nya.”

Exit mobile version