Oleh Dr. Nurkhalis Mukhtar, Lc., MA.
Dosen STAI Al-Washliyah Banda Aceh
Nama asli beliau adalah Teungku Syekh Abbas Kuta Karang, namun masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Teungku Chiek Kuta Karang. Beliau merupakan ulama Aceh yang dituakan dalam perang Aceh yang dipimpin oleh Teungku Chik Di Tiro. Beliau dan Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee adalah ulama yang sangat diperhitungkan dalam perang Aceh.
Tidak diketahui secara persis tahun lahirnya Teungku Chik Kuta Karang, namun secara pasti beliau lebih tua dari ulama yang segenerasi dengannya. Beliau lebih tua dari Teungku Chik Pantee Kulu, Teungku Chik Di Tiro dan Teungku Chik Pantee Geulima, kemungkinan sebaya dengan Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee. Teungku Chik Kuta Karang juga seorang Qadhi Kesultanan Aceh pada era terakhir, masa awal mulai peperangan Aceh, beliau berada pada posisi Qadhi Malikul Adli sedangkan Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee sebagai Qadhi Rabbul Jalil, keduanya adalah ulama besar.
Disebutkan bahwa Teungku Chik Abbas Kuta Karang mematangkan keilmuannya di Mekkah. Melihat kepada teman yang sebaya dengannya, maka Teungku Chik Abbas Kuta Karang belajar di Mekkah segenerasi dengan ulama nusantara lainnya yaitu Syekh Nawawi al-Bantani yang diperkirakan lahir pada tahun 1813 dan wafat tahun 1897 dalam usia 84 tahun. Syekh Nawawi adalah ulama yang dikenal produktif dalam menulis. Ada yang menyebutkan karya beliau mencapai 114 judul, dan umumnya ditulis dalam bahasa Arab. Sampai sekarang karyanya dicetak di berbagai percetakan Timur Tengah, termasuk di Kairo Mesir dan Bairut Libanon.
Sebagaimana Syekh Nawawi berguru kepada Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, maka kemungkinan Teungku Chik Abbas Kuta Karang juga belajar pada Syekh Zaini Dahlan sama halnya dengan Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee juga demikian. Selain Syekh Ahmad Zaini Dahlan, ulama lainnya yang berasal dari nusantara dan menjadi pengajar di Masjidil Haram pada masa itu adalah Syekh Ahmad Khatib Sambas yang juga merupakan Syekh Kamil Mukammil untuk Tarekat Qadiriah wa Naqsyabandiyah.
Syekh Ahmad Khatib Sambas memiliki beberapa murid yang umumnya menjadi para ulama yang dikenal di wilayahnya masing-masing seperti Syekh Abdul Ghani Bima dan Syekh Abdul Karim Banten dan ulama lainnya.Syekh Ahmad Khatib Sambas yang disebut disini berbeda dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Syekh Ahmad Khatib Minangkabau lahir sekitar tahun 1855 beliau berguru kepada keluarga Syatta di antaranya Syekh Sayyid Bakhri Syatta yang lahir sekitar tahun 1844, pengarang kitab Hasyiah I’anatuhthalibin dan beliau berguru kepada Syekh Ahmad Zaini Dahlan yang wafat tahun 1886 yang juga guru dari Syekh Nawawi al-Bantani dan gurunya para ulama Aceh yang umumnya bergelar teungku chik dan dianggap sebagai ulama besar seperti Teungku Chik Kuta Karang dan ulama lainnya.
Jadi pada era inilah Teungku Chik Kuta Karang hadir sebagai seorang penuntut ilmu yang kemudian menjadi seorang ulama yang diperhitungkan di Aceh. Setelah menyelesaikan masa belajarnya di Mekkah, pulanglah Syekh Haji Abbas Kuta Karang untuk menyebarkan ilmunya ke masyarakat. Syekh Haji Abbas yang kemudian dikenal dengan Teungku Chik Kuta Karang pernah diangkat sebagai Syeikul Islam atau Mufti Kerajaan Aceh pada kurun 1870-1874, karena mulai tahun 1873 awal perang terbuka antara Kerajaan Aceh dan Belanda yang ingin menjajah.
Semenjak itu Teungku Chik Abbas Kuta Karang dan para ulama lainnya bahu-membahu untuk mengusir penjajah. Perang yang paling sengit di Aceh terjadi dalam rentang 1881 sampai 1891, perang ini dipimpin oleh Teungku Chik Di Tiro, yang didukung sepenuhnya oleh para ulama dan bangsawan Aceh seperti: Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee, Teungku Chik Pantee Kulu, Teungku Chik Pantee Geulima, Teungku Chik Umar Diyan, Teungku Chik Ahmad Bungcala, Teungku Muda Krueng Kalee dan juga para bangsawan Aceh seperti Tuwanku Hasyim Banta Muda, Teuku Panglima Polem Daud Syah.
Selain para teungku chik tersebut, di Aceh Barat juga hadir seorang tokoh pejuang yang sangat diperhitungkan oleh Belanda sepak terjangnya yaitu Teuku Umar Johan Pahlawan yang juga akhirnya syahid di medan pertempuran. Adapun isterinya Cut Nyak Dien yang merupakan pahlawan yang hebat ditangkap dan diasingkan oleh Belanda ke Sumedang dan wafat di Sumedang Jawa Barat. Kuburnya sampai sekarang masih dirawat dengan baik.
Cut Nyak Dien sebagaimana disebutkan oleh masyarakat Sumedang merupakan seorang wanita yang hafidz Al-Qur’an dan perempuan berkharisma, walaupun saat itu Belanda menyembunyikan identitas sosok Cut Nyak Dien tersebut.
Demikian pula selain ulama-ulama yang telah disebutkan, adapula seorang ulama wanita yang berpengaruh, pimpinan pasukan dan temannya Cut Nyak Dhien, beliau adalah Teungku Hajjah Fakinah. Teungku Fakinah pada masa mudanya merupakan pejuang tangguh dan memimpin pasukan di medan peperangan. Beliau merupakan wanita yang memiliki kiprah yang besar dalam perjuangan. Selain itu, Teungku Fakinah juga seorang ulama yang memimpin dayahnya sendiri, dan ini digelutinya setelah Aceh mengalihkan perang fisik kepada jihad keilmuan dan intelektual.
Tentunya dengan berbagai nama besar yang telah disebutkan dalam perang Aceh, maka kiprah Teungku Chik Kuta Karang sebagai penasehat perang memiliki arti penting. Karena perang Aceh periode Teungku Chik Kuta Karang adalah perang yang paling kelam bagi Belanda, dengan banyak tewas pasukan Belanda juga menelan biaya yang tidak sedikit bagi mereka.
Teungku Chik Kuta Karang selain sebagai ulama, pejuang, penasehat perang, beliau juga penulis produktif pada masanya. Umumnya karya yang ditulis oleh beliau sangat berkenaan dengan keadaan Aceh pada masanya. Beliau menyusun Kitab Tazkirat al-Rakidin, sebuah kitab yang berisi nasehat dan seruan agar semua masyarakat Aceh bangkit melawan penjajahan Belanda, karena bila mereka resmi berkuasa, maka pasti tua, muda, wanita, anak-anak akan menjadi budak dan agamapun akan hancur binasa.
Kitab Tazkirat al-Rakidin ditulis oleh beliau setelah wafatnya Teungku Chik Di Tiro pada tahun 1891 dan Teungku Chik Tanoh Abee tahun 1894. Setelah wafat dua tokoh pejuang tersebut, maka Teungku Chik Kuta Karang turun bergerilya memimpin pasukan perang Aceh sesudah Teungku Chik Di Tiro.
Karya lainnya dari Teungku Chik Di Tiro adalah tentang obat-obatan yang ditulis oleh beliau dalam tulisan melayu lama/jawi. Selain sebagai ahli dalam ketabiban, beliau juga menyusun karya dalam ilmu falak dan ilmu miqat.
Teungku Chik Kuta Karang dapat digolongkan sebagai tokoh awal dalam kajian ilmu falak di Aceh, dimana pada era jauh sesudahnya masyarakat Aceh mengenal Abu Krueng Kalee sebagai ahli falak, Teungku Haji Usman Maqam, Teungku Muhammad Isa Peurupok dan Teungku Ali Irsyad yang dikenal dengan Abu teupin Raya. Adapun sekarang yang paling lihai dalam ilmu falak di Aceh adalah Teungku Abdullah Ibrahim yang dikenal dengan Abu Tanjong Bungong.
Selain ahli dalam ilmu falak. Teungku Chik Kuta Karang juga menguasai ilmu miqat, dimana beliau mampu membaca tanda-tanda tertentu dari sebuah peristiwa seperti ilmu firasat. Sehingga tidak mengherankan bila Teungku Chik Kuta Karang sangat ahli dalam mengatur siasat dalam peperangan. Maka dengan berbagai keahlian yang dimiliki oleh Teungku Chik Kuta Karang tentu menempatkan beliau sebagai seorang ulama besar pada zamannya yang telah berhasil dengan perjuangannya. Beliau diperkirakan wafat diatas tahun 1900, dan dimakamkan di komplek perkuburan Teungku Syekh Abdullah Lampeneu’en Aceh Besar.
Editor : Hamdani Mulya