Bagian 8
Bussairi D. Nyak Diwa
Selama beberapa minggu, sepulang sekolah aku tak ada kegiatan yang mengikat. Selain hari Jumat dan hari Sabtu, kami pulang sekolah sering sudah lewat waktu dhuhur. Kecuali jika ada rapat guru di sekolah, kami pulang lebih cepat dari biasanya. Jika aku pulang lebih cepat dan belum sampai waktu dhuhur, biasanya aku bergegas menuju aula pesantren, berharap dapat shalat berjamaah di sana. Dan biasanya jika waktu dhuhur tiba, Nek Abu selalu mengimami kami shalat berjamaah.
Suatu hari aku dapat shalat dhuhur berjamaah dengan Nek Abu. Kebetulan hari itu aku pulang sekolah lebih cepat dari hari biasanya. Beruntung dan bahagia sekali rasanya dapat shalat dengan diimami oleh Nek Abu. Aku mengikuti wirid hingga Nek Abu selesai berdoa. Usai shalawat penutup shalat dhuhur hari itu, aku berancang-ancang untuk bangkit meninggalkan aula. Tapi tiba-tiba Nek Abu memberi isyarat supaya aku tetap duduk di tempat. Beliau berpaling ke belakang, lalu Beliau berpesan agar aku menunggu Beliau di bawah.
Pelan-pelan aku meninggalkan aula, lalu turun ke bawah. Di teras ruang bawah aku duduk-duduk sendirian. Sambil duduk menunggu Nek Abu turun, aku berpikir, apa gerangan yang akan Beliau sampaikan kepadaku nanti? Aku deg-degan jadinya. Maklum, tak pernah Nek Abu menyampaikan sesuatu kepadaku sebelumnya. “Jangan-jangan aku ada berbuat kesalahan,” batinku. Kuingat-ingat dengan teliti. Tapi aku yakin, seingatku, aku tak pernah berbuat kesalahan apapun selama ini. Atau mungkin aku lupa? Namun aku tak menemukan kesalahan apa pun dalam memori ingatanku.
Ketika sedang serius mengingat-ingat kesalahanku, tiba-tiba aku mendengar suara kaki pelan-pelan menuruni tangga aula. Dengan jantung semakin deg-degan dan bergetaran, aku bersiap-siap menunggu Nek Abu di teras. Dan ketika Beliau menuruni anak tangga terakhir, aku buru-buru maju menyambut Beliau dan menyalami Beliau saat sudah berada pas di dekat tangga. Telapak tangan Nek Abu yang lembut itu kucium berulang-ulang. Bahagia sekali rasanya aku mencium tangan Beliau meskipun hatiku diliputi rasa segan dan takut.
“Bus, mulai besok, sepulang sekolah, kamu dapat tugas dari Nek Abu,” Beliau berkata lembut sambil menatapku lekat-lekat. Aku hanya menunduk, tak kuasa memandang wajah Nek Abu yang penuh kelembutan.
“Iya, Nek,” jawabku lirih dengan nada do rendah. Aku masih menunduk dalam.
“Caba kamu lihat goni di sudut di bawah tangga itu”, kata Nek Abu sambil menunjuk dua karung goni di bawah tangga.
“Goni itu berisi batu kapur untuk bahan cat. Tapi kapur itu masih keras, perlu dihancurkan sampai halus seperti tepung. Setelah dihaluskan baru dicampurkan dengan air secukupnya untuk dijadikan sebagai cat dasar dinding-dinding itu.” Beliau menunjuk dinding papan aula yang belum dicat sama sekali.
“Tugas kamu mulai besok, sepulang sekolah mengecat dinding-dinding itu. Nanti setelah dicat dengan kapur, baru dilapisi pula dengan cat asli,” Nek Abu menjelaskan dengan pelan sekali dan lemah lembut.
“Nanti sehabis shalat ashar, Nek Abu akan mengajarimu bagaimana cara menghaluskan kapur-kapur itu menjadi tepung cat.”
“Iya, Nek,” jawabku.
“Sekarang kamu pulang dulu ke kamar, nanti sehabis ashar kamu tunggu Nek Abu di sini.”
“Iya, Nek,” jawabku lagi hampir tak terdengar oleh diriku sendiri. Rasa segan dan takut masih bersarang di benakku. Meskipun sebetulnya aku sangat merasa bahagia mendapat tugas dari Nek Abu.
Setelah kulihat Nek Abu melangkah jauh, baru aku bergerak menuju kamarku di ujung Perpustakaan sana. Aku merasa lega, rupanya aku tidak berbuat salah seperti yang kubayangkan. Ternyata Nek Abu ingin memberi tugas padaku. Dalam hati aku bersyukur, karena besok, sepulang sekolah, aku sudah punya kerja. Tidak menganggur lagi seperti biasa. Sepanjang jalan aku bernyanyi-nyanyi kecil, saking gembiranya aku. Hatiku senang sekali siang ini, bukan saja karena mendapat tugas dari Nek Abu, tetapi juga selama aku tinggal di kompleks pesantren ini baru kali ini aku dapat berdialog langsung dengan Nek Abu. Dan dapat mencium tangan Beliau berulang-ulang dengan khidmat.
(Bersambung)