Oleh : Harmon Tanjung SPd
Guru di SMA Negeri 1 Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil
DiSIPLIN adalah perilaku dan tata tertib yang sesuai dengan peraturan dan ketetapan, atau perilaku yang diperoleh dari pelatihan yang dilakukan secara terus menerus (Thomas Gordon, 1996:3).
Kita ketahui selama ini disiplin identik dengan kepatuhan. Dalam lingkungan sekolah, siswa dikatakan disiplin jika patuh terhadap aturan sekolah, patuh terhadap aturan kelas.
Nah, apa yang terjadi jika kepatuhan ini dilanggar? Hukuman adalah solusi ampuh. Apakah benar demikian?
Pernyataan William Glasser dalam teorinya, kiranya perlu kita cermati mendalam. Satu-satunya orang yang memiliki kontrol penuh terhadap dirinya adalah individu itu sendiri.
Hukuman merupakan kontrol eksternal yang hanya akan membuat si pelanggar suatu aturan merasa bersalah bahkan malu kembali bergabung dengan komunitasnya.
Siswa yang dihukum berdiri di depan kelas dengan mengangkat satu kaki, tangan dalam posisi silang memegang telinga adalah salah satu contoh hukuman, misalnya bagi siswa yang melanggar aturan kelas.
Dalam hal ini siswa tersebut mungkin saja akan takut mengulangi kesalahan serupa, tetapi Ia malu kepada kawan-kawannya dan bukan tidak mungkin akan menjadi bahan olokan sesama yang membuat si pelaku menjadi semakin malu. Dampak terburuk adalah Ia menaruh rasa dendam kepada sang Guru.
Di sini diperlukan suatu kesadaran dari dalam diri siswa itu sendiri, yang sering kita dengar sebagai motivasi internal. Ini adalah cikal bakal dalam penerapan disiplin positif di sekolah.
Motivasi internal dari dalam diri siswa mampu membuatnya menggali kekuatan dan potensinya dalam meraih tujuan yang bermakna.
Guru sebagai pemimpin pembelajaran sangat dituntut perannya dalam mewujudkan disiplin positif.
Dr. William Glasser dalam bukunya, Restitution-Restructuring School Discipline (1998) berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol.
Kelima posisi kontrol tersebut adalah penghukum, pembuat rasa bersalah, teman, pemantau dan manajer.
1) Penghukum, seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi.
2) Pembuat merasa bersalah, pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri.
3) Teman, guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi.
4) Pemantau, memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau.
5) Posisi terakhir, manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri.
Kemudian apa indikator disiplin positif itu telah terjadi? Keyakinan kelas adalah kuncinya.
Kesepakatan terhadap nilai kebaikan di dalam kelas inilah yang membentuk keyakinan kelas. Seluruh warga kelas menyepakati hal ini, siswa merasa dilibatkan dalam pembentukan keyakinan.
Namun apakah dijamin tidak akan ada pelanggaran lagi? Segitiga restitusi adalah jawabannya.
Segitiga restitusi merupakan sebuah strategi yang dapat dilakukan sebagai proses menciptakan kondisi menuntun murid untuk memperbaiki kesalan-kesalahan yang mereka lakukan. Dengan penerapan segitiga restitusi murid diharapkan bisa kembali ke kelompok mereka dan telah memiliki karakter yang kuat dan memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan.
Penerapan segitiga restitusi ini diharapkan mampu meningkatkan motivasi internal siswa untuk hidup lebih baik tanpa ada rasa takut akan hukuman ataupun bukan karena iming imbalan.
Siswa yang bersalah tidak terkucilkan, tidak membuat mereka takut kembali pada kelompoknya, tidak menaruh dendam pribadi kepada teman ataupun bahkan Guru mereka.
Ada tiga langkah dalam penerapan segitiga restitusi yaitu menstabilkan identitas, memvalidasi tindakan yang salah dan menanyakan keyakinan.
Langkah pertama, menstabilkan identitas. Dalam hal ini, jika siswa berbuat salah tentunya ada kebutuhan dasar mereka yang belum terpenuhi.
Pada langkah ini beberapa kalimat penstabilan identitas itu seperti, tidak ada manusia yang sempurna.
“Sayapun pernah melakukan hal yang sama.” Kamu berhak merasakan itu dan lain sebagainya.
Langkah kedua, yaitu memvalidasi tindakan yang salah. Para guru yang telah menerapkan strategi ini mengatakan bahwa anak-anak yang tadinya tidak terjangkau, menjadi lebih terbuka pada mereka.
Pada langkah ini kalimat yang bisa diungkapkan adalah, kamu pasti punya alasan kenapa melakukan ini. Kamu patut bangga pada dirimu sendiri karena kamu telah melindungi sesuatu yang penting buatmu. Kamu boleh mempertahankan sikap itu, tapi kamu harus menambahkan sikap yang baru.
Langkah ketiga, menanyakan keyakinan. Teori kontrol menyatakan bahwa kita pada dasarnya termotivasi secara internal. Oleh karena itu Guru harus menggali kembali keyakinan yang telah disepakati bersama sebagai bahan refleksi.
Biasanya kalimat yang dapat dipakai adalah, apakah menurutmu ini sesuai dengan apa yang telah kita sepakati? harusnya bagaimana? bayanganmu tindakan yang baik seperti apa.(*)
harmon.tjg@gmail.com