Hujan Rindu

Oleh  Don Jakayamani

Hasrat hati ingin menjumpai kekasih. Sudah lama kami tak bersua, meski sekadar becanda akan gurihnya idealisme. Cerita kami yang selalu berakhir di ujung pragmatisme.

Negeri kami kaya SDA, namun ‘miskin’ intelektual. Kalaupun tersisa beberapa, tak kuat lagi menahan materialisme. Dampaknya, visi hanya dongeng di saat belum mendapatkan apa yang diinginkan.

Hujan turun. Ia mengabarkan  keadaan kekasih. Masih menunggu terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Kekasihku malah dimusuhi kampus. Padahal, kekasihku memberi iman, ilmu dan pembuktian dengan amal.

Bak pepatah, “habis manis sepah dibuang”. Kampus lupa, kekasihku telah mengisi kekosongan ruang itu. Ruang yang sejatinya diisi nilai-nilai dan amal. Namun kekasihku bukan sembarang, senyumnya bak hujan di kala kemarau. Ia memberi rahmat tanpa peduli cacian dan makian. Ia bahkan membasahi setiap area yang ikut mencacinya.

Pohon-pohon tumbuh dan berbunga, diakhiri buah. Para pemetik buah bahkan tak tahu siapa pemilik buah. Tentu saja mereka juga enggan mengetahui proses hingga hadirnya buah. Mereka hanya tahu buah itu enak, selama ada uang semua perkara mudah.

Kerinduan datang. Kekasihku murung menanti. Kapan hadirnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Bagaimana mungkin hadir jika visi sudah ditenggelamkan pragmatisme dan hedonisme. Ditambah monolog demokrasi ala oligarki. Kandidat hanya kuda tunggangan para pemilik modal. Hanya wayang di panggung demokrasi.

Oh kekasih, maafkan diriku yang tak mampu membuatmu tersenyum. Maafkan diri ini yang selalu galau akan angan dan anggap. Hujan rindu hadir. Mungkinkah kita bersama, menjalani hari-hari penuh godaan. Diyakinkan dengan iman, diusahakan dengan ilmu, dan diwujudkan dengan amal baik. Kita pun sepakat, yakin usaha sampai.

Exit mobile version