Oleh Akbar Priadi Sadikin
Hah … helaan nafas yang menandakan rasa lelah keluar dengan sendirinya, sampai terdengar oleh telinga ini. Orang-orang melirikku, yang duduk di kursi taman ditemani perasaan gelap tidak mendasar memecahkan suasana malam di bawah lampu jalanan.. Tatapan itu seakan mengatakan “Kenapa dengan dia?”
“Apa kau mendapat masalah, paman?” Seorang anak perempuan berkuncir kuda yang entah datang dari mana berdiri di hadapanku.
“Aku tidak memiliki apa-apa, jadi pergilah,” pintaku.
“Paman tidak boleh seperti itu, nanti akan ada orang yang marah jika tidak mau menceritakan masalah paman,” ujarnya.
Aku menatapnya, sayu. “Siapa namamu?”
“Tasya.”
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku.
“Tadinya Tasya bersama ibu, tapi tiba-tiba ibu menghilang.”
“Hmm … Jadi, apa maksudmu aku akan dimarahi?” tanyaku.
Dia bergerak, duduk di sampingku, dan tersenyum menatapku. “Tasya dulu pernah tidak pergi ke sekolah karena teman-teman selalu mengejek Tasya, tapi tidak menceritakannya kepada siapapun sampai ibu marah. Tasya takut melihat ibu marah, jadi sambil nangis Tasya menceritakannya.
Setelah itu saat pergi ke sekolah, teman yang mengejek Tasya meminta maaf. Jadi Tasya berpikir kalau menceritakannya kepada orang lain masalahnya akan selesai. Jadi paman juga harus menceritakannya.”
Begitu, ya. Mau bagaimanapun dia masih anak kecil, mungkin masih seukuran anak SD, jadi tidak tahu bagaimana logika dunia berjalan. Aku akan bersyukur jika masih ada orang yang mau membantu menyelesaikan masalah yang kualami, tapi percuma.
Aku berdiri, melihat sekeliling mencari pos polisi agar bisa mengantarkan anak ini. Akan terlihat tidak manusiawi jika hanya meninggalkannya begitu saja.
“Tasya!” Seorang wanita berjalan cepat menghampiri gadis di sampingku.
“Ibu ….” ucap gadis kecil itu.
Ia mendekati kami membawa tas belanja di tangannya. Segera ia menundukkan kepala ke arahku. “Maaf jika dia merepotkanmu, perhatiannya sangat mudah teralihkan.”
“Tidak apa-apa, kau juga jangan mudah mengalihkan pandangan dari putrimu.”
Ia menundukkan kepala sekali lagi dan menarik lengan putrinya. “Ayo, Tasya.”
“Paman, jangan lupa menceritakannya kepada orang lain, ya. Ingat paman, tuhan punya rencana terbaik untuk semua orang.” lambaian tangannya semakin menjauh dariku. Aku hanya bisa tersenyum sejenak untuk membalasnya. Sepertinya sudah saatnya untuk pulang, tidak ada gunanya jika terus berada di sini.
Sampainya di apartemen, aku langsung menghempaskan tubuh ini ke atas kasur.
Ting … suara itu membangunkanku, mengganggu waktu istirahat yang sudah kurencanakan. Kubangkit dari tidur, melihat smartphone yang berbunyi tadi. Sebuah pesan formal masuk. “Panggilan Seleksi/Wawancara Kerja.” Itu kata-kata yang sangat indah tertulis di layar smartphone. Aku melanjutkan tidur kembali, dan mulai membayangkan kehidupan kerjaku jika interview kali ini berhasil.
Hari baru sudah dimulai. Saat matahari pagi bersinar, aku berada di dalam ruangan ber-AC, dengan diiringi suara kertas yang dibolak-balik serta nada jarum jam yang terus bergerak, membuat jantung berdetak keras. Aku pastikan hari ini akan berhasil. Dengan semangat aku menjawab semua pertanyaan yang diajukan, sampai akhirnya ….
“Terima kasih.” Aku menundukkan kepala dan keluar dari ruangan karena interview sudah berakhir. Melangkah semakin jauh meninggalkan tempat interview dengan terus menundukkan kepala, melewati orang-orang yang berlawanan arah, dan sampai di salah satu lampu merah. Kata-kata mereka terus berputar di kepalaku, memunculkan kekecewaan yang sangat besar. Dengan mudahnya mereka berkata, “Mohon maaf, sepertinya kamu tidak dapat bekerja di perusahaan ini, karena sepertinya kamu masih kekurangan pengalaman. Kami juga mendapat informasi kalau kamu sudah ditolak 3 kali di perusahaan yang berbeda, apalagi perusahaan yang menolak kamu itu perusahaan kecil.”
Sial dengan ini sudah empat kali lamaranku ditolak, lagi dan lagi. Perasaan ini muncul kembali, rasa bersalah akan kurangnya kemampuan, hingga ditolak dalam lamaran kerja. Apanya yang “tuhan punya rencana terbaik,” Aku ingin mengakhiri semuanya.
Kulihat lampu lalu lintas yang masih berwarna merah untuk pejalan kaki. Mungkin sampai di sini saja, pikirku.
Perlahan Melangkah ke zona merah mencoba menghentikan semua sandiwara, karena berat rasanya terus melanjutkan kehidupan yang terlihat sia-sia. Tapi tarikan lembut terasa menyentuh, membuat kaki berhenti melanjutkan langkahnya. Seorang gadis kecil menarik bajuku dengan sekuat tenaga.
“Apa yang kau lakukan, paman! Lampunya masih merah tadi.” Mulut kecilnya habis-habisan memarahiku yang duduk di kursi taman, dekat tempat kejadian.
Aku sudah kehilangan arah, bahkan wajah ini menghadap ke bawah, tidak berani menatapnya yang sedang bertanya. Mulutku kering tidak bisa mengolah kata-kata. Di suasana senja dia terus berbicara kepada diriku yang duduk mematung.
“Tasya!” panggil seseorang.
“Kakak ….” Gadis kecil yang terus mengomel tadi, kini menghampiri kenalannya.
Mata yang lelah menatap mereka berdua, membuatku semakin terjerumus dalam lubang keirian. Sebagai anak kecil, mereka pasti hidup dengan mudah, tanpa beban pikiran akan masalah besar yang sangat menyiksa.
Tidak lama dia menyadari apa yang barusan terjadi dari bisikan adiknya.
“Apa benar yang dikatakan adikku, paman? Kau mencoba bunuh diri!”
Melihatku tak menjawab, dia mengambil dokumen yang kuletakkan di samping, dan melihat semua lembaran kegagalan.
Duduk, memangku tasnya, dan menatap langit oranye. “Begitu, ya. Aku sudah mengerti masalahmu, paman.”
Aku tersenyum tipis. “Pasti lucu ya melihat orang yang sudah ditolak berkali-kali.” ucapku.
“Apa kau tau paman, kegagalan itu bukan suatu kegagalan, melainkan keberhasilan yang tertunda, karena kau akan mendapatkan sebuah pengalaman dari sana,” ucapnya.
“Tidak, walaupun aku sudah mencoba sebaik mungkin, mereka tidak peduli. Kali ini aku tidak berhasil karena kegagalanku di masa lalu. Semua pengalaman yang sudah kulewati terlihat menyedihkan di mata mereka.”
Berdiri dan mengenakan tasnya kembali. “Paman, sudah mulai gelap. Besok aku akan menunggumu di sini, jadi datanglah. Tenangkan dulu dirimu, dan ingat! jangan mencoba bunuh diri lagi. Aku akan membawa dokumen ini.” Dia pergi, merangkul tangan adiknya.
Aku juga melangkah dengan berat menuju tempat peristirahatan.
Menatap suasana kota dari balkon apartemen, memperhatikan berbagai macam suasana kota. Senang, sedih, marah, dan adapun yang sepertiku. Perasaan yang berada di jurang kekecewaan menjadi hampa. Aku tersenyum dan menghela nafas lega.
Dengan bebas aku menyerahkan diri memasuki Area tanpa pijakan, mencoba membebaskan diri dari masalah.
“Aku senang ada yang sedikit peduli padaku. Tapi maaf, aku tidak akan datang untuk menemuimu.”
Biodata Penulis
Akbar Priadi Sadikin, Lahir di Medan, 3 Februari 2005. Saat ini, penulis berdomisili di Aceh timur tepatnya di Sungai Raya. Menamatkan pendidikannya di SMAN Unggul Aceh timur. Ia mulai menulis sejak duduk dibangku SMA. Kegemarannya adalah mendengarkan cerita orang-orang sebagai sumber utama inspirasi. Saat menulis karya ini, ia sedang menempuh pendidikan di Universitas Samudra jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Pembaca bisa lebih dekat dengan penulis lewat akun sosial media Instagram dan Facebook @akbarpriadisadikin