Oleh Akbar Priadi Sadikin
Di dalam kegelapan dirinya berharap segera bertemu dengan sang ibu. Memeluk, menceritakan keseharian, membawa canda tawa. Ia hanya ingin merasakan itu lagi.
Melintasi ketidaksadaran, terbangun dari penjelajahan yang tidak nyata, melihat ruangan tempat orang melakukan penyembuhan. Dirinya terbangun, mencoba mengingat kondisi yang dialami, hingga seorang wanita mengenakan seragam putih dengan alat bantu periksa detak jantung yang dikalungkan menghampirinya.
“Asteria Sari … Hari ini kamu sudah bisa kembali ke rumah,” ucapnya.
Mata sayu menatap perawat yang tersenyum. “Kenapa aku ada di sini?” tanya Ria. Di bawah cahaya senja yang melewati jendela, cerita yang sedikit panjang didengar oleh Ria. Asteria, seorang gadis SMA, pasien nomor 120, mengalami tragedi kecelakaan mobil saat menuju ke suatu tempat, kendaraan yang dinaiki berupa taksi, sudah seminggu berada di rumah sakit.
“Terima kasih atas perawatannya,” ucap Ria, meninggalkan rumah sakit.
Dirinya tidak terlihat senang, masih ada yang mengganggu pikiran, bukan masalah sekolah, bukan masalah kecelakaan, dan bukan masalah biaya rumah sakit, perasaan itu benar-benar membuatnya bingung. Dirinya terus mencoba mengingatnya sampai di depan rumah, dan membuka pintu
“Ria, kamu sudah kembali,” ucap seorang wanita. Perasaan yang terus mengelilingi tubuhnya hilang seketika, rasa gelisah yang entah darimana pergi meninggalkan Ria.
“Ibu!” Air mata terlukis di parasnya, sesuatu yang diharapkan saat menjelajah di dalam kegelapan tanpa kesadaran, kini berada di hadapannya. Canda tawa, cerita lama, pengalaman sekolah mengambang di suasana keluarga dalam waktu singkat di atas meja makan, membuat Ria tersenyum bahagia, dan ibunya yang pendengar setia tertawa melihat sang anak berbagi cerita, sampai akhirnya waktu menunjukan pukul 10 malam.
Ting … bunyi bel rumah.
Ria menghentikan wacana, membuka pintu rumah dan melihat seorang pria tua berdiri di hadapannya. Wajah khawatir terlihat jelas menatap Ria.
“Ria, kenapa tidak mengabari kalau sudah kembali, tadi aku ke rumah sakit dan katanya kamu sudah sembuh,” ucapnya.
“Maaf, aku lupa. Tapi sekarang sudah tidak apa-apa.” Ria tersenyum, tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagia.
“Jadi apa kamu sudah mengunjunginya?” tanya Pria itu, yang merupakan paman Ria. “Mengunjungi siapa?”
Satu per satu kata yang membentuk beberapa kalimat hingga akhirnya menjadi sebuah cerita yang diucapkan Paman, senyuman Ria perlahan terhapus dari ekspresinya saat mendengarkan, membuat kebingungan muncul kembali.
Tragedi kecelakaan yang membuat Ria masuk rumah sakit dan kemana tujuan dia saat itu, cerita yang jelas akhirnya sampai ke telinga, memuat rasa penasaran yang sebelumnya mengikuti, kini terasa jelas didengarnya.
“Kalau begitu jangan lupa mengunjunginya, ini sudah lewat seminggu. Untuk sekarang aku akan kembali bekerja.” Paman pergi begitu saja, ia tidak tahu betapa terkejutnya Ria sekarang.
“Ria, siapa tadi di depan pintu?” tanya Ibu Ria. Ria pergi dari rumah tidak menjawab ibunya dan memesan taksi. Ia hanya ingin memastikan sesuatu, tujuan sebelum kecelakaan, ke sana niatnya.
***
Cahaya bulan tertutup oleh awan, hujan gerimis mengguyur tubuh Ria, air mata derita menggelapkan hatinya. Ia berdiri, menatap batu nisan yang bertuliskan nama Devya Sari. Nama dari orang yang sangat ingin ia temui. Hatinya resah selama perjalanan pulang. Dirinya tidak siap untuk menemui takdir yang harus diterima. Saat membuka pintu, takdir itu sudah menunggunya.
“Dari mana saja jam segini baru pulang?” tanya ibu Ria.
Tubuh yang basah kuyup membuat lantai rumah berair. Ria jalan melewati ibunya, seperti tidak ada apa-apa. Ia berhenti melangkah sesaat untuk mengucapkan satu kalimat. “Sudah cukup ibu, aku sudah tahu semuanya.”
ibunya tersenyum, bercahaya. “Ria, itu bukan salahmu!” ucap sang Ibu.
Perlahan wujud yang muncul dari perasaan egois Ria menghilang, perasaan yang menginginkan ibunya tetap ada, perasaan yang tidak menerima kepergian ibunya. Dan hanya kalimat terakhir dari ibunya yang membuat Ria semakin merasa bersalah.
***
Ria kelas 3 SMP, di dalam mobil dirinya berdebat dengan sang ibu, ia lupa tentang
masalah apa, tapi karena hal itu kecelakaan menimpa mereka. Di saat Suara berisik orang menghampiri kedua korban, hanya satu kalimat yang teringat oleh dirinya, “Ria, ini bukan salahmu. Ingat, kamu harus jadi anak baik, dan dengar apa yang paman katakan.”
Satu kalimat terakhir dari sang ibu membangkitkan ingatannya, membuat Ria semakin merasa bersalah atas kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
“Ria, aku membawa makanan.” Paman yang baru pulang membuka pintu, membawa sekotak makanan.
Dirinya yang menyimpan kenangan kelam menoleh, menatap pamannya yang mengenakan jas hujan. Terlihat oleh Paman tubuh yang basah kuyup, Kesedihan yang mengalir dari mata, dan lantai yang basah.
Segera ia mendekati Ria. “Kau kenapa?” tanya paman, yang tidak tahu apa-apa.
Tentang Penulis
Noend adalah nama pena dari penulis, ia lahir di Medan, 3 Februari 2005. Menulis adalah hobi darinya. Saat menulis cerita ini, ia sedang memperkuat ilmu mengejar S1, jurusan pendidikan bahasa indonesia di Universitas Samudra. Penulis berdomisili di Aceh Timur. Pembaca bisa lebih dekat dengan penulis lewat akun sosial media Instagram dan Facebook @akbarpriadisadikin.