Oleh Bussairi D. Nyak Diwa
Memulai kehidupan di lingkungan pesantren, kebiasaanku berubah total. Tidak ada lagi waktu yang terbuang percuma. Kalau dulu terkadang waktu subuh sering terlewati di tempat tidur, sejak aku menjadi warga Pesantren Ashabul Yamin tak pernah lagi waktu subuhku terlewati. Setiap tiba waktu shalat subuh, aku sudah berada di aula bagian atas gedung induk pesantren. Di sanalah tempat berlangsungnya shalat berjamaah, baik bersama Nek Abu, maupun bersama Teungku-teungku yang lain.
Setiap subuh Nek Abu selalu lebih cepat datang ke aula dari pada kami. Biasanya, jika Nek Abu datang Beliau selalu memukul lonceng tiga kali. Lonceng yang berupa besi yang lebar sepuluh senti dan panjang sekitar lima puluh senti itu tergantung di bagian teras aula tingkat dua di mana kami shalat berjamaah, tidak jauh dari pintu tangga aula. Setiap subuh aku tak pernah luput dari suara lonceng itu. Jika aku sudah mendengar bunyi lonceng berdentang-dentang tiga kali, aku segera bergegas menuju aula. Sebelum naik ke aula, aku membersihkan diri dulu sambil berwuduk di bak besar yang terletak di bawah tangga aula. Suara gemericik air dari tangan-tangan kami yang berwudhuk, seakan musik simponi alam rohani yang sangat merdu di pagi buta itu.
Usai berwudhuk kami bergegas naik ke aula. Siapa yang duluan sampai di aula dialah yang menggemakan azan subuh. Tetapi jarang sekali orang lain dapat kesempatan azan subuh, karena sudah sejak bunyi lonceng satu kali aku sudah bergegas bangun, berwudhuk, lalu naik ke aula mengumandangkan azan.
Ada kebahagiaan tersendiri setiap aku selesai mengumandangkan azan. Hatiku terasa nyaman, tenteram, dan damai setiap selesai melantunkan azan. Apalagi ketika selesai shalat, Nek Abu langsung memimpin tasbih, tahmid, dan takbir. Kemudian dilanjutkan dengan tahlil yang bergema di seantero aula di subuh yang syahdu itu. Dan akhirnya Nek Abu sendiri yang memimpin doa, memohon rahmat dan karunia dari Allah Subhanahuwata’ala.
Selesai berdoa, berarti rutinitas shlalat subuh berjamah kami pagi itu selesai. Tetapi tidak berarti bahwa kegiatan mengisi waktu subuh kami sudah selesai pula. Antara usainya shalat subuh dengan jadwal kami ke sekolah masih ada tersisa waktu satu setengah jam lagi. Nah, nah waktu yang tersisa satu setangah jam itu harus kami manfaatkan secara maksimal sebelum berangkat ke sekolah. Satu jam kami memanfaatkannya dengan kegiatan mengaji. Guru ngaji kami kala itu adalah Abati (salah seorang putra Nek Abu) yang waktu itu baru pulang mengaji dari Pulau Jawa. Beliau mengajarkan kami kitab-kitab dasar seperti fiqih, tauhid, tasauf, nahu, saraf, mantiq, bayan, dan lain-lain.
Ada kesan tersendiri yang sulit kami lupakan saat kami mengaji pada Abati dulu, karena Beliau memiliki beberapa keistimewaan. Beberapa keistimewaan Beliau yang masih aku ingat dengan terang benderang antara lain adalah suara Beliau yang sangat merdu saat melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, lucu ketika menyurah kitab sehingga terkadang kami tertawa terpingkal-pingkal, sangat detil saat menjelaskan, dan sangat mudah memahami apa yang Beliau sampaikan. Makanya aku sangat merasa rugi jika suatu ketika Beliau berhalangan mengajar kami mengaji.
Apalagi kalau malam Jumat, saat Beliau mengajarkan kami ber-dalail khairat atau barjanzi. Tak terasa bagi kami waktu berlalu. Terkadang sudah tengah malam baru pulang ke kamar.
Usai mengaji pagi, kami buru-buru ke kamar atau ke rangkang masing-masing. Berkemas-kemas untuk ke sekolah. Aku sendiri selalu mandi, sedingin apapun udara di pagi itu. Ini menyangkut pesan ibuku sebelum aku mondok dulu. Pesan ibuku yang pertama adalah selalu mandi sebelum ke sekolah. Pesan yang kedua adalah selalu sarapan pagi walau hanya sedikit; walau hanya dengan nasi dingin dan bertemankan garam atau ikan asin. Tapi ibu selalu membekali aku sepuluh butir telur ayam kampung setiap minggu, manakala aku pulang kampung. Jika aku tidak pulang, Beliau kirim telur ayam kampung itu melalui teman-temanku yang mudik ke kampung.
Begitulah, usai sarapan dan mandi, aku berkemas-kemas menyiapkan diri berangkat ke sekolah. Terkadang kami bergerombol menuju SMP Negeri yang berjarak kurang lebih lima ratus meter dari kompleks pesantren tempat kami menuntut ilmu akhirat itu.
(Bersambung)