ALIF
Sepotong cahaya masuk surga.
Menjadi adam yang terpenjara.
Pelangi tiba-tiba bertanya, itu buah apa namanya.
Benih rindu tertanam berpijar menjadi bianglala.
Siapakah dia?
Surga murung.
Buah-buahan dan tanaman dikumpulkan. Ada yang hilang.
Terjatuh di dunia asing.
Menjelma tunas-tunas sayap kupu-kupu.
Di belahan bumi mana serpihan senyum itu tercecer. Mengisahkan sebuah perjalanan yang lain. Tuhan hanya terdengar suara, tiba-tiba sayup dan menghilang.
Tubuh menyerupa huruf alif mulai belajar membungkuk.
Menyetubuhi fana demi fana.
Tongkat Musa tak bisa sebagai petunjuk, untuk membelah jalan menuju surga.
Oh kerinduan seperti mempurba dalam makam-makam keramat.
Dan aku adalah mayat-mayat.
Mencari jalan pulang.
Berharap, di wangi gerai rambut hawa, aku temukan serpihan peta dari Tuhan. Dunia yang dulu pernah kutinggalkan.
Kaliwungu, 2022
SEEKOR KUPU-KUPU YANG TERSESAT
Aku lihat seekor kupu-kupu hinggap di bangku taman kota. Sayapnya berwarna ungu. Bercorak labirin kehidupan. Sepotong gincu mengering di tangan. Namun bibirnya pucat tanpa warna.
Dia tahu malam semakin meninggi. Daun-daun rindu pada rengkuknya. Ingin sekali pulang segera. Menghabiskan sisa gincu yang mulai mengering, karena terdiam terlalu lama. Membawa pulang sebungkus makanan dan seteguk airmata.
Jalan seolah tersesat. Dia terbang menerebos celah jendela mobil mewah. Membisikkan ribuan kesah—airmata jatuh tak terbendung. Sayap-sayap mulai basah.
Daun-daun mulai gugur, wajah-wajah murung dilamun mendung.
Kaliwungu, 2022
MENCARI PUISI
Puisi mengepul bersama asap rokokmu. Seteguk kopi pahit menjadi letupan. Wajah siapakah yang kaugambar. Kemurungan itu sampai ke dadaku.
Peluru berhasil mengonyak jantungmu. Tinggal separuh. Separuhnya lagi kaujadikan puisi. Selongsongnya aku punguti. Ada sepintas nama yang sulit kueja. Sebagian huruf-huruf tergerus korosi. Berkarat, menguar aroma anyir saat berkelindan bersama airmata.
Masih saja kau berkubang bersama kepulan asap rokokmu dan seteguk kopi.
Mencari puisi.
Kaliwungu, 2022
KEMARAU
Daun, ranting kering. Jatuh terlindas ban-ban mobil. Terpelanting pada musim. Matahari terik sampai ke rusuk. Membakar kenangan lapuk. Kepedihan seolah bagai jalan berkerikil. Nancap di jejak kaki rapuh. Baru percaya hujan membawa cintanya. Mengecup daun ranting agar semi kembali. Menumbuhkan sesuatu yang hampir-hampir mati.
Lihatlah! Musim masih jauh berjalan. Mataharipun masih asyik berkejar-kejaran. Ilalang mulai menguning. Di saput angin, bunganya sampai kemari. Kenangan lalu simpanlah di bening matamu. Tak ada kepedihan abadi. Tak ada musim yang tak berganti. Tak ada waktu yang tak bertepi.
Kaliwungu, 2022
MEDITASI
Burung kutilang berkicau di pagi hari. Entah, mungkin ingin mengajariku berzikir bersama kokok ayam. Bukan aku tak ingat surga atau tak takut neraka. Di belahan bumi yang mana rindu ini kukatakan. Mungkin hanya gema yang kaudengar. Dan aku. Di malam larut memilah-milah jalan kebenaran.
Kalau boleh ingin kusadap siulnya. Menjadi huruf-huruf zikir. Dan kugores pergelangan tanganku untuk kumasukkan darahku ke cawanmu. Inilah anggur pertobatan! Telah kupersembahkan di altarmu.
Burung kutilang pagi-pagi buta bertengger di kabel-kabel listrik, di tiang-tiang ruang kepalaku yang bising. Bersama suara kokok ayam menerka diriku yang bukan-bukan. Malaikat datang dengan kepak sayapnya. Mencatat segala kejadian.
Tuhan Maha Tahu.
Kaliwungu, 2022
Tentang Penulis/Penyair:
Ngadi Nugroho, lahir di Semarang, 28 Juni ’78.
Menulis sajak menjadi suatu aktifitas menggugah ruang kesadaran yang menyenangkan. Sajaknya masuk dalam beberapa antologi ( Pujangga Facebook Indonesia, Progo7, Dunia: Penyair Mencatat Ingatan, Lampion Merah Dadu dll ) beberapa pula masuk di media online (Umakalada News, Litera.co.id, Suara Krajan.com, Mbludus.com, Kepul, Riausastra, Pronusantara, Negerikertas, Media Indonesia, Majalah Elipsis, Majalah Sastra Santarang, Sumenep news dll)