Mulia wareh ranub lam puan, mulia rakan mameh suara. Begitulah pepatah petitih indah dalam masyarakat Aceh yang menggambarkan tentang bagaimana masyarakat Aceh memuliakan tamu. Sirih menjadi salah satu media memuliakan tamu dalam budaya Aceh. Budaya ini masih terjaga danterlihat di salah satu sudut kota Banda Aceh. Kita salsikanberjajar kios kecil bagaikan foodstall penjual sirih yang siap menjual produknya sesuai permintaan konsumen. Ada sirih cue, sirih lipat bahkan menyusun sirih dalam batee/puan untuk sambut besan pengantin pun siap ditata.
Sudut penjual sirih terlihat biasa bagi masyarakat Aceh, namun ternyata luar biasa bagi wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara. Adanya sudut kota menjadi pusat perhatian yang terlihat unik di mata mereka. Pengalaman penulis ketika membawa Dubes Inggris mengunjungi masjid Raya Baiturrahman. Saat keluar masjid, jejeran penjual sirih menjadi perhatian istri dubes dan anak-anaknya, sehingga mereka mendekati penjual sirih dan ingin mencicipi rasa sirih manis produk nyak nyak Aceh yang berbeda dengan sirih lainnya di nusantara.
Tanpa disadari potret penjual sirih di sudut kota Banda Aceh adalah daya tarik wisata budaya yang terabaikan selama ini. Salah satu daya tarik bagi wisatawan adalah apa yang tidak ada di daerah dan Negara mereka. Apa yang berbeda itu adalah budaya daerah yang unik dan menjadi daya tarik bagi pengunjung. Hasil survey kementrian Pariwisata 60 % minat wisatawan adalah karena kekayaan budaya Indonesia.
Guide atau siapa saja yang membawa tamu ketika mengunjungi deretan penjual sirih, dapat menjelaskan untuk apa saja sirih itu digunakan selain untuk dimakan.
Balai Pelestarian Nilai Budaya dalam Bukunya berjudul “Ranub pada Masyarakat Aceh” (BPNB, 2009) mengatakan sebagai berikut:
Pertama, Ranub sebagai simbol pemuliaan tamu. Hal ini sangat jelas terlihat baik dalam kesenian (Tari Ranub Lam Puan), maupun berbagai jamuan ranub yang ditunjukan kepada tamu, besan dan juga orang-orang yang dihormati.
Kedua, Ranub sebagai simbol perdamaian dan kehangatan sosial. Hal ini tergambar ketika berlangsung musyawarah untuk menyelesaiksn persengketaan, upacara, perdamaian, upacara peusijuk, meu-uroh dan upacara lainnya.
Ke tiga, Ranub sebagai media komunikasi sosial. Dalam hal ini ranub sering diungkapkan dengan istilah ranub sigapu yang berati sebagai pembuka komunikasi.
Jadi, Ranub adalah lambang formalitas dalam interaksi masyarakat Aceh. Setiap acara dimulai dengan menghadirkan ranub dan kelengkapannya.
Sirih dalam puan yng terbungkus kain kuning sebagai alat komunikasi juga menurut ketua adat Aceh bermakna diumpamakan sebagai berikut :
• Sirih umpama lidah
• Pinang umpama Jantung
• Gambir umpama hati
• Kapur umpama tulang
• Bakong/tembakau umpama urat
• Batee/puan umpama tubuh
• Kain Bungkus umpama pakaian.
Sirih dalan puan diumpamakan tubuh dan fungsinya sebagai pelengkap media komunikasi sosial.
Kegunaan Sirih sering digunakan sebagai prosesi adat, sosial budaya Aceh sirih antara lain :
– Melamar. Sirih juga digunakan untuk melamar seseorang, pihak laki-laki diwakili oleh orang yang dituakan dimana mereka tinggal yang disebut Seulangke atau dikenal Makcomblang, ketika melamar selain membawa buah tangan berupa kue dan gula, teh, sirup juga membawa sirih di dalam bate/puan dan menyerahkannya kepada pihak keluarga yang dilamar sebelum memulai percakapan.
Ba Ranub/Tunangan. Istilah Ba Ranub atau bawa sirih adalah tunangan, dalam ada aceh untuk bertunangan harus membawa sirih, ada sirihnya di dalam puan saja ada sirih besar dalam berbagai bentuk kreasi dan diletakkan emas pengikat tunangan di dalam sirih besar tersebut.
Mengundang/Meu Uroh. Dalam budaya Aceh mengundang secara langsung ke rumah-rumah dinamakan Meu Uroh dengan membawa Puan/bate dan sirih. Sebelum mengundang memberi sirih terlebih dahulu kepada orang rumah yang diundang, baru kemudian menyampaikan maksud kedatangannya.
Intat Linto atau Dara Baro. Intat linto atau darabaro (pengantin pria atau wanita) juga harus ada dua macam sirih, yaitu sirih linto itu bentuk rangkaiannya lebih besar, dan dibentuk berbagai macam kreasi seni, selain sirih linto juga ada sirih batee yang di dalam puan berfungsi untuk menyambut dan menerima bisan/besan dimana saat menerima pengantin orang yang dituakan di kedua belah pihak yang memegang sirih, biasanya ibu-ibu, kemudian saling menukar sirih, setelah itu pengantin dan rombongan diperkenankan masuk. Ada beberapa daerah dahulunya jika tidak ada sirih, maka pengantin dan rombongan tidak diperkenankan masuk.
Selain untuk prosesi adat,sirih juga sering digunakan sebagai obat tradisional, dan lain-lain.Penggunaan sirih dalam budaya tidak hanya ada di Aceh, tetapi juga hampir di seluruh nusantara, seperti di Sumatra Utara, Padang, Riau, bahkan sampai ke NTT.
Selayaknya kita mau mempromosikan dan melestarikan salah satu budaya melalui daya tarik jajaran penjual sirih sebagai warisan budaya Aceh agar tidak tergilas dengan budaya luar yang sangat kencang merambah Negara kita.
Pat ranub yang hana mirah, pat peuneurah yang hana bajoe, pat tulisan yang na salah, tulong peume’ah mangat bek rugoe.
Redaksi hanya melakukan penyuntingan teknis, seperti:
- Mengoreksi kesalahan ejaan, tanda baca, dan struktur kalimat.
- Mengatur format dan tata letak teks.
- Memastikan konsistensi gaya penulisan.
Namun, redaksi tidak melakukan perubahan pada:
- Isi dan substansi teks.
- Pendapat dan opini penulis.
- Data dan fakta yang disajikan.
Dengan demikian, penulis tetap bertanggung jawab atas isi dan substansi teks yang ditulis.