Oleh Evi Syam
Saya duduk termenung dan terheran-heran dengan status whatapps seorang teman. Begitu gamblangnya dia menceritakan keadaan rumah tangganya di media sosial. Status yang updateselama 24 jam itu bagai sebuah diary media curahan hatinya. Belum lagi seorang ibu muda satu anak dengan status pernikahan yang sudah bubar, memasang foto mantan suaminya yang kini sudah memiliki pasangan baru, dengan judul selingkuhan ke… disertai cercaan terhadap sang mantan di akun facebooknya.
Lagi-lagi aku terheran, “ngapain ya…bikin tulisan kayak gini?”
Aktivitas tulis menulis adalah komitmen, keinginan tulus untuk menulis. Kegiatan yang memerlukan energi, konsentrasi dan tentu saja waktu. Menurut saya, daripada membuang-buang waktu dengan meng-updatestatus ataupun menuliskan kata-kata di grup chattinglebih baik membuat naskah menjadi cerita yang penuh makna.
“Saya hanyalah seorang ibu rumah tangga yang sibuk dengan urusan kerumahtanggaan-mengurus anak-anak dan suami. Rasanya tak pernah ada waktu luang untuk sekadar membuat tulisan ringan. Lelah,” ujar Santi, ibu rumah tangga 2 anak.
Banyak ibu-ibu yang saya jumpai berkata demikian, mungkin bisa jadi termasuk saya. Saya pun pernah mengeluh dengan pekerjaan rumah tangga yang tiada habis-habisnya, mulai dari mencuci, menyiapkan sarapan, antar-jemput anak ke sekolah dan lain sebagainya. Semua saya jalani tanpa tenaga seorang asisten rumah tangga.
Keesokan harinya rutinitas ini berulang kembali, ditambah dengan tumpukan pakaian yang belum disetrika yang semakin menggunung.
Sesaat saya berpikir benarkah saya tidak memiliki waktu barang semenit pun? Di manakah ujung hari saya? Seperti Joanna Penn, penulis lebih dari dari 30 buku menggunakan waktu paginya sebelum berangkat kerja di kantor konsultan. Ide brilian mengalir bersama dengan rangkaian kata yang dia tuangkan dalam sebuah buku. Mengalir sempurna selama satu jam sebelum dia melakukan persiapan berangkat ke kantor. Penulis andal itu memberikan perhatian kepada aktivitas menulis, karena menyakini bahwa menulis merupakan hal penting dalam kehidupan. Tanpa manajemen seperti ini, kita selalu berkata tidak punya waktu untuk menulis.
Menjadi ibu rumah tangga adalah pilihan. Mengurusi segala urusan domestik dan segala tetek bengek di rumah yang tiada berakhir. Aneh, jika menyalahkan keterbatasan waktu sebagai penyebab tidak menulis. Lagi-lagi saya berpikir, bukannya tidak memiliki waktu, namun karena kita menganggap ada banyak kegiatan lain yang jauh lebih penting daripada menulis.
Semangat kemerdekaan masih terasa di minggu ke-3 di bulan Agustus ini. Dengan semangat menulis semoga saja mengangkat derajat negara kita tercinta ini yang berpredikat dengan budaya literasi terendah. Khusus Provinsi Aceh kini sedang mengejar ketinggalannya dalam mengembangkan budaya literasi karena tergerus oleh kemajuan teknologi. Dengan semakin menjamurnya komunitas-komunitas literasi dan penerbit indie yang dapat merangkum, membukukan hingga menerbitkan karya-karya yang bernilai menjadi sebuah bacaan yang berguna.
Merdeka menulis. Merdeka dalam merangkai kata.
***
Evi Susanti, SH. Sekarang sebagai ibu rumah tangga bahagia dengan 3 anak (dua perempuan yang sedang beranjak remaja dan satu laki-laki masih duduk di Taman Kanak-Kanak)
Menulis itu menyenangkan, menyehatkan, membahagiakan serta dapat menginspirasi banyak orang. Berdomisili di Aceh Besar, Aceh.