Oleh: Risman Rachman
Tahu tidak, mengapa orang luar sering memuji Aceh? Patut kita renungkan. Jangan-jangan ini hanya sebuah konspirasi yang ada agenda settingnya. Nah!
Selama ini, kita menerima dengan senang hati, tanpa renungan, atas baju kebesaran dan kemuliaan yang dilekatkan kepada kita, Aceh.
Jika sudah dipuji, semua urusan menjadi lancar, semua hambatan menjadi lepas, dan ragam pengorbanan pun dengan senang hati akan kita lakukan.
Dampaknya apa? Coba pikirkan! semua kita bangga hati, dan hilangny rasa takut dalam menghadapi hidup. Apa yang harus kita takutkan, bukankah kita adalah bangsa teuleubeh ateuh rhueng donja?
Rasa bangga dan tiada rasa takut ini membuat orang Aceh kehilangan kekuatan utama yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa besar lainnya yaitu lumpo alias alias imajinasi sebagai modal kunci dalam menghadirkan realitas fiksi.
Jadi, dengan melekatkan segenap kebesaran kepada Aceh, agenda setting yang ingin dicapai adalah mematikan tombol lumpo alias imajinasi pada utak ureung Aceh.
Biarkan Aceh berjalan dengan baju kebesarannya agar sehari-hari disibukkan dengan kerja menjaga bajunya agar tidak terkena debu atau sibuk membersihkan debu yang ada di pakaiannya kala berjalan di lintasan waktu.
Dengan kesibukan itu, orang Aceh tidak akrab lagi dengan yang namanya tantangan, sebab tidak ada yang perlu ditakuti, terkunci dengan status diri sebagai bangsa yang hebat.
Bangsa manapun, jika sudah tidak punya tantangan yang benar-benar ditakuti, dengan sendirinya tidak akan bisa bangkit, malah akan mati pada waktunya tanpa perlu diserang, atau diperangi.
Pengamat politik dan pertahanan, Salim Said, pernah mengatakan alasan majunya Taiwan, Singapura dan Israel karena ada yang ditakuti.
Taiwan takut dicaplok Tiongkok. Singapura takut karena di tengah lautan Melayu. Israel takut karena di tengah lautan Arab. Jadi ada yang ditakuti hingga mereka harus menjadi negara yang hebat. Sedangkan Indonesia, Tuhanpun tidak ditakuti.
Taiwan, Singapura dan Israel sadar betul realitas objektif mereka adalah negeri yang tidak kaya akan sumber daya alamnya, tidak sebanding dengan negeri-negeri yang mereka takuti. Dengan begitu, mereka mengkayakan diri dengan realitas fiksi (imajinasi) sehingga lahirlah ragam gagasan, yang disertai dengan kerja keras.
Sekarang, dengan pakaian kebesaran itu, kita semua bermental tuan, yang peng beuna kerja hana payahlah, apalagi sampai kerja hingga malam alias begadang. Sedikit dimarahin perasaan kita langsung merasa sebagai budak atau pembantu.
Kita langsung tersinggung jika disuruh begini dan begitu, perasaan untuk apa disuruh-suruh, emangnya kita robot? Kita ini Tuan, bos, orang hebat, turunan indatu yang kha, dan dite le kaphe.
Padahal jelas kekuatan imajinasi sangat kentara dimiliki oleh indatu ureung Aceh. Mereka berjibaku membangun negeri agar dapat menguasai berbagai daerah, hingga dapat menang dalam perdagangan. Mereka sadar untuk membangun kekuatan dan membangun kerjasama agar kerajaan-kerajaan dengan kekuasan persenjataan tidak mudah menaklukkan negeri-negeri yang dikuasai Aceh.
Realitas objektif sebagai negeri yang kaya dikombinasi dengan realitas fiksi dengan mewujudkan lumpo atau imajinasi kerajaan yang kuat, berwibawa dan luas pengaruhnya hingga diketahui oleh berbagai kerajaan dan kerajaan-kerajaan besar bersedia menjalin komunikasi dan kerjasama dengan Aceh.
Sekarang, dengan hilangnya lumpo, imajinasi, kita kehilangan daya upaya, bahkan untuk sekadar memimpin negeri sendiri. Siapapun yang kita duga sudah mengotori baju kebesaran Aceh, langsung ta tak gateh, tidak peduli itu orang Aceh sendiri. Bah jra jih. []