Oleh Zulkifli Abdy
Berdomisili di Banda Aceh
Ketika seseorang memulai segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari dengan prasangka baik, maka energi positif senantiasa akan hadir menyertainya.
Jangan sampai kita menghina atau mencela seseorang atau kaum, atau bahkan benda sekali pun, hanya semata-mata karena kita tidak menyukainya.
Siapa nyana di dalam diri seseorang atau kaum itu ada kebaikan walau pun hanya sebesar biji zarrah, apalagi kalau kebaikan itu bermanfaat bagi orang banyak.
Bukankah agama telah berpesan ; sebaik-sebaiknya manusia ditentukan dari seberapa besar ia memberi manfaat pada orang lain.
Dan siapa pula yang menyangka bahwa di dalam suatu benda yang sepintas terlihat tidak berguna, terpendam sekeping mutiara yang indah dan berharga sangat mahal.
Prasangka baik adalah modal yang efektif bahkan boleh jadi sangat penting, ketika kita hendak memulai mendalami sesuatu.
Termasuk ketika kita hendak mempertemukan berbagai perbedaan atau pertikaian, atau bahkan permusuhan dalam realitas kehidupan kita sehari-hari.
Pada hakikatnya segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan. Dan agama juga telah menukilkan dalam pesannya, bahwa tidak ada yang sempurna dari makhluk ciptaan Tuhan.
Dengan demikian, tidak sepatutnya pula ada orang yang hendak “memonopoli” kesempurnaan, sehingga seolah-olah kesempurnaan itu hanya ada pada dirinya.
Bukankah suatu upaya untuk mendekati kesempurnaan, itu pun sudah lebih dari cukup.
Karena yang sempurna itu adalah Tuhan Yang Maha Kuasa itu sendiri, yang menciptakan segala sesuatunya termasuk alam semesta ini.
Kendati tidak sempurna, setiap manusia adalah makhluk terbaik yang ada di muka bumi.
Karena keberadaanya dibekali dengan akal dan peradaban sebagai penuntun atau landasan etika ketika ia berinteraksi sebagai makhluk sosial.
Sehingga manusia mampu menjalani kehidupan secara baik dengan kodrat keseimbangan yang ada padanya.
Seandainya akal digunakan dengan baik, dan peradaban dijadikan nilai-nilai transedental yang dianut setiap manusia, niscaya kehidupan di dunia ini akan tenteram dan dipenuhi dengan kedamaian.
Memulai sesuatu dengan prasangka baik, agaknya merupakan suatu proses awal menuju kemenangan, setidaknya kemenangan dalam upaya kita untuk menaklukkan sifat “keakuan” yang ada di dalam diri kita sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa sadar kita kerap merasa serba lebih dalam berbagai hal daripada orang lain.
Sehingga dengan demikian menjadi lupa bahwa kita juga memiliki kekurangan sebagai manifestasi dari ketidaksempurnaan kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Sebagai makhluk yang tidak sempurna, terkadang kita juga lupa bahwa dari sekian banyak kelebihan, terdapat sedikit kekurangan yang mungkin ada pada diri kita.
Dan adakalanya kekurangan kita yang sedikit itu justru dimiliki oleh orang lain, yang sesungguhnya tidak pula memiliki banyak kelebihan.
Dalam konteks ini, suatu proses simbiosis-mutualisme telah menjadi “kutub” yang mempertemukan antara kekurangan dan kelebihan seseorang dengan orang lain, sehingga yang terjadi kemudian adalah kondisi yang saling melengkapi.
Begitulah kehidupan ini berputar pada sumbu ketidaksempurnaannya.
Sebagai makhluk yang berakal, manusia secara naluriah memiliki “mekanisme” dalam upayanya menemukan sendiri kesadaran untuk menjadi yang lebih baik.
Dan peradaban juga akan menjadi rambu-rambu atau instrumen yang dapat mengontrol proses menemukan titik keseimbangan itu.
Sehingga pada akhirnya manusia tetap akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya yang serba tidak sempurna itu.
(Zulkifli Abdy, Banda Aceh, 16 Agustus 2022).