Akbar Priadi Sadikin
Berdiri menatap jauh dengan mata terbuka, ditemani suasana senja dengan ombak yang meronta-ronta. Angin bertiup lembut layaknya renjana, mengenang masa lalu yang sempat merajalela. Perhatianku terus mengarah ke ujung cakrawala dengan rasa kagum akan ciptaan-Nya. Kuharap kau tenang di alam sana dan terus mengawasiku sampai jiwa ini kembali kepada Yang Maha Kuasa.
Saat itu aku menghampirimu di tempatku berdiri saat ini. Kau menatap bintang di bawah sinar bulan dengan tersenyum.
“Profesor ….” panggilku dengan nada lembut.
Kau diam beberapa detik, terus tmenatap bintang. “Lia … bisakah kau mengubah masa depan?” Tanya profesor.
“Masa depan? Apa ini ada kaitannya dengan sesuatu yang kita kerjakan, profesor?”
Profesor tersenyum menatapku. “Sudah diputuskan, aku akan memilihmu,” ucap profesor, membingungkan.
Sudah setahun semenjak pembicaraan itu, kini aku memperhatikanmu dengan memegang beberapa dokumen di dalam ruangan yang bahkan tidak tersentuh cahaya matahari. Kau terus bekerja dengan terlukis ekspresi tidak senang di wajah. Andai saja saat itu aku mengetahui masalah yang kau hadapi, profesor.
“Lia … Kita sudah menyelesaikannya,” ucap profesor, menyentuh kapsul ruang berbentuk tabung berukuran lift.
Dokumen yang seharusnya ada di tanganku berjatuhan. Pikiran yang awalnya berpencar karena lelah memperhatikan sesuatu yang masih menjadi misteri, terkumpul dengan satu hentakan suaranya. Aku tidak menyangka sesuatu yang bahkan tidak bisa dibuat dunia, dapat diselesaikannya. Sebuah alat yang dapat membuat seseorang kembali ke masa lalu, kini tepat berada di depanku.
Terburu-buru, lengan ini bergerak meraih saku mengambil smartphone. “Aku akan segera menghubungi ayah,” ucapku.
Satu jam Aku menunggu, hingga sebuah benda hitam mendekat, angin terasa berpencar saat benda itu mendarat. Aku beserta ilmuwan lain menunggu di depan gedung laboratorium dengan wajah tersenyum. Mendengar kabar yang kuberikan, ayah langsung mengambil keputusan untuk datang menggunakan helikopter dikawal beberapa tentara.
“Di mana Profesor?” tanya ayahku yang baru turun dari helikopter.
“Dia di dalam,” ucapku, tersenyum.
Ayah, dengan tatapan dinginnya melewatiku mengarah masuk laboratorium. 4 tahun, waktu yang kuhabiskan bersama profesor atas perintah ayah, dan tidak bertemu dengannya selama itu. Perasaan ini seakan hampa setelah melihat sikapnya kepadaku.
“Oh … pak Presiden, kapan anda sampai.” Samar, suara profesor sampai ke telinga di saat aku sibuk untuk mencairkan perasaan.
“Buktikan!” pinta ayah, menghadap professor.
“Huh ….” Helaan nafas terdengar jelas dari mulut profesor. Ia membisikkan sesuatu yang tidak bisa kudengar kepada ayah.
Tidak lama ayah menghampiriku. “Kerja bagus, Ambillah ini. kamu harus mempelajarinya.” Ayah memberikan sebuah amplop berisi beberapa dokumen.
Mataku tak henti menatap dokumen, tertulis, Ringkasan Kapsul Ruang Penjelajah Waktu Oleh Prof. Asteria Sari dan Dahlia Dhurgha (Asisten). Melihat judul itu aku berpikir, Kenapa namaku ada di dokumen, padahal selama ini aku hanya mengikuti profesor atas perintah ayah.
“ Kenapa harus aku?” tanyaku.
“Itu perintah profesor, untuk sekarang pulanglah ke rumah.” Tatapan dingin ayah seakan mengatakan aku tidak boleh menolaknya.
“Pergilah Lia … kau pasti lelah, kita akan bertemu lagi dilain waktu,” ucap profesor, mendekat.
Aku tersenyum, menanggapinya. Tapi, sekilas aku sempat melihat ayah menatap sinis profesor saat ia mendekat. Apa karena ada suatu masalah, ya? Bodohnya aku hanya berpikir sedangkal itu, karena kejadian itu adalah asal usul dari berbagai macam situasi. Aku tidak memedulikannya dan langsung pulang atas perintah ayah, dan menjalankan hari-hari untuk mempelajari dokumen pemberian profesor.
Satu, dua, tiga bulan terlewati. tring … nada dering smartphone berbunyi.
“Ayah,” ucapku mengangkat panggilan.
“Bagaimana?” tanya ayah dengan nada datar.
“Sedikit lagi, masih ada beberapa bagian yang belum kupahami.” Aku menundukkan kepala, murung. Setiap akhir bulan ayah selalu menelponku hanya untuk menanyakan hasil dari dokumen yang kupelajari. Dasar ayah, kenapa dia tidak menemuiku sesekali.
“Percepatlah!” pinta ayah.
“Tapi ….” tut … tut … tut. Sial dia langsung mematikannya.
Dokumen ini berisi cara pembuatan mesin waktu, yah benar semuanya membahas itu, sampai akhirnya aku terjebak di tiga lembar terakhir yang tidak dapat kupahami. Aku selalu menelitinya di laboratorium tempat mesin waktu itu berada tanpa bantuan siapapun, karena tidak ada ilmuwan lain di sini, hanya terdapat beberapa penjaga dan aku. Entah kemana perginya semua orang setelah proyek ini selesai.
Sepuluh… ya, sepuluh bulan sudah terlewati. Aku selalu meminta izin selama waktu itu untuk menemui profesor, tapi ayah hanya mengatakan, “Profesor ingin kamu yang memahami dokumen itu tanpa bantuannya.” Walaupun ayah bersikeras untukku tidak menemui profesor, tetap saja tidak ada yang kumengerti dari 3 lembar ini. Kenapa sampai segitunya dia ingin aku memahaminya, aku tidak bisa tanpa bantuanmu, profesor.
Di depan ciptaannya. Mesin penjelajah waktu … apapun namanya ini tetap ide darinya. Walaupun aku diizinkan untuk meneliti dokumen ini di ruangan tempat mesin waktu berada, tetap saja aku dilarang menyentuhnya.
“Lia … apa masih belum?” tanya ayah, memasuki ruangan.
Aku diam, termenung menatap mesin waktu, membayangkan lebih baik bersama profesor daripada keadaanku sekarang.
“Pak … kita tidak memiliki banyak waktu, negara lain sudah mulai mengetahuinya,” ujar asisten yang selalu mengikuti ayah.
“Lia … jawab aku!” pinta ayah tegas, dengan tatapan yang masih saja menyakitiku.
Aku tersenyum memikirkan sebuah ide, Menatap mata ayah.
“Kenapa denganmu? Apa kau sudah memahaminya?” tanya ayah.
“Ya begitulah, tapi izinkan aku untuk menyentuh alatnya untuk memastikan.”
Ayah sempat diam beberapa detik, berpikir. “Baiklah ….” Tatapannya yang semakin tajam menusuk hatiku.
Aku berpikir dari 5 bulan terakhir, tidak mungkin aku bisa menyelesaikan ini tanpa bantuannya. Ayah juga terlihat aneh, dia bersikeras membuatku agar tidak bertemu dengan profesor. Begitu juga profesor, dia tidak mungkin menyerahkan sesuatu yang tidak bisa aku selesaikan, itu bukan sifatnya. Pasti ada yang disembunyikan dariku.
Saat memeriksa mesin waktu, aku tidak menemukan tombol sama sekali. Di dokumen juga tidak dijelaskan cara mengaktifkannya, sehingga aku masuk ke dalam alat itu. Cahaya keluar dari segala arah, terjadi getaran membuat keseimbangan pudar, dan aku … terjatuh.
“Ayah, to ….” Saat ingin meminta tolong kepada ayah, aku terhenti. Aku tidak tahu penyebabnya, tapi ayah tiba-tiba mengarahkan pistolnya kepadaku, sampai akhirnya. Dor … Suaranya terdengar jelas, membuatku menutup mata, takut.
Ini aneh, aku membuka mata, melihat situasi yang tidak dapat kupahami. Aku meringkuk dengan kondisi kepala berdarah, dan juga ini bukan di laboratorium melainkan kantor ayahku.
“Apa kau sudah sadar?” tanya ayah.
Aku menatapnya, gemetar ketakutan mengingat kejadian beberapa saat lalu. “Apa yang terjadi?” tanyaku, pelan.
Ayahku duduk di kursi. “Sial, seharusnya aku tidak membunuh mereka saat itu kalau tahu hasilnya akan seperti ini,” ucap ayah, pelan. “Dan kau bahkan sudah menghabiskan 5 tahun tanpa bisa memahami dokumen itu.” Dia berdiri, menatapku penuh emosi.
Lima tahun? bukannya aku baru menghabiskan sepuluh bulan?Apa mungkin ini masa depan? Dan siapa yang dibunuh ayah?banyak pertanyaan mengalir di benakku sekaligus.
Dor … Suara tembakan terdengar keras membuatku menoleh ke sumber suara. Terdapat seorang pria berotot berpakaian tentara di pintu kamar memegang sebuah pistol yang baru ditembakan, itu mengarah ke ayah. Aku ketakutan melihat ayah terjatuh kehilangan nyawa. Tubuh ini gemetar memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Jawab pertanyaanku, jika kau berbohong satu kata saja, selanjutnya adalah giliranmu.” Dia membungkuk, menatapku yang meringkuk di lantai, baru terbangun dari sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Ke … kenapa kau melakukan ini?” tanyaku, ketakutan.
“Kenapa? Bukannya kau sudah tau alasannya? Tentu saja karena negaramu diam-diam menyimpan benda seperti itu untuk menguasai negara lain. Sekarang jawab pertanyaanku. Apa kau Dahlia Dhurgha, satu-satunya ilmuwan yang selamat dari insiden pembunuhan yang dilakukan presiden setelah penelitian tentang mesin waktu selesai?”
“Apa? apa maksudmu satu-satunya yang selamat?” Kepalaku seketika berpikir keras, terkejut akan ucapannya.
Dia tersenyum. “Baiklah, terima kasih sudah menjawab, untuk sekarang beristirahatlah.” Tangannya dengan cepat memukul leher belakangku, membuat tubuh ini terlelap di antara kegelapan.
Saat perlahan bergerak di antara kegelapan, aku menerima berbagai macam informasi dari butiran-butiran ingatan. Marah, sedih, hampa, senyum, menangis, senang … semua perasaan itu tergambar di kejadian yang berbeda. Aku dikelilingi berbagai macam kejadian, seakan sedang menonton diri sendiri menghadapi berbagai macam masalah. Semua itu adalah ingatan dari skenario yang berbeda-beda di masa depan. Karena itu semua, aku mengetahui apa yang menjadi tujuan akhirku.
“Lia … kau harus melakukannya, itu tugas terakhirmu,” ucap profesor.
“Tapi ….”
“Lakukanlah. Pastikan untuk melakukannya di saat kita bertemu lagi!” pinta profesor.
Itu dia, perbincangan terakhir dengan profesor dari salah satu masa depan.
Hah … Aku berlari semakin menjauh dari laboratorium, melawan tekanan angin sekuat mungkin. Saat tersadar, aku langsung menuju tempatnya. Seandainya aku lebih cepat menyadarinya, selama ini profesor tidak hanya bicara sesuatu yang tidak ada artinya, semua itu perkataan untukku, supaya menyadari sesuatu. Hari ini, dari salah satu masa depan aku berhasil kembali ke hari dimana alat itu masih dalam bentuk prototype, dari masa laluku alat ini akan selesai setahun kemudian, kurang tepat mengatakannya masa lalu, karena itu adalah masa depan.
“Profesor ….” panggilku tepat di belakangnya, dengan nafas terengah-engah.
Matanya menatap ujung cakrawala disaat hampir tiba waktunya senja. “Lia … Bisakah kau mengubah masa depan?” tanya profesor.
Aku mendekatinya, memeluk dari belakang. “Bukannya itu terlalu berlebihan, profesor. Aku … Aku tidak mungkin melakukannya.” Air mata perlahan-lahan menunjukkan dirinya, membuatku tak sanggup menahan gelapnya suasana hati.
“Kerja bagus, Lia. Kau sudah berhasil melewati masa-masa sulit. Sekarang hanya perlu melakukan hal terakhir dari rencana kita. Masa depan tetap akan sama jika rencana ini tidak dilakukan. Seharusnya kau sudah mengerti arti 3 lembar terakhir,” ucap profesor.
Aku melepas pelukan, menghadap profesor dan menatap wajahnya. “Baiklah kalau tidak ada cara lain.” Aku tersenyum, memaksakan ekspresi kebahagian di saat terakhir. Dan… mengarahkan pistol yang kupegang kepadanya dengan terus mengeluarkan air mata.
“Dahlia Dhurgha, selamat atas pencapaianmu. Kau sudah menerima semua ilmuku. Dan terimakasih sudah menjadi asisten terbaikku.” Tersenyum, tergambar jelas di wajahnya.
Begitulah cerita masa lalu yang kualami. Masalah 3 lembar, itu hanya tulisan tanpa makna agar aku tidak dapat memahaminya dan mencoba menemui profesor dengan segala cara hingga memilih lewat mesin waktu, sampai akhirnya aku dapat melihat berbagai macam masa depan mengerikan jika alat itu masih diciptakan. Membayangkan itu semua di bawah sinar bulan, air mata yang tadinya mengalir sudah mengering.
Pukul 8 malam, aku dikejutkan dengan turunnya hujan. Seharusnya tidak akan turun hujan hari ini berdasarkan segala macam skenario masa depan yang sudah kualami. Hujan ini membuatku sedih kembali, mata yang awalnya menatap ujung cakrawala berpaling menatap ke bawah, lebih tepatnya manatap profesor yang tidak bernyawa dengan darah yang mengalir, terserap oleh pasir. “Masa depan sudah berubah, profesor,” ucapku, tersenyum mengeluarkan air mata dengan ekspresi hampa .
Biodata Penulis
Akbar Priadi Sadikin, ia lahir di Medan tahun 2005. Menulis adalah salah satu hobi darinya, dan sering mengikuti lomba yang ia jumpai untuk meningkatkan skil di dunia penulisan. Saat menulis cerita ini ia sedang mengumpulkan ilmu sebagai mahasiswa S1 di Universitas Samudra, jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Kamu bisa lebih dekat dengannya melalui akun media instagram @akbar_priadi_sadikin