Oleh: Faizul
Pengalaman hidup menjadi seorang santri memiliki cerita dan kesan tersendiri bagi santriwan/i yang pernah tinggal di Pondok Pesantren. Pengalaman yang mungkin tidak bisa dilupakan semasa hidup saya. Hiruk pikuk perjalanan menjadi seorang santri, tentu memberikan warna yang berbeda, karena banyak sekali cerita yang tidak bisa didapatkan ketika hidup di luar pesantren.
Semenjak lulus dari Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 7 Banda Aceh, saya ingin sekali mondok (biar pintar ilmu agama katanya), walaupun banyak orang yang menganggap pondok itu seperti penjara yang mengekang kebebasan dengan segudang peraturannya.
Bagi saya pondok memang penjara, tapi penjara suci yang bisa mendekatkan kita dengan sang pencipta. Terkurung, terhukum dalam konteks menimba ilmu pengetahuan.
Saya berada di pesantren selama enam tahun, mulai dari MTS hingga MA. Selama menjadi santriwan, banyak pengalaman serta kesan yang sulit untuk dilupakan. Bagi saya pondok pesantren memberikan pelajaran yang sangat berarti. Mulai mengajarkan bagaimana hidup mandiri, dan jauh dari orang tua. Kebanyakan orang berpikir, jika seorang anak pergi mondok, maka tidak mendapatkan kasih sayang orang tua secara dekat. Namun, secara harfiahnya, sebenarnya mengirim anak ke Pesantren adalah bukti kasih sayang yang nyata dari orang tua terhadap anak.
Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW Artinya: “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)
Mengubah Mindset
Tidak semua orang suka untuk belajar di pondok pesantren. Terlebih kerap terdengar di tengah masyarakat kita anak pesantren pada dasarnya adalah anak yang kurang berakhlak, pergaulan bebas, dan anak keras kepala. Sehingga banyak orang tua memutuskan untuk mengirim anak mereka ke pondok pesantren. Hal tersebut menjadi paradigma yang keliru. Tidak semua anak terlahir berakhlak buruk. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW :
“Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”(HR. Bukhari Muslim).
Kemudian dipertegaskan kembali oleh Imam Al-Ghazali “Setiap anak adalah amanah bagi orang tuanya. Setiap anak memiliki qalbu (hati) suci sebagai mutiara atau perhiasan yang berharga. Jika setiap anak dibiasakan dengan hal-hal yang baik, ia akan tumbuh dengan kebaikan dan kebahagiaan dia dunia dan di akhirat. Sebaliknya, jika dibiasakan berbuat yang tidak baik dan ditelantarkan pendidikannya seperti hewan, ia akan celaka dan merugi. Oleh karena itu, setiap anak harus dilindungi dengan cara mendidik, meluruskan, dan mengajarkannya akhlak yang baik”.
Dari hadist dan kata-kata Imam Ghazali di atas dapat dijelaskan bahwa manusia dilahirkan atau diciptakan dalam keadaan fitrah. Di dalam kamus Lisanul Arab, Ibnu Mandzhur telah menuliskan salah satu dari makna ‘fitrah’ dengan arti (Al-Ibtida wal ikhtiro / memulai dan mencipta). Sehingga bisa disimpulkan bahwasannya fitrah merupakan penciptaan awal atau asal muasal dari kejadian. Fitrah manusia dapat diibaratkan sebagai kertas putih pada awalnya maksudnya yaitu bermakna kesucian jiwa dan rohani. Perkembangan fitrah pada diri manusia atau pribadinya telah ditentukan oleh faktor-faktor alam atau faktor-faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan.
Perkembangan fitrah pada diri manusia atau pribadi seseorang telah ditentukan oleh faktor alam atau lingkungan, termasuk faktor pendidikan. Jadi orang tua harus mampu menjadi support system untuk pendidikan seorang anak. Pilihan mau di sekolah umum atau pesantren sebenarnya kembali lagi kepada kedua orang tua. Namun, kewajiban kita sebagai umat Islam adalah mempelajari hukum Islam adalah fardu ain. Artinya setiap anak wajib dibekali ilmu agama agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak diinginkan di masa depan.
Ativitas Santri dan Melatih Disiplin
Kehidupan santri di pondok pesantren tidak lepas dari permasalahan-permasalahan kehidupan beragam yang dihadapi. Karena seluruh santri berkegiatan selama 24 jam setiap harinya di dalam lingkungan pesantren yang sama. Pondok pesantren umumnya mempunyai aturan-aturan yang harus ditaati oleh para santri, sehingga tujuan pendidikan di pesantren dapat terlaksanakan. Kedisiplinan santri diperlukan dalam menaati peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan oleh pengurus pondok, seperti keharusan shalat berjama’ah di Mesjid, shalat tahajud, mengaji Al-Qur’an setelah maghrib, anjuran melaksanakan puasa sunnah, dan sebagainya.
Di pondok, karena sifat pendidikannya adalah 24 jam, dinamika kehidupan nyaris berdenyut tanpa henti, kecuali pada saat tidur malam. Jadwal bangun adalah seperempat jam sebelum adzan Subuh, yang berkisar antara jam 3.30 dan 04.15 Subuh. Semuanya sudah harus bangun dan bersiap-siap untuk shalat jama’ah di Masjid. Selesai subuhan, mengaji di masjid hingga jam 05:30, atau bila ada kegiatan muhadatsah dilakukan hingga mendekati pukul 06:00 Wib.
Setelah selesai aktivitas di atas, kegiatan berikutnya adalah kembali ke asrama masing-masing untuk mandi dan sarapan pagi. Ada yang mengantri untuk mandi, ada juga yang memilih sarapan terlebih dahulu. Hal unik pada saat antrian kamar mandi adalah tidak ada santri yang mengantri layaknya seseorang mengantri di mall untuk melakukan proses pembayaran. Di sini, cukup diwakili oleh gayung atau kotak sabun / peralatan mandi yang diletakkan begitu saja di depan pintu kamar mandi.
Santri memang dilatih untuk sabar dalam berbagai hal, termasuk menggunakan fasilitas kamar mandi. Lantaran jumlah santri yang cukup ramai, mau tidak mau para santri harus mengantri saat akan menggunakannya. Tentu kebiasaan ini bisa jadi positif karena mengajarkan sikap saling menghargai satu sama lain. Keberhasilan seorang guru bukan hanya memberikan pelajaran di kelas, namun jika santri atau siswa sudah bisa mengantri dengan baik, disanalah keberhasilan yang sesungguhnya.
Setelah itu, tepatnya pukul 08:00 Wib semua santri sudah bergegas untuk berangkat ke sekolah. Di sekolah, santri mendapatkan pengetahuan umum sebagaimana sekolah lain. Artinya, belajar ilmu Science atau sosial tergantung kepada peminatan. Hal tersebut tentu menarik, artinya ilmu agama dan dunia harus berimbang. Setelah Zuhur, tentu aktivitas kembali ke dayah hingga berhenti belajar tepat pada pukul 11:00 malam.
Melihat bagaimanana rutinitas seorang santri tentu ada hal besar yang kita harapkan di kemudian hari. Santri adalah sekelompok orang yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Ulama, dan dididik menjadi pengikut dan pelanjut perjuangan ulama yang setia. Di tengah tantangan global dewasa ini santri hadir sebagai implementasi terhadap umat dan bangsa sebagaimana ajaran Islam yang rahmatan lill ‘alamin, yaitu Islam yang wasatiyah dan Islam yang Ahlusunnah wal Jamaah. Jadi, masuk pesantren tergantung kepada niat masing-masing sebagaimana dalam hadist dikatakan innamal a`malu binniyati yakni segala perbuatan bergantung pada niaatnya.
Penulis adalah Santri kelas XI IPS 1 Madrasah Aliyah Darul Ulum Banda Aceh dan juga Anggota MADU Literacy Club angkatan 2022.