Oleh Irma Ibrahim
Pemerhati Pariwisata dan Budaya, Berdomisili di Banda Aceh
Lain lubuk, lain Ikan, lain Padang lain Ilalang. Kata pepatah ini menyampaikan pesan bahwa setiap daerah memiliki keragaman budaya yang berbeda. Ini adalah pertanda bahwa kekayaan budaya Indonesia sangat luar biasa. Keragaman budaya ini juga akan diikuti atau dipatuhi oleh siapa saja yang berkunjung atau melakukan perjalanan ke daerah yang dituju yang tentunya mematuhi juga aturan aturan yang berlaku di daerah tersebut, dengan kata lain “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”
Begitu pula halnya dengan tarian Penyambutan Tamu, setiap daerah memiliki tarian khas untuk menerima tamu dikutip dalam media online, Berita dan media online Katadata; Tarian penyambutan tamu di Aceh adalah Tarian Ranub Lam Puan dan Tarian Peumulia Jamee yang pada dasarnya adalah sama untuk penyambutan tamu. Di Sumtra Utara Tari Tor Tor, di Jambi tari Sekapur Sirih, di Sumatra Barat Tari Indang, di Riau Tari Persembahan, di Jawa Barat Tari Jaipong, di Yogyakarta Tari Serimpi,di Bali Tari Pendet dan begitu pula daerah lainnya sampai dengan Papua tari Selamat Datang.
Tarian penyambutan tamu ini biasanya ditarikan pada acara-acara kebudayaan, kedatangan tamu kehormatan, dan juga pada penyambutan acara pernikahan.
Di Aceh untuk menerima tamu tidak hanya disambut dengan tarian Ranub Lampuan, tetapi ada juga yang disambut dengan tari Guel di wilayah Tengah Aceh, dan Silat Geulumbang di Wilayah barat Aceh. Dan ada juga disambut dengan Seumapa (saling menyapa) atau Balas Pantun, menyampaikan tujuan datang yang saling sahut menyahut menjawab pertanyaan, ini biasanya pada saat menyambut kedatangan pengantin laki-kali atau linto ke rumah darabaro (pengantin perempuan).
Tari Ranup Lampuan merupakan tari memuliakan tamu yang datang yang disuguhi sirih, baik kepada tamu yang datang maupun pengantin yang disambut kedatangannya.
Melihat sejarah Aceh masa lalu, Dikutip dalam media AcehTrend.com, sejarawan dan budayawan Aceh Tarmizi A Hamid menceritakan adat memuliakan tamu/peumulia jamee sudah mulai sejak zaman kerajaan Aceh Darussalam dan dianggap sangat penting bagi masyarakat Aceh, karena pada saat itu banyak pendatang dengan berbagai kepentingan untuk datang ke Aceh. Jauh sebelumnya, Aceh juga didatangi oleh ulama penjelajah dunia dari Maroko yaitu Ibnu Bathutah dan disambut oleh kerajaan Aceh dengan mengirimkan beberapa ekor kuda. Kemudian beliau disuguhi setapak sirih dengan kelengkapannya oleh pihak kerajaan yang berkuasa pada saat itu.
Pada masa Kerajaan Sultan Iskandar Muda, Sultan mulai berfikir untuk melahirkan sebuah aturan, guna menjamu tamu-tamu yang datang ke Aceh dalam berbagai kepentingan, maka dibentuklah sebuah aturan atau adat tersebut Peumulia Jamee dalam “Qanun Meukuta Alam”
Unsur dari peumualia jamee ini di antaranya upacara peusijuk dengan menghidangkan makanan kepada tamu baik itu muslim maupun nonmuslim. Dalam suguhan makanan juga menyuguhkan kudapan manis manis seperti Jimpha asoe kaya, bu leukat asoe kaya dan lain-lain.
Dalam Buku “Aceh Bumi Srikandi” Dinas Kebudayaan dan Paiwisata Aceh disebutkan bahwa ketika tamu dari Arab datang kepada Kerajaan Aceh untuk menyampaikan teguran kepada kerajaan Aceh pada saat itu dipimpin oleh seorang wanita yaitu Sulthanah Zakiatuddin Inayatsyah, namun Sulthanah menyambut dengan keramahan, lugas dan berwibawa sehingga sang tamu tidak berani menyampaikan maksud dan tegurannya. Ketika tamu pulang dihadiahkan emas sebagai oleh-oleh dan tandamata dari kerajaan Aceh.
Begitulah sikap orang Aceh pada saat itu yang tetap mengikuti sesuai dengan Hadits Rasulullah,…”barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tamunya (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Melihat sejarah Aceh dalam hal memuliakan tamu bahwa rakya Aceh sangat menghargai tamunya, tidak hanya sebatas menyambut tetapi juga memberi makan minum bahkan memberi hadiah oleh-oleh ketika pulang. Berarti orang Aceh saat itu tangannya tidak pernah berada di bawah tetapi selalu berada di atas, dengan kata lain tidak pernah meminta, tetapi selalu memberi.
Namun apa yang terjadi saat ini, bahwa memuliakan tamu kian hari bergeser dengan kemajuan teknologi dan kesibukan orang masing-masing. Memuliakan tamu hanya pada saat-saat acara seremonial dan acara adat dan budaya saja, untuk silaturahmi antar wargapun sudah mulai menurun.
Melihat kembali proses penampilan tarian Ranub Lam Puan saat ini ketika menyuguhkan sirih kepada tamu atau pengantin sudah seperti kewajiban untuk memberikan uang atau amplop berisi uang kepada penari. Apakah memuliakan tamu harus dibayar dengan amplop dan Uang?
Bukankah memuliakan tamu benar benar mumuliakannya tanpa imbalan? Beda halnya dengan hiburan atau ronggeng seperti salah satu lagu dangdut, makin banyak sawerannya makin asyik goyangannya. Nah, bagaimana pendapat pembaca tentang saweran di Tarian Ranub Lampuan ?