Oleh Delia Rawanita
Pagi yang indah. Suasana begitu nyaman dipagari rimbunan pohon melati di depan kelas kami. Kunikmati semerbak harum bunga yang masuk dari celah jendela di samping tempat dudukku. Sejenak pandangan tertuju kepada ibu guru. Beliau datang dengan seorang perempuan sebayaku dan belum pernah kulihat sebelumnya .
“ Hari ini kita kedatangan siswa baru pindahan dari luar kota “, kata bu guru mengawali pagi itu. Kemudian beliau mempersilahkan untuk memperkenalkan diri. Dia begitu luwes, santun tanpa canggung. Kelihatan betul seorang yang cerdas dan berakhlak. Ketika guru menyilakan memilih tempat duduk, aku memberanikan diri mengajak duduk di sampingku saja. Kebetulan kursi di sebelahku memang kosong.
“ Terima kasih ya, kenalkan namaku Dinda” . Begitulah awal persahabatan kami dan berlanjut sebagai teman belajar, saling mengisi apabila ada kesulitan dalam mata pelajaran atau jika ada tugas kami selesaikan bersama . Aku makin bersemangat ke sekolah mengerjakan tugas, sehingga membuat orang tuaku senang atas perubahanku sekarang.
“ Jangan lupa bawa sarapan di dalam kotak , nanti sakit lambungmu kumat lagi “ pesan ibu khawatir kalau aku terlalu asik belajar , itulah sebabnya setiap hari bawa bekal ke sekolah.
“ Ibu buatkan 2 kotak ya , buat teman baru satu kotak “
Sejak Dinda masuk dalam kehidupanku, kami selalu dibuatkan sarapan oleh ibu. Apalagi aku cerita bahwa Dinda tidak mau diajak ke kantin dan lebih memilih duduk belajar atau mencatat pelajaran yang tertinggal. Sikapnya yang selalu positif membuat orang tuaku bersimpati padanya.
“ Sayang, sedekah pagi membuat berkah lho” bisik ibu mengira aku keberatan, padahal aku melamun, karena lagi mengingat diskusi kemaren tentang definisi sahabat . Sahabat yang baik adalah selalu berada di samping kita, baik suka maupun duka, kata Dinda.
Kupacu sepeda motor kesayangan dengan cepat, maklum letak sekolah dengan rumah lumayan jauh. Ibu sebenarnya sangat mengkhawatirkan keselamatanku di jalan, apalagi aku adalah anak perempuan satu satunya, sehingga beliau sering menawarkan agar aku diantar jemput supir, tapi kutolak. Aku ingin mandiri. Aku tidak ingin terlihat menyolok di antara temanku yang lain.
Nah, itu dia Dinda ! Seperti biasa setiap pagi Dinda menunggu di halte. Kami janjian untuk pergi sekolah bersama . Aku hafal kebiasaan Dinda setiap pagi ke sekolah dengan angkot, lalu pulang sekolah berboncengan dijemput Bayu, adiknya dengan mengendarai sepeda. Apalagi sekolah mereka berlawanan arah.
Kata Dinda ayahnya bekerja sebagai buruh kasar. Sedangkan ibunya meninggal ketika melahirkan adiknya. Mereka tinggal bertiga di sebuah rumah kontrakan di gang sempit dan sering banjir . Syukurlah, karena lokasi rumahku searah dengan ke rumah Dinda. Sejak dia pindah sekolah, hampir setiap pagi kami bisa ke sekolah bersama.
Nih, Tugas menggambar sengaja kubuat dua sekaligus, pasti belum siap, kan” kata Dinda menawarkannya sesampai di sekolah. Senyumku kian melebar kesenangan. Memanglah Dinda ditakdirkan menjadi dewi penolong yang baik hati, tapi aku juga melakukan hal yang sama jika kulihat Dinda kesulitan, terutama pelajaran sains yang tidak berhasil dia selesaikan. Kami memang saling berbagi. Aku lebih ahli di bidang eksact, sedangkan Dinda non eksact. Tak ada yang dirugikan, ibarat simbiosis mutualisme .
Hari ini kulihat Dinda tidak seperti biasa. Kelihatan wajahnya gundah seperti menyimpan sesuatu .
“ Ada apa Dinda , hari ini wajahmu tidak secerah matahari pagi ” Bukankah sahabat itu saling berbagi , mana tahu aku bisa bantu menyelesaikannya”. Kuajak Dinda ke kantin, namun dijawab dengan menggelengkan kepala lalu diam. Seperti takut menyusahkan orang lain dengan terpaksa dia bercerita juga bahwa beberapa malam ini rumahnya kedatangan rentenir menagih pinjaman. Sementara ayahnya sedang sakit. Ayah juga memaksa agar kami tetap ke sekolah agar tidak ketinggalan pelajaran. Betapa ayahnya ingin agar Dinda dan Bayu adiknya yang masih di bangku SMP tetap berprestasi, sehingga menjadi orang yang sukses di kemudian hari ” katanya dengan suara lirih.
Ketika bell istirahat, Dinda dipanggil oleh Wali Kelas . Aku ingin menemani, namun dilarang dikatupkan bibirnya dan mengelak menjawab pertanyaanku. Rasa penasaranku makin menjadi. Aku takut jika ada masalah besar yang menimpa sahabatku ini. Dengan berpura pura sakit perut aku minta izin ke toilet. Kebetulan suasana sepi , dengan cepat aku berbalik arah ke ruang kepala sekolah . Diam diam aku mencuri pembicaraan kepala sekolah dengan ibu bendahara dari samping jendela ruang kantor, dari dalam terdengar pembicaraan mereka.
“ Bagaimana Dinda , uang sekolah sudah beberapa bulan nunggak dan baju seragam belum dibayarkan ” terdengar suara bu Fatir bendahara sekolah kami.
“ Orang tua saya sudah 2 bulan ini sakit bu , nggak bisa kerja “, sedang uang tabungan yang saya peroleh dari hasil upah nyuci sudah saya bayarkan untuk biaya masuk sekolah adik terlebih dulu, bu” terdengar suara Dinda sedih.
Seketika Suasana hening, ketika Dinda menceritakan kisah hidupnya. Aku mencoba mengintip. Terlihat Dinda menunduk sambil menutupi wajahnya. Betapa terpukulnya aku mengetahui penderitaannya. Ternyata begitu keras perjuangan Dinda untuk mewujudkan harapan orang tuanya, padahal hampir setiap hari kami bersama. Pantaslah, mengapa dia tidak pernah jajan ke kantin.
“ Ya, sudah lah Dinda , jangan bersedih lagi. Karena kamu anak berprestasi,maka ibu yang akan lunaskan” kata ibu kepala sekolah dengan bijaksana .
“ Alhamdulillah , terimakasih banyak, Bu “. Sahut Dinda dengan suara parau. Ah, Sahabat yang selama ini bersamaku sedang menghadapi cobaan hidup . Ternyata Dinda ikut mencari uang sekolah dan untuk membiayai adiknya dengan cara bekerja menjadi tukang cuci di rumah orang dan membantu mencuci piring kotor di rumah makan. Sisa makanan boleh dibawa pulang untuk makan malam mereka bertiga.
Kupercepat langkah menuju kelas agar Dinda tidak melihatku menguping pembicaraan . Di kelas lihat dia termenung lagi seperti memikirkan sesuatu, tapi aku tak berani mengusik hatinya, kubiarkan saja dia tenggelam dalam perasaannya. Pasti dia ingin sendiri.
Sepanjang perjalanan pulang , pikiranku tertuju pada percakapan Dinda tadi. Entah mengapa aku ingin membuktikan sendiri . Mungkin ini penyebab Dinda tidak mau kuantar pulang dan memilih pulang sekolah dijemput adiknya dengan sepeda. Rasa penasaranku bertambah. Kuikuti mereka berdua dari belakang. Tak lama terlihat mereka berdua turun dari sepeda , kelelahan . Dinda mengeluarkan sesuatu dari dalam tas lalu diberikan kepada adiknya.
Ya Tuhan.. ternyata sarapan yang setiap pagi kuberikan disimpan sebahagiannya untuk adiknya . Aku tertegun , itu sebabnya Dinda tak pernah menghabiskan setiap makanan yang disiapkan ibuku buatnya dengan alasan sudah kenyang atau dimakan nanti saja “ . Tanpa sadar air mataku menganak sungai .
Nah itu dia ! Sepertinya tujuan mereka sampai. Kulihat sepeda disandarkan di dinding toko begitu saja, mungkin karena tumpang penyangga sepeda rusak. Kemudian mereka mulai berjalan melewati gang gang sempit di daerah pertokoan . Begitu cepat sehingga aku kehilangan jejak. Entah apa gerangan yang terjadi.
Hampir dua jam aku menunggu dari jauh, tapi bayangan mereka tak tampak. Duh, Perutku mulai bunyi minta diisi. Luambungku terasa perih, kepala juga ikut pusing, kuputuskan untuk menyudahi petualangan rahasia. Aku kembali ke rumah saja.
Peristiwa itu aku ceritakan pada kedua orang tuaku yang dari tadi sudah menunggu. Mereka sangat cemas jika aku pulang tak tepat waktu dan tidak memberi kabar. Syukurlah, orang tuaku memakluminya dan sangat prihatin terhadap nasib Dinda sahabatku, apalagi mereka anak yang berprestasi.
“ Ibu ingin sekali berkenalan dengan orang tua Dinda. Ajaklah kemari “, begitu permintaan ibu yang kusambut dengan suka cita, apalagi orangtuaku juga mengundang Dinda dan adiknya sekalian makan malam bersama. Semoga ayahnya sudah pulih dari sakit.
“ Besok di sekolah pasti aku sampaikan , bu “ . Betapa bahagianya hati ini karena ternyata orang tuaku juga perduli terhadap kehidupan sahabatku. Walaupun mereka berdua sangat sibuk dengan pekerjaan di kantor , namun segala yang berkenaan dengan kesulitan orang lain terutama di bidang pendidikan beliau pasti membantu dengan berbagai kemudahan.
“ Bu, nanti mereka diantar – jemput pak supir, kan “ ujarku untuk memastikan agar tidak ada kendala bila mereka datang menerima undangan orang tuaku. Maklumlah lokasi rumahku agak sulit transportasi jika menjelang malam.
Kulihat ibu tersenyum menganggukkan kepala tanda setuju. Ah, rasanya ingin malam ini cepat berlalu, walaupun aku belum tahu bagaimana hasil kesimpulan dari pertemuan besok. ..
Pagi ini entah mengapa badanku terasa berat untuk digerakkan, kepala pusing sehingga aku tak mampu ke kamar mandi. Kupaksakan juga bangun karena takut terlambat ke sekolah, apalagi aku nanti malam akan mengundang Dinda dan keluarganya ke rumahku. Namun tubuhku makin melemah, rasa pusing dan mual menjadi satu hingga akhirnya tubuhku ambruk. Sayup sayup kudengar suara ibu berteriak, suasana riuh lalu aku tak ingat apa apa.
“ Bangunlah nak, jangan biarkan ibu sedih “ isak tangis ibu menyadarkan aku serta aroma obat obatan membuat aku terjaga. Ku lihat ibu dan ayah duduk menemani di kiri kanan tempat tidur, raut wajah khawatir menyelimuti mereka.
“ Aku di mana bu? Kenapa kamar tidurku sudah berubah putih semua? “ tanyaku sambil mencoba untuk duduk. Kukuatkan diri agar suasana mencair melihat mereka begitu gundah.
“ Kamu nginap di Klinik udah 2 hari. Makanya jangan terlambat makan , akibatnya lambungmu kumat lagi ” , Kata ibu memang selalu benar. Aku baru ingat kemaren dulu waktu aku mengikuti Dinda pulang sekolah karena penasaran ingin mengetahui ada apa dengannya hingga terlambat pulang, terlambat makan , melanggar kebiasaan hingga aku terkapar.
Hari ini aku mulai kembali ke sekolah diantar pak supir. Aku menyuruh pak supir untuk berhenti di halte tempat Dinda biasanya menungguku pada jam yang sama hampir sepuluh menit , namun tak ada Dinda. Karena takut terlambat, aku menyuruh pak supir mempercepat jalannya mobil. Sesampai di sekolah Dinda juga tak ada, aku mulai kasak kusuk bertanya, ternyata Dinda sudah 3 hari tidak datang ke sekolah karena orang tuanya meninggal dunia.
Aku tak sabar menunggun bell pulang. Pikiranku hanya tertuju pada Dinda. Aku ditemani supir keluarga pak Nanang, agak kesulitan menemukan alamat. Untunglah seorang anak kecil menunjukkan tempat di mana rumah orang yang meninggal 3 hari yang lalu. Kami menuju sebuah rumah berdinding kayu yang sangat sederhana, ada tanda plastik merah terikat di pagar kayu yang hampir roboh. Langkah terhenti seketika, terlihat seorang perempuan setengah baya berambut pirang keluar dari rumah tersebut bersama 2 laki laki berkulit hitam, sambil membanting pintu . Setelah mereka agak jauh, aku buru – buru mengetuk pintu, namun tak dibuka. Aku mencoba mengintip dari celah dinding yang berlubang , kulihat Dinda duduk sambil memeluk lutut di lantai beralas tikar berdua Bayu adiknya dengan wajah ketakutan dan bingung. Kukeraskan ketukan sambil memanggil nama Dinda. Pintu terbuka , Dinda memelukku erat sambil menangis terisak isak.
“ Maaf aku baru masuk sekolah karena udah 3 hari dirawat di klinik, jadi baru tahu kalau orang tuamu meninggal” .
Kuceritakan keinginan ibu mengundang mereka ke rumah, namun takdir berkata lain. Dengan terbata bata Dinda bercerita tentang tamu yang keluar tadi.
“Katanya beliau sahabat almarhumah ibu. Besok kami berangkat ke Medan, setelah surat selesai, kami akan disekolahkan ke luar negeri. Disana kami akan diasuh oleh orang kaya, makanya kami tidak boleh pergi kemana mana , semuanya diurus oleh Tante Titik.
“Oh, Tante yang tadi keluar dari sini dengan laki laki itu” . Aku mulai curiga dengan penampilan mereka, karena sebelumnya merekapun tak pernah mengenalnya. Aku utarakan perasaan gusarku kepada Dinda,namun dia diam saja sepertinya pasrah, karena aku yakin karena tak ada tempat bergantung lagi, tak ada sanak saudara.
“ Selidiki dulu, Dinda, apakah mereka orang baik atau punya maksud tertentu “ kataku hati hati
“ Aku bingung tidak ada pilihan lain apalagi katanya mereka tinggal di dekat sini juga “ . Biaya ayahku sakit sampai kepemakaman mereka yang tanggung, juga urusan sekolah kami nanti” jawab Dinda polos. Aku gemetar mengingat seandainya terjadi sesuatu yang buruk .
Setelah menggenggam uang ala kadar untuk Dinda dan adiknya, aku dan pak supir Nanang pamit pulang. Di perjalanan aku gundah mengingat penampilan tamu yang datang ke rumah Dinda dan ingin membawa mereka pergi begitu saja. Di rumah semua kegelisahanku dan musibah yang menimpa sahabatku kuceritakan dengan harapan orang tuaku bisa membantu.
“ Baiklah , biar ayah ditemani pak Anang mendatangi pak RT sekarang . Ayah mencoba menenangkan perasaanku dan mulai menghubungi beberapa temannya .
Aku hampir tertidur saat ayah tiba di rumah, ibu juga soalnya menunggu kelanjutan kabarnya.
“ Rumahnya kosong, Dinda dan adiknya sudah dibawa mereka ” . Aku terhenyak menyesal, mengapa tidak mengajak mereka ke rumahku tadi siang dan berangkat dari sini sehingga orang tuaku bisa melihat dan berjumpa dengan Tante berambut perang
“ Tadi ayah sempat melapor kepada pak RT ditemani tetangga mereka. Tetangga curiga karena sebelum berangkat terdengar mereka ribut ribut sepertinya ada pemaksaan”. Aku semakin khawatir tentang nasib Dinda, padahal keberangkatan mereka besok pagi dan bukan malam ini.
” Kita kejar ke Terminal Ayah, mana tau mobil tumpangan belum berangkat” Kulihat Ayah segera menelfon Om Tannama adiknya, kebetulan beliau punya banyak kenalan di Kepolisian. Tanpa membuang waktu bergegas ayah meminta pak Nanang mengantar kami ke terminal. Kulihat ada beberapa telah berangkat, ada juga yang mulai bergerak ,aku cemas dan mulai histeris. Kunaiki mobil yang mulai berjalan sambil berteriak menyebut nama Dinda.
Mataku liar mencari, mungkin Dinda ada di antara penumpang, namun usahaku sia sia..
“ Dindaa, dinda.. aku menangis dengan penuh penyesalan. Seandainya saja aku tidak dirawat karena sakit , seandainya dinda mau sedikit saja menceritakan kepedihan hidupnya.
Ah sahabatku , Dinda.. betapa aku kehilanganmu. Suara tangisku kembali pecah, aku tak perduli jadi tontonan orang yang makin ramai mengerumuniku.
“ Sudahlah sayang , kita berdoa semoga Dinda selamat . Ibuku kembali membujuk .
“ Aku Dinda, aku masih disini” . Suara Dinda terdengar sangat dekat, kurasakan ada tangan merangkulku dari belakang aku segera membalikkan badan dan tak percaya. “ Dinda” Kupeluk sahabatku yang malang, sahabatku tersayang. Di sebelah ayah dan ibu kulihat Om Tannama tersenyum mengacungkan jempolnya dan beberapa petugas kepolisian.
“ Terima kasih Om, kami selamat dari tangan sindikat perdagangan anak “, kata Dinda menyalami mereka satu persatu, diikuti Bayu. Oh, alangkah indahnya malam itu betapa hatiku dipenuhi rasa syukur , haru semua menjadi satu. Dengan rasa bahagia kami kembali berangkulan. Aku , Dinda dan Bayu.
Juli 2022