Oleh. Delia Rawanita
Minggu pagi, aku bersiap ke kebun berdua dengan ayah. Maklumlah sekarang sedang musim panen cengkeh. Kasihan jika ayah sendirian . Perjalanan ke kebun melewati jalan beraspal, di kiri gunung dan sebelah kanan jalan terbentang laut dengan rimbunan pohon cemara yang tertata rapi . Biasanya sepulang dari kebun, tak lupa singgah di warung pinggir pantai. Lalu kami makan mie rebus dan teh hangat sambil menikmati angin sepoi- sepoi, serta mendengarkan nasihat yang sudah aku hafal isinya yakni agar tetap menuntut ilmu dan memiliki keahlian. Ayah tidak ingin aku putus sekolah seperti beliau dulu, makanya ayah ingin aku menjadi seorang Insinyur Pertanian, sehingga ilmu yang kuperoleh nantinya bisa bermanfaat buat masyarakat.
Desa tempat kami tinggal merupakan penghasil cengkeh terbaik. Jadi hampir semua penduduk menjadi petani cengkeh dan hasilnya lebih dari cukup membiayai pendidikan dan biaya hidup lainnya.
Setiba di area kebun, terlihat pohon pohon di penuhi cengkeh yang sedang meranum matang. Kalau sudah masa panen begini , biasanya aku diberi jatah panen oleh ayah sebatang pohon dekat pondok tempat istirahat kami. Aku boleh memetik sesukanya untuk keperluan sekolah dan sisanya ditabung .
Syukurlah, dengan begini aku bisa berbagi dengan kawan yang kurang mampu di sekolahku, bahkan tidak jarang kuajak mereka ikut ke kebun membantu kami. Ketika pulang, mereka dapat penghasilan tambahan.
Pagi ini wali kelas masuk untuk mengumumkan bahwa beberapa hari lagi akan diadakan acara sepeda santai dan kemping bersama warga sekolah. Bagi peserta yang bersedia ikut harus mendapat izin dari orang tua terlebih dulu, serta membayar biaya akomodasi lainnya. Tentu saja disambut dengan gembira oleh semua siswa.
Kupacu sepeda motorku menuju rumah tanpa memperdulikan matahari yang menyengat. Aku harus bertemu ayah sekarang. Kucari di setiap ruang, ternyata ayah di halaman belakang rumah sedang menjemur cengkeh hasil panen kemaren. Dengan tak sabar kuceritakan bahwa Sabtu ini anak sekolahku akan mengadakan kemping di laut lhoknga. Aku sangat bersemangat untuk ikut, sebab kegiatan ini baru pertama kali dilaksanakan dan menjadi pengalaman menyenangkan karena diikuti semua warga sekolah.
Agak susah meyakinkan ayah , maklumlah beliau kurang setuju untuk acara di luar sekolah , khawatir keselamatan di perjalanan, apalagi berangkatnya dengan kendaraan sepeda secara beramai ramai, pastilah mengundang bahaya. Begitu alasan ayah panjang lebar, namun syukurlah setelah aku yakinkan bahwa kami akan didamping oleh guru dan wali kelas serta pengamanan dari pihak lalu lintas, barulah surat izin dari wali kelas bersedia ditanda tangani ayah.
Aku makin rajin membantu ayah , tentu saja agar pekerjaan lekas selesai juga untuk mengambil hati beliau. Kali ini tugasku memetik cengkeh yang tinggal pilihan saja. Soalnya cengkeh hanya boleh dipetik pada saat kepala bunga kelihatan sudah penuh, tapi belum membuka dan karena masa matang petik tidak serempak, makanya bisa diulang setiap 10 atau 2 minggu lag. Apalagi untuk mendapatkan kualitas bagus cengkeh kemudian diperam sekitar satu hari agar warna cengkeh menjadi coklat mengkilat, barulah di jemur. Nah , itu saatnya bagiku aroma cengkeh berubah menjadi aroma uang.
Sabtu , hari yang ditunggu tiba. Pagi sekali aku bersiap dengan sepeda menuju sekolah. Padahal arah jalan menuju Lhoknga tempat yang dituju melewati desa tempatku tinggal. Tapi peraturan yang harus dipatuhi adalah sebelum jalan kami harus diabsen satu persatu dan berangkat dari sekolah. Untunglah , bersepeda bukan hal baru buatku karena sering ke kebun naik sepeda bersama ayah. “ Alah bisa karena biasa”. Begitu kata guruku.
Sepanjang perjalanan sangat berarti buatku. Kunikmati kebersamaan ini tanpa harus berlomba biar cepat sampai ketujuan, apalagi ada tugas yang dibebankan oleh wali kelas sebagai pengawal regu. Sebahagian rombongan sudah melaju ke depan, ada yang santai berpasangan bersama pacar sedang aku tetap di posisi belakang sesuai tugas diberikan. Berjaga – jaga kalau ada masalah di perjalanan dan memberi laporan kepada Wali kelas.
Setengah perjalanan sudah aman dilewati tanpa masalah. Tapi tunggu dulu, dari jauh aku lihat seseorang menepi di pinggir jalan terpisah dari kelompok. Kelihatannya ia sengaja ditinggal pasangannya. Kuperhatikan lagi seperti wajahnya tak asing buatku , ternyata dia Leina adik kelas sang juara olimpiade Matematika di sekolah kami.
“ Kenapa kok berhenti , ada apa dengan sepedamu.. “
“ Sepedaku nggak bisa jalan , bang” sahutnya dengan mata berlinang.
Dengan sigap aku turun dari sepeda, kulihat rantai sepedanya jatuh . Aku mencoba membantu, digeserkan badannya ke pinggir agar aku bisa leluasa bekerja. Kulirik wajahnya yang dari tadi terus saja memperhatikan gerakan jemariku, manis sekali, aku membatin .
Setelah sepeda selesai diperbaiki , aku mengajaknya kembali berangkat . Sepanjang perjalanan sebenarnya aku ingin ngobrol tentang hal yang berkenaan dengan kejadian yang kulihat tadi dari kejauhan, sampai dia menangis kebingungan ditinggal dengan kondisi sepeda rusak, tapi kutepis agar tidak merusak suasana hatinya. Kudayung sepeda agak lebih cepat agar pikiranku fokus ke tujuan, namun belum berapa jauh kudengar ada teriakan memanggil manggil. Aku menoleh kebelakang,
“ Bang, tolong rantai sepedanya jatuh lagi ” kulihat wajahnya khawatir soalnya rombongan sudah mendahului kami , takut ditinggal sendirian lagi. Aku berusaha meyakinkan bahwa dia akan aman dan aku akan mengawalnya sampai di tempat, barulah dia terlihat lega.
Sambil menyelesaikan pekerjaan dia mencoba membuka pembicaraan dengan cara berkenalan denganku.
“ Nama abang siapa, namaku Marleina, panggil aja Leina “ katanya sedikit malu. Mungkin agak terpaksa karena rasa tak enak hati telah dibantu membetulkan sepeda sampai dua kali, mungkin.
“ Bang Yasin “ kataku sambil menyambut jabatan tangannya. Sial, aku sampai lupa bahwa tanganku masih kotor karena membetulkan rantai sepedanya.
“ Maaf , nggak apa “ katanya sambil tertawa. Dikeluarkan air mineral, dituangkannya ke tanganku lalu dibersihkan dengan sapu tangan dari dalam tas dan tanpa ragu. Begitu cepat aku gugup. Jantungku berdegup kencang, badanku panas dingin. Mana pernah aku bersentuhan dengan perempuan, apalagi perempuan idola sekolah.
Ya ..Tuhan , betapa beruntungnya aku, kisah hatiku kiranya berawal dari sini.
Kami kembali memacu sepeda berdua menyisir jalan menuju tempat tujuan, Pantai Lhoknga. Takut sepedanya bermasalah lagi, aku mencuri kesempatan. Aku bantu dorong dengan menggunakan sebelah kaki, agar tidak terlambat sampai ke tujuan. Kulihat dia tertawa dan terlihat santai, namun tetap saja tak ada juga yang memulai bicara. Aku sepertinya kehabisan kata kata.
Untunglah, keadaan seperti itu tak berlangsung lama. Dari jauh lokasi yang dituju telah terlihat kesibukan sedang berlangsung. Ada yang mendirikan kemah dan ada pula yang mulai mendekat ke laut. Beberapa teman sekelasku memandang dengan tatapan iri melihat aku tiba di lokasi bersama Leina, apalagi aku ikut mencari dimana rombongan kelasnya. Tidak terlalu sulit , karena di depan kemah telah ditulis kelas dan nama peserta masing masing.
Syukurlah , kemah laki laki dan perempuan tidak berjauhan letaknya, tujuannya mudah dipantau guru pendamping. Begitu juga aku, bisa memantau si Leina gadis manis sahabat baruku.
Suasana menjadi tambah nikmat ketika salat Ashar berjamaah di tepi pantai di temani debur ombak . Bersama teman kami mencoba istirahat di bawah pohon cemara. Semilir angin senja mendesau menggelitik rasa hatiku. Aku tersenyum mengingat kejadian perjalanan tadi. Ada rasa nyaman menyelinap, romaku meremang senang, hatiku berbunga bunga. Duh, pikiran macam apa ini.
Kulepas pandangan ke laut. Kulihat Leina di sana bersama teman temannya. Namun entah apa yang mereka bicarakan, Leina bergegas menjumpai seseorang perempuan yang sedang duduk berpasangan. Seperti terjadi perselisihan, terdengar suara bertengkar, tak lama kemudian seorang laki laki mengajak pergi meninggalkan Leina sendiri. Ada apa dengan Leina, aku membatin.
Pantai senja itu dipenuhi banyak aktifitas, ada yang berfoto bersama, ada yang hanya yang mengabadikan indahnya pemandangan. Kasihan Leina , merenung sendirian. Setelah agak lama kuperhatikan keadaan Leina seperti itu, aku memberanikan diri beranjak mendekatinya, walaupun sempat dicegah kawanku, tapi kuanggap Ini sebuah peluang. Darah mudaku memanggil.
“Abang boleh duduk di sini ya, tak baik sendiri di tepi pantai ” Dia menoleh ke arahku dan mengangguk perlahan. Kelihatan jelas dia sedang terluka
” Lihat Liena, laut tak pernah lelah menepikan buih , begitu terus selama ada debur ombak ” pancinganku mengena tepat di jantung . Tanpa disuruh Liena mulai bercerita tentang betapa sakitnya kecewa. Ternyata selama ini mereka berdua diam diam menghianati kepercayaan Liena. Buktinya di depan semua orang mereka berani bermesraan , matanya mengarah ke bawah pohon cemara.
Kulihat dua sejoli sedang bercengkerama, mesra. Mereka juga yang tadi tega meninggalkan Liena sendirian di waktu sepeda yang dikendarainya rusak.
” Ah, lelaki pendusta seperti itu dipikirkan. Baru jadi pacar sudah begitu, bagaimana kalau dijadikan suami, pasti lebih parah” Aku sengaja membakar hatinya. Kulihat senyum di wajahnya, tangannya meremas pasir sambil menarik nafas panjang.
” Kapok punya pacar ganteng, bang. suka tebar pesona ” ujar Leina datar.
” Iya, mending kayak abang Yasin , wajah biasa aja, tapi dijamin setia” timpalku. Kulihat Liena tertawa lepas, dilemparkan pasir yang ada di genggaman tangannya ke arahku, lalu bangkit berlari. Aku pun ikut mengejarnya , kami berlarian di pantai. Rona sedih di wajah Liena sirna sudah.
Senja makin jatuh, semburat bianglala perlahan menghilang. Kuajak Leina menyisir pantai, tak terasa kami tangan saling menggenggam. Hanya debur jantung mengiring Indahnya malam . Kubiarkan desauan angin membisikkan nyanyian cinta untuk kami berdua, Yasin dan Leina.
Kuta Raja, Agustus 2022