Oleh: Muslailati Rala Novila
Saat itu, aku menulis untaian kalimat di bawah ini pada seseorang yang kecewa. Ia kecewa karena kiprah dan ketulusannya mengabdi tidak pernah dihargai dan beliau curhat kepadaku :
” Bapak….
Kehilangan itu alamiah,
Tapi kecewa karena hal itu sangat tidak bijaksana…
Bapak dan saya juga teman-teman berjuang, karena sisi nurani dan kemanusiaan.
Beranjak dari jiwa yang memang ingin melakukan sesuatu karena panggilan hati dan yang memanggil hati kita adalah Allah.
Allah memberikan peluang pada kita untuk menabung amal. Lalu, hanya karena bapak ada di tempat lain,
Bapak akan berhenti?
Apa bapak yakin, kekecewaan bapak akan melahirkan mereka yang akan peduli terhadap generasi bangsa? Apakah bapak sanggup melihat derita generasi akan berkepanjangan dan mati sia sia, tanpa ada yang peduli?
Hanya mereka yang mencari alasan agar bapak ditempatkan ke tempat yang lain dan aku merasa tidak perlu mengkaji apa alasan mereka, pak….
Biarkan saja, pak…
Jika hati kita masih diizinkan oleh Allah untuk berbuat tanpa pamrih.
Maka kita pasti tetap semangat berjuang,
di manapun kita…..” Aku begitu banyak menulis dan itu adalah kata hatiku.
Aku terbiasa berkarya dan benar-benar ikhlas tanpa pamrih. Aku prihatin ketika ada pejuang ikhlas harus kecewa.
Dan beliau, sahabatku masih mencurahkan kekecewaannya.
“Bapak sabar ya,
Jabatan hanya sementara.
Akan sangat berat pertanggung jawaban sang pemimpin
Saat dia berkuasa, telah semena mena lukai hati dan perasaan bawahannya.
Hanya demi kepuasan dirinya.
Akan ada hikmah di balik ini semua….pak..
Yakinlah…”. Aku masih melanjutkan.
Aku menulis begitu pasti dan ikut merasakan kekecewaan beliau.
Meskipun saat itu, aku tidak sepenuhnya menjadi beliau, tidak sepenuhnya tahu, kecamuk apa saja yang bergejolak dalam kekecewaannya.
Dan.aku menulis lagi :
” Dulu bapak pernah bilang..
Yang namanya mutiara.
Dalam lumpur akan tetap bersinar.
Artinya…
Bapak harus menerima kan?
Komitmennya bapak harus mampu.
Jangan mau dimatikan oleh mereka , pak.
Dengan tugas bapak yang sekarang,
Bapak harus buktikan kalau bapak punya kiprah yang tidak bisa dibuat main main.
Aku yakin, Bapak sangat dekat dengan Tuhan.
Bapak sedang dalam pantauan Tuhan dan akan naik tingkatan dari ujian yang ada.Paling tidak tingkatan keimanan.
Aku berlagak seperti sang motivator kondang, hehe. Tapi kalimat-kalimat itu meluncur deras dari dalam hati dan sangat tulus.
Aku sangat tahu kiprah beliau saat mengabdi, setidaknya aku sangat memahami karakter beliau.
“Ngeriii… karena kekuasaan di tangan pemimpin yang lemah, cukup dengan isu dan fitnah, sebentar kita bisa dimusnahkan!” Beliau masih menumpahkan kecewanya.
Aku membiarkannya dan masih menunggu lanjutan curhatan beliau.
“Ngeri bu..tidak ada lagi tabayun, nasihat, teguran. Diskusi dengan hikmah. Yang ada hanya tidak suka, tidak cocok, tidak seide, geser.
Lanjut beliau dan sekali lagi, aku membenarkan kalimat beliau.
Benar kan?
Yaa….kita akan berkata benar, saat kita juga mengalami hal yang sama.
” Aku doakan bapak akan mendapat berkah kebahagiaan di tempat yang baru ya pak..
Aku selalu ada bersama bapak” aku menulis kalimat ini, sangat ingin memberikan kekuatan dan aku tahu beliau sangat membutuhkan itu.
“Kesan yang kurang baik, aku dimutasi di saat berbagai program inovasiku”
Harusnya pemimpin bijak memilih dan memilah, jangan main hantam saja, tidak ada dukungan dan perhatian dari pimpinan, yang ada fitnah saja, membuat aku menarik kesimpulan bahwa tidak disukai” beliau masih mengeluarkan uneg-unegnya melalui chat whatshap. Di kalimat terakhirnya, aku tersentak dan cepat membalas chat beliau.
” Bukan tidak disukai, pak…” Tandasku cepat.
“Tapi ini tentang interest pribadi seseorang yang egois dan mempermainkan jabatannya.
Bapak sabar ya,
Jabatan hanya sementara.
Akan sangat berat pertanggung jawaban sang pemimpin. Saat dia berkuasa, telah semena mena lukai hati dan perasaan bawahannya…
Hanya demi kepuasan dirinya..
Akan ada hikmah di balik ini semua….pak..
Yakinlah…!” Aku menulis ulang kalimat di atas , untuk memberikan support pada beliau yang terlihat belum puas. Aku tahu, bahwa aku juga akan mengalami hal yang sama andai aku berada di posisi beliau. Aku juga ingin meyakinkan bahwa saat beliau memilihku untuk menjadi sahabat curhatnya, adalah pilihan tepat. Tidak sembarangan pejabat kan memilih kita untuk menyampaikan uneg-unegnya.
“Yang penting ibu tahu.kepindahanku ini, bukan permohonanku dan tidak ada pemberitahuan.Tapi kuterima dengan lapang dada dan kepada siapa aku harus diskusi.
Sampai dimana mental kita memahami jalan fikiran org yang tidak mungkin kita paksakan harus sama,” beliau melanjutkan curhatannya.
Aku mulai melihat sedikit kelegaan di kalimat-kalimat beliau. Diam diam aku ikut merasa lega.
” Itu pasti, pak…
Meski pada praktiknya, justru meski kita sebenarnya terlihat bisa,
Harus tersingkir karena interst pribadi, fitnah dan hasad lainnya.
Tawakkal dan bersabar, hanya itu penyemangat untuk terus berbuat kan pak?”
Aku menimpali berharap kekecewaan beliau semakin menipis.
Benar saja. Beliau seperti sudah kembali bersemangat.
” aku tetap akan diskusi dengan orang orang yang tepat, karena tidak semua orang bisa jadi sahabat.
Dikucilkan bukanlah tembok untuk tidak berkarya” beliau hampir mengakhiri chatingan kami, dengan seolah menghela nafas penuh kelegaan. Aku merasa terharu, beliau telah memilihku salah satu sahabat sejati.
“Makasih ya pak..
Sudah jadikan aku salah satu sahabat baik, bapak…
Aku yakin, masih ada banyak hal bisa yang kita lakukan, dimanapun kita.
Insya Allah tetap semangat ,” tilisku di baladan chatku pada beliau.
” Semoga kita tidak patah semangat…,” lanjutku.
” Iya….ada Allah…,” Beliau menjawab cepat.
” Aku seperti ini juga tentu ada hikmahnya agar teman-teman melihat sang motivator tidak akan pernah mati semangatnya karena kedengkian beberapa orang,” lanjut beliau pasti.
” Kondisi ini juga membuat seleksi pada diriku agar tahu siapa teman sejati, siapa cuma pura-pura. Beliau masih melanjutkan. Aku masih setia membaca dan membalas curhat beliau melalui chat whatshap. Aku berpikir sebagai pengalaman berharga untukku, yang bisa saja suatu saat akan kualami hal yang sama. Setidaknya aku mempunyai sedikit kekuatan.
“Karena hakikatnya teman sejati adalah hati dan jiwa tanpa perbedaan,” tandasku dengan menambahkan stiker senyum tulus di akhir kalimat. Aku masih melihat beliau sedang mengetik.
” Ya bu….suara pejuang tulus lebih berharga untuk buktikan bahwa pejuang tulus akan berkumpul di tempat yang sama, sementara penipu khianat akan kumpul juga ditempat yang lain
Aku tidak mati. Kita Jangan patah semangat dan anggaplah masa ini untuk kita bersiap menuju kesuksesan.
Ibu sahabatku dan terbukti sewaktu aku terpuruk, ibu ternyata ada,” beliau masih memberikan motivasi dan sebuah pengakuan. Motivasi untuk beliau dan aku.
“Tidak salah, pak,”
Terimakasih sudah menjadikan aku sebagai sahabat, pak,” aku memberikan stiker senyum . Sepertinya chat kami akan berakhit. Dan benar saja.
“Ya sama-sama bu,” tukas beliau di akhir chat, dan.kami sama sama pamit.
(Diangkat dari kisah nyata seorang sahabat)
Mantap sekali bu. Setelah saya membaca postingan ibu, jangankan sahabat ibu bahkan sayapun ikut merasakan aura positif yang ibu postingkan.
Terimakasih ibu yang bijak!!!