Bussairi D. Nyak Diwa
Mengawali tahun 1980, mulailah aku mondok di Pesantren Ashhabul Yamin Bakongan, Aceh Selatan. Proses hijrahku dari kampung halaman ke ibukota kecamatan itu tidaklah rumit; lempang-lempang saja. Suatu hari hari Ayah membawaku menjumpai Nek Abu di rumah Beliau di Desa Keudee Bakongan. Lalu Ayah menjelaskan keinginan Beliau untuk ‘menitipkan’ aku di Pesantren Ashhabul Yamin. Ayah berharap, sambil sekolah aku dapat mengaji.
Nek Abu, yang sudah sejak lama menjadi guru spiritual dan guru rohani Ayah, sangat mendukung keinginan Ayah. Beliau kemudian malah berpesan dan menasehatiku agar aku sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, ilmu dunia dan terlebih-lebih ilmu untuk akhirat. Dengan penuh takzim aku mendengar dan menghayati setiap nasihat dan petuah Nek Abu. Ayah lebih banyak memilih diam.
Di kompleks Pesantren Ashhabul Yamin aku tinggal di sebuah kamar paling ujung dari bangunan perpustakaan pesantren. Di bangunan itu sebelumnya juga sudah tinggal dua orang teungku; Teungku Cunda dan Teungku Rusli. Teungku Cunda (sampai hari ini aku tidak tahu nama asli Beliau) berasal dari Cunda Lhokseumawe. Sedangkan Teungku Rusli berasal dari Aceh Tengah. Keduanya masih lajang.
Sebenarnya pesantren yang satu-satunya terdapat di wilayah Bakongan kala itu,banyak memiliki asrama dan rangkang. Saat itu anak-anak yang nyantri pun banyak jumlahnya. Tapi sebagian dari santri-santri itu statusnya sama juga seperti aku; sekolah sambil mengaji.
Meskipun banyak asrama dan rangkang yang kosong, aku tidak ditempatkan di rangkang atau di asrama bersama santri-santri yang lain, tetapi aku ditempatkan di sebuah kamar terpisah di sudut bangunan perpustakaan pesantren.
Di bangunan perpustakaan pesantren itu terdapat beberapa kamar, ada yang besar dan ada yang kecil. Kamar yang paling besar -kami sering menyebutnya aula perpustakaan- digunakan sebagai ruang baca. Di ruangan ini banyak terdapat rak-rak yang dipenuhi oleh bermacam-macam buku dan majalah. Beberapa meja besar dan kursi berderet teratur di ruangan ini. Tentu sebagai tempat para penginjung membaca buku. Sayannya jarang sekali ada santri atau guru-guru yang datang ke ruangan ini untuk membaca. Di sudut sebelah kiri ruangan ini terdapat sebuah kamar berukuran tiga kali empat. Kamar ini khusus ditempati oleh Teungku Cunda.
Selama tinggal di perpustakaan aku banyak belajar dari kedua teungku yang masih lajang itu, baik ilmu keduniawian baik ilmu yang menyangkut dengan keakhiratan. Di samping itu, waktu-waktu luang sering kuhabiskan di ruang perpustakaan yang luas itu untuk membaca. Banyak buku dan majalah yang menjadi konsumsiku mengisi waktu luang. Terkadang aku sering duduk-duduk di perpustkaan dengan Teungku Cunda sambil berdiskusi. Beliau juga ternyata suka membaca buku-buku dan majalah.
Teungku Cunda sering menjelaskan kepadaku tentang beberapa ilmu yang ada kaitannya antara di buku dan di dalam kitab. Misalnya tentang ilmu falak, dari Beliaulah pertama aku tahu bahwa ilmu perbintangan atau ilmu melihat bulan ada dibahas di dalam kitab kuning. Sayangnya, waktu itu aku tidak begitu serius mengikuti setiap ulasan yang disampaikan oleh Teungku Cunda, karena aku belum mengerti betul tentang ilmu yang rumit itu.
Hari Minggu atau hari libur, kedua teungku ini sering mengajakku ke kebun; kebun Nek Abu yang terletak kurang lebih lima kilometer ke arah timur kota Bakongan. Kami berjalan kaki ke kebun ini melewati pantai yang ditumbuhi batang cemara dan batang kelapa di sepanjang pantai. Lima ratus meter sebelum sampai ke kebun kami harus menyeberangi sebuah kuala dengan pantainya yang indah dan menawan. Kualanya dangkal dengan riaknya yang kecil-kecil sehingga kami mudah menyeberanginya. Di ujung kuala itu, persis di samping kebun terdapat pohon-pohan cemara yang teratur. Sungguh sangat indah dan menawan. Aku sangat suka ke kebun, karena di samping dapat bekerja memeras keringat, aku juga dapat memanjakan mata dengan pemandangan bahari yang aduhai. Dari pantai ini aku juga dengan bebas dapat melihat ‘Pulau Dua’ yang melegenda itu. Bakongan sejak dulu memang terkenal memiliki pantai-pantai yang indan dan menawan.
(Bersambung)